Komunikasi, Evaluasi dan Pembangunan Berkelanjutan

0
696
- Advertisement -

Kolom Hafid Abbas

Sebagai bagian dari tradisi akademik di masyarakat Kampus, pada 12 Juli 2023 lalu, UNJ mengukuhkan tiga orang guru besar barunya yakni: Prof. Dr. Fathiaty Murtadho, M.Pd, Guru Besar Bidang Ilmu Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada Fakultas Bahasa dan Seni (FBS); Prof. Dr. Dinny Devi Triana, S.Sn., M.Pd, Guru Besar Bidang Ilmu Evaluasi Pembelajaran Tari, FBS; dan Prof. Dr. Desy Safitri, M.Si, Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Lingkungan pada Fakultas Ilmu Sosial.

Pertama, Fathiaty, dalam orasinya mengetengahkan topik: Merencanakan Indonesia Baru dari Sudut Komunikasi. Dikemukakan bahwa Indonesia memiliki lebih 17.000 pulau yang mengitari garis equator pelanit bumi dengan tiga zona waktu atau seperdelapan luas lintasan equator bumi. Dengan jumlah penduduknya lebih 279 juta (BPS, 2023), keempat terbesar di dunia setelah China, India dan AS, Indonesia memiliki lebih 700 bahasa daerah dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadatnya yang berbeda, namun tetap satu dalam bingkaian semangat “Bhineka Tunggal Ika”.

Bahasa-bahasa daerah itu tumbuh dan terpakai secara meluas di lingkungan kehidupan suku, etnis, adat istiadat dan budaya masing-masing daerah di seluruh wilayah nusantara. Dalam interaksi antarsuku dalam kehidupannya sehari-hari, dengan bahasa yang berbeda, dapat saja timbul kesalahfahaman, salah pengertian, di antara mereka sehingga, Fathiaty melihat esensi komunikasi menjadi amat penting.

Beruntunglah, Indonesia telah memiliki Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dijunjung tinggi oleh segenap bangsa Indonesia. Semangat ini tercermin di ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

- Advertisement -

Keanekaragaman bahasa-bahasa ini tentu akan lebih rumit lagi, jika pada 2035, Indonesia akan menyatu dengan ASEAN sebagai satu masyarakat tunggal secara politik, ekonomi, dan sosial-budaya seperti halnya masyarakat Uni Eropah saat ini.

Bahasa Thai, Melayu, China, Tagalog, misalnya, terlihat tidak memiliki persamaan seperti halnya bahasa-bahasa di Eropa. Karenanya, potensi kesalahpahaman, atau disharmoni antarmasyarakat di lingkup ASEAN terlihat lebih besar dibanding dengan di Eropa.

Kata “bajingan”, misalnya, di satu daerah berkonotasi negatif sebagai sifat jahat seseorang yang menjadi sumber keresahan masyarakat luas, tetapi di daerah lain, kata itu diartikan baik sebagai pengemudi gerobak sapi.

Keadaan ini berbeda dengan kehidupan masyarakat di Eropa. Meski bahasa Inggeris berbeda dengan bahasa Perancis, Jerman, Belanda, Portugis, misalnya, tapi semuanya berasal dari akar rumpun bahasa yang sama. Masyarakatnya amat homogen, tetapi di Indonesia dan ASEAN amat heterogen.

Isu “komunikasi,” di era baru Indonesia di lingkup ASEAN adalah common denominator yang perlu dipersiapkan. Kesadaran menuju tatanan masyarakat tunggal itu tentu tetap harus berpangkal pada jatidiri lokal. Penguasaan bahasa daerah, bahasa persatuan, dan bahasa Inggeris haruslah tumbuh di ruang-ruang kelas. Sekolah, terutama di desa, adalah akar identitas seseorang. Sekolah adalah jendela utama perluasan wawasan anak kampung menjadi anak kota, yang kemudian menjadi anak yang berwawasan regional dan global.  Karenanya, sekolah haruslah menjadi semacam “pialang budaya” yang mempertemukan secara pas dan berimbang kesadaran anak tentang perkaitan dan tumpang tindihnya antara yang lokal, provinsial, nasional, regional dan global secara simultan, menuju era baru ASEAN itu.

Kedua, Dinny dengan orasi ilmiahnya tentang “Penilaian Hasil Belajar Praktik Tari Berbasis E-Assessment dalam Penerapan Merdeka Belajar” mengemukakan bahwa terdapat delapan kegiatan merdeka belajar, salah satunya pertukaran pelajar yaitu, mengambil kelas atau semester di PT luar negeri maupun dalam negeri, berdasarkan perjanjian kerjasama yang sudah disepakati, dengan catatan nilai dan Sitem Kredit Semester (SKS) yang diambil di PT luar, akan disetarakan oleh PT masing-masing. Permasalahan yang sering terjadi dalam hal ini adalah, konversi nilai sebagai hasil evaluasi akhir terhadap mahasiswa untuk direkognisi di PT asalnya, terkhusus pada pembelajaran praktik.

Pada pembelajaran tari terdapat dua hal yang dapat dipelajari, yaitu teori dan praktik. Keduanya saling melengkapi hanya prosentasinya saja yang berbeda. Jika pada teori lebih mengkaji keilmuannya, sedangkan pada praktik lebih kepada keterampilan dalam menerapkan ilmu tersebut. Untuk itu pada pembelajaran tari memuat dua hal penilaian, yaitu penilaian tes dan non-tes. Pada penilaian non-tes untuk mengukur keterampilan menari seseorang dibutuhkan indikator yang berbeda dengan indikator pengetahuan, karena pembelajarannya lebih menekankan pada keterampilan gerak tari

Urgensi penilaian seperti yang telah dikemukakan Dinny, terlihat sesuai dengan kebijakan Presiden Barack Obama (2015) yang telah merubah undang-undang pendidikan AS, dari No Child Left Behind (NCLB) menjadi Every Student Succeeds Act (ESSA) dengan menempatkan peningkatan standar sebagai prioritas utama yang disusul dengan pelaksanaan penilaian untuk memastikan ketercapaian semua standar yang telah ditetapkan itu.

Untuk Indonesia, masalah utamanya adalah rendahnya standar mutunya.

Data menunjukkan di antara 399.376 unit sekolah di seluruh tanah air (BPS, 2023), lebih 88,8% belum melewati mutu standar pelayanan minimal, 10,15% memenuhi, dan hanya 0,65% di atas standar minimal (Kompas, 21/03/2011). Demikian pula di jenjang PT, di antara sekitar 4600 PTN dan PTS, hanya empat saja yang masuk di peringkat Top 500 sebagai world class university yaitu: UGM di peringkat 254; UI 290; ITB 303; dan Universitas Airlangga 465. Di pemeringkatan nasional, di antara jumlah itu, hanya 96 yang telah mendapat akreditasi unggul (A) (Kompas.com, 24/09/2019).

Ironis, jika 50% siswa SMP dan 40% siswa SMA di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel, Papua, misalnya, terlihat belum bisa membaca dan menulis (Detiknews.com, 29/10/2017). Ironis, jika anggaran pendidikan nasional minimal 20% dari APBN sebesar Rp 3.061 triliun tidak bermanfaat pada perbaikan mutu, tidak menyentuh anak-anak Papua dengan pendidikan berkualitas agar setara dengan saudara-saudaranya di daerah lain.

Dengan realitas itu, apakah kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (MBKM) dapat dievaluasi pemberlakuannya, misalnya, diprioritaskan pada sekolah-sekolah yang sudah memenuhi standar minimal (260 SD, SLTP dan SLTA) dan hanya di empat PT yang berkelas dunia dan di 96 yang berakreditasi unggul. Bagi sekolah-sekolah dan PT yang belum memenuhi standar minimal, Negara harus hadir untuk mengangkat mutunya agar memenuhi standar.

Ketiga, Desy Safitri dalam orasi ilmiahnya dengan menyototi “Kecerdasan Ekologis di Era Digital dalam Mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs)” mengetengahkan bahwa hubungan manusia dengan lingkungan hidup erat dan sirkuler, aktivitas yang bersifat maksimal atau minimal akan mengubah suatu lingkungan.

Dikemukakan bahwa interaksi manusia dengan lingkungan hidup sangatlah kompleks, karena dalam lingkungan terdapat banyak unsur, yang sifatnya interdependensi. Interaksi manusia dengan lingkungannya tidak hanya ditentukan oleh jenis dan jumlahnya saja, melainkan juga oleh situasi, kondisi dan sifat dari unsur-unsur tersebut. Pengaruhnya pada satu unsur akan merambat pada unsur yang lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia seringkali tidak langsung terlihat atau terasakan.

Hal ini sejalan dengan falsafah orang Minangkabau “alam takambang jadi guru”, yakni semua yang ada di alam ini berbeda fungsi dan perannya, saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tetapi tidak saling melenyapkan, saling berkoloni tetapi tidak saling meleburkan. Semua unsur tersebut memiliki eksistensi dalam suatu harmonisasi namun bersifat dinamis.

Begitulah pandangan Desy yang melihat hukum alam bekerja begitu indah, dinamis dan saling terkait antara satu hal dengan hal lainnya. Jika alam dirusak, maka kerusakan berikutnya akan muncul, begitu pula sebaliknya. Begitulah hukum alam bekerja dengan segala aturan, dinamika, dan kepastiannya.

Sebagai contoh, kini Indonesia amat intensif menjual pasir lautnya ke Singapura. Pada 1962, luas daratan Singapura hanya 581 km per segi, pada 2000, luasnya menjadi 766 km per segi, atau terdapat pertambahan wilayah daratan seluas 185 km per segi. Dapat dibayangkan berkah yang diperoleh dari pasir laut Indonesia itu, Singapura telah bertambah wilayahnya yang jauh lebih luas dari seluruh wilayah Kota Bandung yang hanya 167,3 km per segi. Kini, melalui Peraturan Pemerintah No:26/2023, yang mulai berlaku sejak 15 Mei lalu, Indonesia kembali lagi melanjutkan penjualan pasirnya ke Singapura.

Volume ekspormya ke Singapura sekitar 250 juta meter kubik per tahun, dengan harga 1,3 dollar Singapura (Rp 14.500) per meter kubik. Begitu masifnya aktivitas pengambilan pasir di Kepulauan Riau, kini Pulau Nipah yang masuk wilayah Kota Batam nyaris tenggelam karena abrasi (Kompas.com 29/05/2023).

Akibtat penjualan pasir itu, dapat dibayangkan jika Pulau Nipa, dan sejumlah pulau lainnya dengan segala kekayaan alamnya akan tenggelam, bagaimana keselamatan WNI yang menghuninya, dan betapa banyak jenis flora dan fauna yang akan punah, demi untuk memenuhi hasrat Singapura memperluas wilayahnya (liputan6.com, 05/06/2023). Bukankah ini semua bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan yang diproklamirkan 78 tahun silam. Kita merdeka bukan untuk memperluas dataran negara lain.

Penulis adalah Wakil Rektor UNJ 1997-1999

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here