Oleh H Muchlis Patahna SH MKn
Sejak negara hadir sebagai sebuah kesepakatan bersama di antara rakyat untuk menjalani kehidupan yang tertib dan aman, bukan tidak ada masalah yang muncul. Hingga saat ini berbagai problem dan ketegangan antara rakyat dan pejabat pemerintah atau penguasa dialami semua bangsa, tidak terkecuali di negara kita.
Memang harus diakui berdirinya sebuah negara sebagai sebuah kontrak sosial sebagaimana dikemukan filosof Perancis Jean Jacqques Rousseau (1712-1778) merupakan pilihan terbaik bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini.
Sebab ketika manusia hidup bebas tanpa organisasi negara, yang berlaku adalah hukum kekuatan atau hukum rimba. Hukum ini yang disebut Right of Nature atau hak hidup berdasarkan hak alamiah didasarkan siapa yang kuat, itulah yang berkuasa.
Menurut
Thomas Hobbes (1558-1679) dalam kehidupan seperti ini corak kehidupan
berlaku hanya dua pola, yaitu bertahan dan sesekali menyerang sesamanya. Setiap
individu diliputi rasa takut,cemas dan merasa tidak aman. Dalam sketsa yang
dibuat Hobbes berjudul Leviathan kehidupan manusia dilukiskan bagaikan serigala
yang saling memangsa sesamanya (homo
homini lupus).
Dengan demikian hadirnya negara memiliki maksud yang mulia agar hidup manusia berjalan dengan damai, aman dan teratur sehingga tidak ada saling permusuhan dan peperangan yang menghancurkan.
Namun demikian, perjalanan sebuah negara tidak selalu hadir sesuai yang diharapkan. Cita-cita untuk berdirinya sebuah negara yang kuat dan baik (good and strong state) atau dalam istilah tata kelola sekarang yang populer disebut good and clean governance (pemerintahan yang baik dan bersih) begitu sulitnya untuk diwujudkan.
Mengapa banyak negara atau penguasa gagal menjalankan peran mulia menjadi pelayan yang baik bagi rakyat? Bila dianalisa hal ini disebabkan karena sifat kekuasaan yang sulit dijaga untuk berlaku amanah. Kekuasaan punya kecenderungan untuk menyimpang. Sejarah tiap bangsa, termasuk Indonesia, menunjukkan pada awal pembentukan sebuah negara nawaitu atau niatnya penuh dengan retorika kebaikan, tetapi setelah berjalan terjadilah perubahan motivasi yang dipenuhi interest dan kepentingan pribadi maupun kelompok dan melupakan kesejahteraan rakyat atau orang banyak.
Selain itu kekuasaan memberikan banyak keuntungan dan hak-hak istimewa, baik kehormatan, wibawa maupun penghasilan atau kekayaan bagi yang menguasainya. Karena itulah kekuasaan menjadi sebuah prestise yang diperebutkan, dan melupakan pelayanan yang seharusnya diutamakan.
Kekuasaan kemudian menjadi bahan rebutan, berbagai upaya kemudian dilakukan oleh manusia untuk meraih kekuasaan. Dalam struktur negara dimana ada rakyat dan penguasa, yang dicemaskan bukanlah rakyat, tetapi orang-orang yang masuk dalam lingkaran kekuasaan apakah mereka memiliki idealisme untuk mewujudkan kebaikan bagi rakyat dan orang banyak.
Dalam hal ini perlu diingatkan kepada mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan bahwa ada baiknya untuk sesaat melakukan renungan dan refleksi diri mempertanyakan makna dan arti mereka sebagai penguasa.
Yaitu, bahwa mereka bisa duduk di singgasana kekuasaan adalah berkat rakyat. Rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan dan memberikan kepercayaan untuk membentuk negara. Hampir sebagian besar teori yang dikemukaan oleh filosof moderen seperti Hobbes, Rousseau, Jhon Locke mrnyebutkan bahwa kedaulatan dan kekuasaan itu bersumber dari rakyat.
Dengan demikian para penguasa harus menyadari bahwa negara adalah representasi atau mewakili kepentingan rakyat, kepentingan umum dan publik. Sejatinya, untuk apa yang menjadi cita-cita rakyat yaitu meraih kesejahteraan, serta hidup dengan damai, aman ,jauh dari rasa takut dan kecemasan ,setiap individu harus dijamin oleh negara. Untuk itu masyarakat harus hidup di bawah naungan hukum yang menjamin keadilan, menegakkan prinsip justice for all, equaty, modesty, dan mercy. Yaitu memberlakukan hukum untuk semua, menegakkan keadilan, menjaga kesopanan, dan punya rasa belas asih. Intinya adalah negara harus mampu mewujudkan suatu masyarakat yang saling mencintai dan menghargai sesamanya.
Itulah konsekwensi, kompensasi serta balas budi yang layak buat rakyat, karena rakyat telah memberikan atau menyerahkan kekuasaan yang menjadi miliknya kepada negara. Karena itu negara harus tahu diri dan balas budi.
Penulis adalah Ketua Umum BPP KKS