Formula-E, dari Sebuah Jarak

0
5740
- Advertisement -


(Sahutan untuk Tulisan RIM)

Oleh Imran Duse

Tulisan Ruslan Ismail Mage (RIM) berjudul “Telur Columbus di Formula E” (pinisi.co.id, 5/6/2023) menarik untuk diperbincangkan. RIM menulis dengan batin yang masygul (atau murka?), karena Anies Rasyid Baswedan tampak di tribun biasa saat menyaksikan balapan mobil listrik yang dirintisnya dengan penuh pengorbanan.

Bagi RIM, Anies Baswedan merupakan figur (sekaligus faktor) utama di balik balapan itu. RIM juga tak ragu menyatakan lomba Formula-E identik dengan sosok Anies. Maka ia pun bertanya: “…. mengapa pihak penyelenggara tidak mengundangnya?”

Entahlah. Yang saya tahu, Anies Baswedan datang bersama keluarga di Kemayoran dan menggunakan shuttle bus menuju arena. Ia juga membeli tiket sendiri, antri di pintu masuk, dan melewati pemeriksaan sekuriti.

- Advertisement -

Meski begitu, Anies terlihat menikmati jalannya lomba. Senyumnya yang khas bahkan terus terpantau kamera tv dan sejumlah konten kreator. Apalagi setelah pembalap andalannya Mitch Evans, besutan tim Jaguar TCS Racing, berhasil naik podium.

Lantas, mengapa ia tidak berada di barisan VVIP? Betulkah karena tak diundang penyelenggara?

Kali ini, RIM memberi taklimat. Ia mengajak pembacanya ke suasana jamuan makan malam atas keberhasilan Christopher Columbus menemukan Benua Amerika –kendati banyak kalangan yang tidak percaya. Dari jamuan itu, ia memetik kisah tentang Telur Columbus –sebagaimana dapat kita nikmati dari keindahan tulisannya.

Konon, sebuah teka-teki di malam itu telah membuat tamu undangan kliyengan. Semuanya tak mampu bikin telur berdiri. Tibalah giliran Columbus: ia raih telur itu, meretakkan secuil bagian di ujungnya, dan telur pun berdiri sempurna tanpa pengaruh gaya luar.

Sesuatu yang sebelumnya tak terbayangkan oleh seisi ruangan perjamuan, tapi kemudian menjadi tampak begitu mudah setelah Columbus menunjukkan caranya. Ini mengingatkan kita pada kalimat bijak mahaguru Confusius: “Hidup itu sederhana, kita yang membuatnya jadi sulit.”

Keakraban Berbangsa

Bila kekhawatiran RIM benar, maka alangkah malangnya nasib kita sebagai sebuah keluarga besar dari sebuah bangsa besar. Anies bukan hanya mantan Gubernur DKI Jakarta, yang bahkan belum setahun meninggalkan Jalan Medan Merdeka Selatan.

Untuk kepentingan Formula-E, ia mengorbankan banyak hal. Di sana ada berbongkah kisah memilukan: tentang kesulitan menggunakan area sekitar Monas, para penjual aspal yang enggan menjual materialnya, kendala di bea cukai, dan seterusnya.

Karena soal balap ini, ia juga bahkan berurusan dengan KPK. Maka wajar bila RIM, mungkin juga kita (meski pun tidak semua dari kita), berharap Anies mendapat perlakuan yang sepantasnya.

Tapi, tunggu dulu. Barangkali kita perlu menengok konsep Dramaturgi-nya Erving Goffman (1959), sosiolog berpengaruh kelahiran Kanada, yang melihat kehidupan sosial ibarat serangkaian interaksi dalam sandiwara di atas panggung. Di sana ada panggung depan (front stage), di mana penonton menyaksikan para aktor menata kesan (impression management); dan, panggung belakang (back stage) yang tanpa kehadiran penonton.

Dengan kata lain, panggung depan adalah wilayah publik dari seseorang, di mana citra dan kesan dibangun. Sementara panggung belakang merupakan zona privat, tempat semua karakter dan keunikan individu diekspresikan tanpa perhatian luas.

Tapi yang kita saksikan belakangan ini adalah semakin buramnya batas di antara keduanya. Barangkali, inilah yang menyebabkan mengapa seakan-akan seluruh ruang publik kita saat ini berkhidmat hanya untuk kontestasi Pilpres 2024. Termasuk lomba balap Formula-E, sebagaimana kegundahan sahabat RIM. Padahal, Presiden Jokowi sudah pernah mengingatkan agar olahraga jangan dicampur-adukkan dengan politik.

Indahnya Perbedaan

Peringatan Presiden Jokowi tentu melegakan kita semua, dan itu bermakna bukan hanya sebatas olahraga, tapi mencakup dimensi-dimensi lain yang selayaknya terus dibangun tanpa memautkannya dengan politik.

Sejarah kebangsaan kita juga sarat keteladanan dari para tokoh bangsa yang secara mengesankan merawat atmosfer panggung depan dan belakang. Di wilayah publik, pikiran dan gagasan mereka berkelahi begitu hebat untuk sebuah jalan menuju Indonesia yang maju dan beradab. Tapi di panggung belakang, mereka secara genuine menikmati indahnya keakraban sebagai saudara sebangsa.

Kurang apa perselisihan politik Bung Karno dan Buya Hamka? Sejarah menulis, Hamka pernah dipenjara tanpa diadili. Toh, ia dengan penuh ketulusan menunaikan sebuah wasiat Bung Karno yang meminta Buya Hamka menjadi imam salat jenazahnya.

Begitu juga dengan perselisihan pandangan antara Prawoto Mangkusaswito (tokoh Masyumi) dan I.J. Kasimo (tokoh Katholik), namun tidak sedikit pun mengganggu hubungan mereka di panggung belakang: Kasimo justeru membantu Prawoto membeli rumah.

Ada pula M. Natsir (pimpinan Masyumi) dan D.N. Aidit (pimpinan PKI) yang di dalam forum sangat keras perbedahan haluan politiknya. Bahkan, begitu kerasnya, konon Natsir pernah hampir melempar kursi dalam suatu rapat. Tapi apa yang terjadi di panggung belakang setelah rapat ditutup? Aidit, karena lebih muda, menyeduh segelas kopi untuk Natsir dan mereka pun berbincang rileks sambil ‘ngopi bareng’.

Kita juga tahu kerasnya perbedaan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Tapi di belakang itu, ada berjumput kisah mengagumkan yang menggambarkan relasi kemanusiaan kedua tokoh Proklamator itu.

Ketika Rachmi Hatta melahirkan Meutia, sebagai orang Jawa, ada kebiasaan ari-ari sang bayi dikubur ayahnya. Tapi saat itu Hatta sedang memimpin sidang kabinet. Singkat cerita, datanglah Bung Karno membawa jalan keluar: “biar saya saja yang menanam ari-arinya Meutia.”

Megawati Soekarnoputri punya cerita lain. Saat itu, Guntur Soekarnoputra hendak menikah sementara Bung Karno sudah tidak menjadi presiden dan gerakannya pun terbatas. Sehingga tidak bisa menjadi wali bagi pernikahan putranya.

Akhirnya, Ibu Fatmawati datang dan minta kesediaan Hatta dan isterinya Rachmi Hatta, menjadi wakil keluarga Bung Karno. Mendengar permintaan itu, tanpa berpikir lagi Hatta langsung menyanggupinya.

“Pak Hatta bilang oke. Kalian kan anak saya,” kata Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI, sebagaimana dikutip liputan6.com (12/08/2021).

Dan masih banyak lagi kisah para tokoh bangsa yang menggambarkan kedekatan personal mereka di panggung belakang, meski pun berbeda jalan pikiran di wilayah publik. Mereka berbeda dalam ide atau gagasan, tetapi senafas dalam perjuangan menuju Indonesia masa depan.

Itulah yang menjelaskan mengapa Bung Karno menolak sewaktu pendukungnya meminta melawan saat dirinya pelan-pelan dipaksa meninggalkan istana. Ia menyadari bahaya perang saudara yang sedang mengintip.

“Lebih baik saya robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara!” kata Bung Karno, Putra Sang Fajar.

“Bangsa saya” kata Bung Karno. Ada energi cinta dan getaran kesetiaan akan tanah air yang jauh lebih mulia tinimbang kekuasaan semata. Sesuatu yang kita dambakan dapat mengilhami para elit politik bangsa kita saat ini.

Barangkali itu!

Penulis, Dosen Komunikasi FUAD UINSI Samarinda dan mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI BPP KKSS Jakarta.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here