Hidupku Meniti Jalan Setapak, Mendaki dan Berkelok

0
368
- Advertisement -

Kolom Fiam Mustamin

DALAM menuangkan sejumlah tulisan tulisan dan esai lepas dalam buku yang ketujuh ini dengan tahapan proses kontemplasi/renungan.

Dimulai dari proses mematangkan ide/gagasan tentang apa yang akan ditulis dan dengan nawaitu syiar ibadah dari tulisan itu.

Menulis Itu Bagai Sebuah Misteri

SAYA sebut misteri karena secara genetis dari orang tua yang buta aksara/ tidak ada sekolah dan pendidikan yang menuntunnya.

- Advertisement -

Menulis memang tidak diperoleh karena waris genetika/turunan, Ia merupakan Hidayah/ Pammase bagi seseorang yang bisa beramanah dalam kehidupannya.

Sejak kecil saya sudah tidak berayah dan dapat melanjutkan sekolah atas budi baik dari keluarga di kampung di semua jenjang hingga Sekolah Menengah Atas di Makassar.

Yang ada dalan pikiran/ keinginan saat itu untuk bagaimana bisa tetap bersekolah dengan bekal pemahaman budaya ; Massaromase/ tau membawah diri untuk bagaimana berperilaku hidup bersama keluarga yang ditumpangi yang sering di dengar diwejangkan oleh orang tua di kampung. Saat itu belum memahami betul apa arti bersekolah itu.

Masa Kecil di Tengah Pergolakan Gerembolan

MASA itu, pergolakan Gerilya Darul Islam Tentara Islam Indonedia/ DI TII Abdul Kahar Muzakkar.

Saya sudah punya ingatan bermukim di perbukitan kampung Latoppo. Dari masa itu hidupnya berpindah pindah di pegunungan dari Abbolongeng ke Takkalasi Soppeng Riaja dan disitu masuk Sekolah Rakyat/ SR beberapa saat.

Di sekitar Takkalasi di musim penen padi/ maringala ibu membawah saya dan dan adik Adam Maggu keliling ke Latimpa, Lapao, Balusu, Lapasu, Mangkoso, Wiringtasi, Oring dan berlayar ke Paria hingga ke Kariango Pinrang.

Melanjutkan sekolah di Tajuncu dalam masa pergolakan gerombolan yang tak menentu dalam penghidupan bersawah dan berkebun. Kampung dipagari bambu keliling dengan menacapkan bambu runcing/sura disekitarnya dan berlaku jam malam.

Seringkali terjadi tembak menembak antara tentara dan gerembolan dan kamipun turun berlindung di lobang/ kalebbong bawah kolong rumah hingga siang hari.

Tertembak matinya Kahar pimpinan gerlia gerembolan itu, kampung disekitar Tajuncu dihuni kembali dan sekolah juga dibuka.

Bertani dan Berkesenian

SAYA ikut Guru/ Kepala Sekolah La Upe dan Petta Sahari ke Leworeng.

Di desa itu, saya menammatkan sekolah tiga tahun dan ikut bertani dan menangkap ikan/ makkaja tappreng di Worongnge danau Tempe Wajo.

Selain itu saya juga ikut dalam tim kesenian Seruling sekolah dengan lnstrumen Gendang Besar, Tambur, Koncang Koncang dan Gitar. Saya yang pegang Tambur yang saat itu belum ada instrumen musik di kampung selain Kecapi dan Gambus.

Tim seruling/ passoling ini sering diundang meramaikan hajatan perkawinan di kampung dan pertandingan sepakbola antar desa. Karena itu saya mengenal beberapa kampung sekitar Leworeng seperti Tokare dan Liu.

Peralatan digotong sendiri melalui jalan pematang persawahan.

Lanjut ke Sekolah Menengah Pertama / SMPN Satu Watansoppeng, tahun 1965 mengikuti ayahanda Hasanuddin Manna, pegawai Pemda dan Petta Bade, tahun 1962.

Di kota kalong yang sejuk itu, saya bergaul dengan anak anak pejabat kota seangkatan sekolah dan SMA diatasnya.

Di Makassar Menjalin Persahabatan

Ke Juppandang/Makassar sekolah di SMA Kristen Batu Putih mengikuti keluarga Abdul Halim Saleng, Kepala Tata Usaha dan bunda Siti Fatimah, tahun 1968.

Hingga kelas tiga SMA jurusan ilmu pasti alam baru terbetik ada cita cita, apa itu.

Menjadi tentara seperti yang dilakoni oleh sepupu saya, Overste Hodi dan kakak Ipar kapten Onggang Alam serta ayahanda sendiri La Fiabang bin La Bandung, pasukan Tentara Bantuan Ponggawa Puang Tobo/ Patobo yang berbasis di Takkalasi Soppeng Riaja Barru.

Lalu kemudian mendaftar di Tararuna AKABRI Kodam XIV Hasanuddin 1970, lolos hingga tahap akhir, gagalnya di tes kesehatan.

Teman sekelas saya, Idris Gassing dari SMA Ampera lolos ke Magelang.

Beberapa tahun kemudian bertemu kembali di Jakarta saat sudah berpangkat BrigadirJenderal.

Saya tidak larut merenungi kegagalan itu, dan keinginan untuk terus bersekolah tidak pernah padam dan pada akhirnya saat itu, sayapun ikut test untuk perogram School of Acting Dewan Kesenian Makassar yang di tidak memungut pembayaran, modal utamanya talenta.

Dan lagi lagi hal ini sebuah misteri, bagaimana seorang anak kampung yang pengetahuannya pas pasan bisa berada diwilayah komunitas program elit kota itu.

Dari program itu dampaknya meluaskan cakrawala pemikran dan persentuhan dengan dunia Kebudayaan, Kesenian dan Kewartawanan.

Kemudian dengan bebekal persentuhan dengan Budayawan, Seniman senior yang jadi dosen saat itu, sayapun nekad/ sok tau memberanikan diri hijrah ke Jakarta dan tidak tau mau menumpang dimana tak ada saudara, sungguh nekad.

Untuk itu saya berutang budi kepada beberapa dosen senior yang sudah wafat ; Mattulada, Hengky Rondonuhu, Hamzah Daeng Mangemba, Indra Chandra, Jamuddin Latif, Anwar Ibrahim, Arsal Al Habsy, Husni Jamaluddin, M.N. Syam, Abdullah Adam, Ida Yusuf Madjid, Andi Siti Nurhani Makkasau, Rahman Arge, Ali Walangadi, Ishak Ngelyaratang, Ramiz Parenrengi, Ichsan Saleh, SA Yatimayu, Saleh Mallombasi dan Ramto.

Mereka telah pergi mewariskan Legacy Kebudayaan dan Kesenian bagi bangsa.

Mereka itu putera puteri bangsa terbaik yang berklas dan meyandang sebutan, Mate Nisantani …

Begitupun ungkapan rasa terima kasih tak tehingga kepada keluarga yang dengan tulus telah menampung dan menyekolahkan hingga bisa ada seperti saat ini.

Terimah kasih kepada sahabat dan senior di Makassar dan Jakarta yang sudih menampung saya di rumahnya.

Sahabat saya Almarhum Mahmuddin krabat ayahanda Rusdi Akib dan bunda Darsiah dan Baso Makatang jrabat Syamsuddin Dg Mangawing dan bunda Dg Tonji di Makassar.

Sultan Saladin dan almarhum Muh Johan Tjasmadi yang memberi tumpangan di kantornya Bungur Jakarta Pusat.

Hormatku kepada ayahanda Prof Amura, rektor Universitas Ibnu Chaldun Jakarta yang telah membimbing dan memasukan kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi.

Kakak senior Rahman Arge, Ketua Dewan Kesenian Makassar/ DKM yang merekomendasikan kuliah di Ilmu Sinematografi Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta/LPKJ tahun 1975.

Ramiz Parenrengi, Ketua PARFI Cabang Makassar yang mengutus ke Lokakarya Seni Peran Deppen LPKJ tahun 1973.

Dari Losmen ke Perumahan Tentara

LOSMEN itu namanya Losmen Segara, rumah petak tiga deret, letaknya di jalan Sungai Saddang pusat kota Makassar yang dihuni beberapa puluh Anggota TNI yang masih aktif yang tidak tertampung di Asrama Tentara yang permanen.

Di losmen itu seperti sebuah rumah besar penuh kekeluargaan berinteraksi bebagai suku dari Sulawesi, Maluku dan Jawa.

Atas pengertian dan kebaikan kakak Pewelly Onggang yang memberi keluasan untuk saya beraktivitas di Dewan Kesenian Makassar.

Saya mengikuti jadi crew pementasan Teater Makassar DKM; Di Pintu Alternatif karya dan sutradara Husni Jamaluddin, Perang dan pahlawan sutradara Saleh Malommbasi dan Jerit Tangis di Malam Buta sutradara Ali Walangadi.

Di DKM itulah saya banyak dibimbing oleh kakak senior Aspar Paturusi sampai bisa terlibat produksi film ; Di Ujung Badik dan Sanrego.

Beberapa saat kemudian dari Lomen pindah ke Komplek Perumahan Tentara Kodam XIV Hasanuddin Pandang Pandang Sungguminasa. Satu kawasan dengan daerah pemakaman Raja raja Gowa di kelurahan Kale Gowa.

JAKARTA, gambarannya tidak sekejam dengan ibu tiri.

Siapa suruh datang ke Jakarta.

SAYA bersyukur bisa ke menjejakkan kaki di kota Jakarta tanpa ada yang memandu.

Saya menumpang kapal laut barang, turun di Tanjung Perak Surabaya, dengan Kreta Api ke Jakarta.

Seorang pegawai kejaksaan asal Makassar yang berkenalan di kapal mengajak ke rumah keluarganya di Tomang, esoknya baru diantar ke alamat yang disarankan oleh pak Ramiz.

Saya temui ibu kota negara Jakarta yang berbedah dengan cerita orang yang mengkwatirkan dengan kehidupunnya yang penuh tantangan.

Di kota Jakarta, ibarat mendapatkan sambutan dari patung Selamat Datang/ Welcome dari sepasang atlit yang sedang berlari dengan menggenggam untaian kembang ditangan yang terpasang di tugu bundaran Hotel Indonesia.

Di Jakarta saya menumpang pada salah seorang keluarga pak Ramiz Parenrengi, Ketua Parfi Makassar di Jalan Gunung Sahari IV, Letenan Yunus namanya dari Makassar.

Setiap hari saya berjalan kaki ke Taman Ismail Marzuki/TIM di jalan Cikini Raya yang berjarak dua kilometer. TIM itu bedekatan dengan kantor Parfi Jalan Kramat Lima, tempat melaporkan diri dan mangkal tiap hari.

Di TIM itulah saya beadaptasi dengan lingkungan/ kehidupan berkebudayaan dan berinteraksi dengan berbagai komunitas Seniman dan Wartawan.

Dari situ pula saya dapat terlibat beberapa Produksi Film atas ajakan teman teman, antara lain Cinta Pertama/Teguh Karya, Dewi/ Ami Priyono, Widuri/ Sophan Sophiaan, Bumi Harapan/ Johan Tjasmadi, Cobra/ Rempo Urip, Syeck Kobar/ Ratno Timoet dan Tragedi Tinombala/ N. Syarifuddin.

Beberapa saat di Jakarta, saya mendapatkan kepercayaan sebagai Kepala Hubungan Masyarakat/ Humas di tiga organisasi profesi perfilman itu ; Persatuan Artis Film/ PARFI, Karyawan Film/KFT dan Produser Film/ PPFI di tahun 1986.

Lalu kemudian menjadi Sekretaris Pelaksana empat periode di kepengurusan Kerukunam Keluarga Sulawesi Selatan/ BPP KKSS masa kepemimpinan ; Beddu Amang dan Mohammad Taha tahun 1990 sd 2004.

Berlanjut dengan posisi yang sama mendampingi Muh Alwi Hamu, Ketua Umum Institut Lembang Sembilan/ il9 yang terlibat empat kali Pemilu Pilpres dengan tiga kali memenangkannya dan mengantarkan dua kali Muh Jusuf Kalla/ JK jadi Wakil Presiden di tahun 2004 dan 2014.

Humas Tiga Organisasi

KETIGA organisasi itu berada disatu gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail Kuningan Jakarta.

Disitu saya mengembangkan tiga penerbitan, Bulletin dan Media Film. Dengan posisi sebagai Humas, saya mendapatkan kesempatan untuk meliput produksi/ shooting film di daerah, Festival Film Indonesia/FFI, Festival Film Asia Pacivic/ FFAP ( Yogyakarta, Bali, Kuala Lumpur, Bangkok dan Taipe ).

Colombo Plan USA

LOLOS testing program studi film Colombo Plan, kerjasama USA dan Indonesia/ Departemen Penerangan/ DEPPEN tahun 1973.

Tertunda pemberangkatan karena alasan politik ketika itu yang tidak dijelaskan kelanjutannya.

Dengan itu semua telah menjadi memori bagi saya, seorang anak kampung yang sok tau dalam meniti kehidupannya yang bergelombang, berkelok dan menanjak untuk menemukan Cahaya, itulah rahasiaNya, wallahu alam bissawad.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here