IDI dan Penilaian Kesehatan Balon Presiden dan Wakil Presiden

0
715
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia periode 2012-2015 & Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS

Bulan Maret 2021, empat orang dokter mempersoalkan kondisi kesehatan Presiden yang dipilih melalui poses yang sangat dinamis di dalam Sidang Umum MPR RI 1999. Keempat dokter itu juga memberikan surat rekomendasi tentang kesehatan Presiden Ketua DPR ketika itu. Surat rekomendasi itu menjelaskan mengenai status kesehatan Presiden dengan meninjau tiga faktor: saraf, kejiwaan, dan penglihatan.

Sehubungan dengan rekomendasi keempat dokter di atas, Mei 2001, DPR RI mengadakan Rapat Dengat Pendapat Umum (RDPU) dengan mengundang Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Hadir pula Perhimpunan Dokter terkait dan keempat dokter yang membuat rekomendasi. Substansi yang dibahas dalam RDPU, terkait substansi pasal dari RUU Kepresidenan, yang berhubungan dengan syarat-syarat dan kondisi kes Presiden dan Wakli Presiden.

Juni 2002, Komisi VII (kini Komisi IX) DPR RI minta PB IDI untuk membuat draft RUU Syarat Kesehatan Pejabat Negara. Sebab memang aturan penilaian kesehatan calon pejabat negara, perawatan berkala saat menjabat, dan setelah menjabat sangat bervariasi. Ada yang hanya dinilani saat mau menjabat namun ketika menjabat dan setelahnya tidak ada jaminan perawatan. Ada pula yang mempunai jaminan perawatan namun tidak ada penilaiaan ketika akan menjabat, dan seterusnya.

- Advertisement -

Karena itu, sebagai tindak lanjut permintaan Komisi VII di atas, Juli 2001, PB IDI dan PP HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) membentuk tim persiapan penyusunan syarat kesehatan pejabat negara guna memperdalam Pasal RUU Kepresidenan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari polemik yang berkepanjangan di masa mendatang.

Tanggal 11 September 2001, bertempat di Istana Cipanas PB IDI diselenggarakan rapat penyusunan draft usulan untuk syarat kesehatan Calon Presiden. Draft usulan ini kemudian dipresentasikan di Komisi VII DPR, Oktober 2001. Dari usulan IDI tersebut keluarlah Pasal 6 (d) UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bahwa Calon Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melakukan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Ketentuan ini juga sejalan dengan bunyi Pasal 6 (1) UUD RI 1945. Namun, syarat kesehatan tersebut masih sangat normatif dan belum implementatif.

Bertemu Anggota KPU

Sekitar Januari 2004, dr. Fachmi Idris, Ketua Terpilih Pengurus Besar IDI (President Elect) saat ini, sedang mengendarai mobil dan mendengar wawancara radio seorang Anggota KPU, saudara Anas Urbaningrum. Saat itu, sedang terjadi peristiwa di mana rumah seorang dokter di suatu daerah, dikepung massa pendukung calon anggota legislatif yang dinyatakan tidak lolos tes kesehatan oleh dokter tersebut di RSUD.

Anas Urbaningrum ditanya, bagaimana pandangan KPU atas tidak lolos anggota legislatif di atas? Anas menjawab, “KPU menyerahkan sepenuhnya hasil pemeriksaan sesuai profesionalisme dokter yang bersangkutan.” Terkesan KPU lepas tangan. Padahal dokter tersebut bekerja di RSUD milik pemerintah, yang menurut aturan KPU merupakan tempat resmi para caleg diperiksa kesehatannya sebagai syarat mutlak kandidasinya.

Mendengar jawaban tersebut, dr. Fachmi segera menelepon Anas, yang kebetulan sudah saling mengenal satu sama lain. Singkat cerita, atas nama PB IDI, dr. Fachmi minta waktu untuk bertemu dan mendiskusikan pernyataan Anas terkait, ”menyerahkan sepenuhnya hasil pemeriksaan sesuai profesionalisme dokter.”

Penulis selaku Wakil Sekjen I PB IDI saat itu diajak ikut serta bertemu dengan Anas Urbaningrum. Sore hari kami berdua berangkat dari kantor PB IDI, Menteng Jakarta Pusat menuju ke salah satu restoran di Jakarta Selatan. Kami berusaha untuk shalat magrib di lokasi, mengingat waktu untuk bertemu cukup singkat, hanya satu jam (jam 18.30 – 19.30).

Pada pertemuan itu Anas menjelaskan bahwa pernyataan itu diucapkan secara spontan sebab ia mengira bahwa pemerikasaan seperti ini sudah ada standarnya. Atas penjelasan Anas tersebut kemudian kami sampaikan bahwa hingga saat ini profesi dokter di Indonesia belum memiliki standar untuk menilai kesehatan calon pejabat negara.

Anas kemudian mengatakan bahwa di dalam UU No.23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden terdapat salah satu syarat, “Sehat Rohani dan Jasmani”, yang justru KPU hendak meminta bantuan IDI untuk menilainya. Menurut Anas IDI adalah lembaga profesi yang independen dan imparsial sehingga sangat cocok menurut UU. Sebagaimana juga KPU telah meminta bantuan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk menilai kekayaan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.

KPU ingin meminta bantuan IDI semata untuk memenuhi syarat yang diatur oleh UU No.23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. “Sama sekali kami tidak menambahkan atau mengurangi persayaratannya”, kata Anas. KPU ingin keputusannya bisa dipertanggungjawabkan secara profesional dan menjadi keputusan yang bersifat teknis administratif. Bukan keputusan politik. Jadi, syarat ini harus diletakkan dalam kerangka positif, profesional, dan produktif untuk menjamin proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas.

Karena waktu sudah hampir jam 19.30, sementara Anas Urbaningrum masih ada rapat di kantor KPU, maka beliau menawarkan bagaimana kalau pertemuan dilanjutkan di kantor KPU? Kami jawab, silakan membuat undangan dan tujukan kepada Ketua Umum PB IDI.

Proses sebelum pemeriksaan

Tidak lama setelah pertemuan dengan Anas, sampailah surat undangan KPU kepada PB IDI untuk membicarakan rencana KPU meminta bantuan IDI untuk melakukan penilaian kesehatan pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden 2004. Setelah PB IDI menerima surat KPU, PB IDI melakukan rapat terbatas di kantor PB IDI.

Sebagian peserta rapat terkejut karena tiba-tiba KPU mengundang PB IDI untuk membicarakan penilaian kesehatan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Rapat yang dipimpin langsung oleh Prof. Farid A. Moeloek (Ketua Umum PB IDI, 2003 – 2006) berlangsung dengan baik, semua peserta rapat merasa senang karena ini adalah kesempat terbaik bagi IDI untuk menunjukkan tanggung jawab profesi dan tanggung jawab kepada bangsa dan negara.

Diluar yang hadir rapat ternyata ada juga sebahagian pengurus kurang sependapat IDI terlibat dalam penilaian kesehatan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden tersbut. Alasanya, karena itu urusan politik, bukan wilayah IDI. Namun, setelah dijelaskan di dalam rapat pleno bahwa ini adalah bahagian dari tanggung jawab profesi dan tanggung jawab kepada bangsa dan negara, akhirnya semua setuju.

Persoalan kemudian muncul karena IDI sebagai organisasi profesi dokter satu-satunya, benar-benar belum punya pengalaman menilai kesehatan calon atau bakal calon pejabat negara. Dan yang lebih serius lagi karena IDI belum punya standar untuk melakukan penilaian. Artinya, bila nantinya IDI benar-benar diminta oleh KPU untuk menilai syarat kesehatan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden maka berarti IDI terlebih dahulu perlu menyusun standar penilaian.

Saat menghadiri undangan KPU, sebetulnya rombongan PB IDI yang dipimpin Ketua Prof. Farid A. Moeloek (Ketua Umu), tidak juga datang dengan “tangan kosong”. Sebab telah mempunyai rumusan dari hasil pertemuan di Istana Cipanas (2001). Cukup untuk dijadikan bahan awal untuk bertukar pikiran dengan KPU.

Pertemuan di kantor KPU dimulai dengan terlebih dahulu pihak KPU mengenalkan anggota KPU yang hadir, dilanjutkan oleh PB IDI. Setelah itu KPU menyampaikan keinginannya untuk meminta bantuan IDI menilai syarat kesehatan pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden, 2004.

Menyambut permintaan KPU, PB IDI menyampaikan beberapa bahan presentasi yang telah disiapkan dan selanjutnya meminta kepada KPU untuk menyampaikan syarat sehat seperti apa saja yang dimintakan kepada IDI. Bagian apa saja yang perlu diperiksa atau dinilai oleh IDI untuk memenuhi syarat kesehatan menurut ketentuan undang-undang?

Permintaan PB IDI di atas belum bisa dijawab oleh KPU sebab syarat kesehatan yang tercantum di dalam UU Pemilu Presiden memang sangat normatif. Karena itu IDI kembali meminta penjelas dari KPU mengenai apa saja tugas atau pekerjaan utama Presiden dan Wakil Presiden dalam kesehariannya? KPU kemudian menjelaskan secara singkat dan selebihnya meminta kepada IDI untuk menerjemahkan dan menguraikan kalimat yang tertera di adalam UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Hasil pertemuan bersama KPU di atas kemudian dibawa ke rapat PB IDI. Dalam rapat, Tim PB IDI yang hadir dalam pertemuan di KPU menjelaskan bahwa IDI diminta untuk membuat standar penilaiaan kesehatan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden dan juga diminta untuk memeriksa dan menilaianya. Peserta rapat kemudian, mengusulkan agar PB IDI mengundang beberapa dokter senior, ketua-ketua majelis, dan anggota dewan penasehat untuk rapat. Tempat rapat pertama disepakai di RS Dharmais Jakarta. Ketika itu hadir Brigjen TNI dr. Mardjo Soebiandono, Sp.B (Karumkit RSPAD) yang sudah berpengalaman melakukan medical ceck up bagi perajurit TNI.

Rapat pertama ini terbilang cukup alot, sebab terkait penentuan apa yang dimaksud, “Calon Presiden harus memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melakukan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.” Dan bagaimana menilainya. Karena terdengar bakal ada calon perempuan, maka pertanyaannya apakah perlu ada pemeriksaan khusus untuk perempuan?

Dari hasil perdebatan itu, diambil konsensus bahwa: kata “mampu” diinterpretasikan sebagai sehat. Sementara kata “rohani” diinterpretasikan dalam kesehatan mental atau jiwa, sebagaimana suasana batin pembentukan undang-undang. Bahwa kata rohani ini mempunyai pemahaman yang amat luas termasuk ide dan sikap serta perilaku beragama atau kepercayaan, sehingga disepakati untuk tidak diperiksa sebab sulit dan juga tidak masuk dalam domain kesehatan. Disepakati pula harus ada penilaian khusus untuk kesehatan calon perempuan.

Intepretasi di atas didasarkan atas definisi sehat menurut WHO: “Kesehatan adalah keadaan sejahtera yang menyeluruh dari badan, jiwa dan sosial dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau kelemahan.” Dan juga pengertian kesehatan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Setelah menyepakati apa yang mau diperiksan selanjutnya tim berdiskusi mengenai keahlian apa saja dibutuhkan dalam melakukan pemeriksaan? Secara khusus untuk menilai sehat rohani, apakah cukup diperiksa oleh dokter spesialis kedokteran jiwa atau perlu bantuan psikolog? Bila perlu bantuan prikolog, apakah perlu meminta ke induk organisasinya atau cukup menghubungi secara perorangan? Karena disepakai perlu bantuan psikolog secara institusi maka PB IDI menyurat kepada HIMPSI.

Disepakati pula meminta anggota penasihat dari guru besar dari lima Fakulitas Kedokteran tertua di Indonesia. Setelah semua itu disepakati, mulailah PB IDI menyurat kepada HIMPSI, lima Fakultas Kedokteran tertua (UI, UGM, Unair, Unhas, dan USU) serta kepada perhimpunan sesuai bidang keahlian pemeriksaan agar mengirmkan dokter terbaiknya.

Rapat kedua mulailah dihadiri oleh tim anggota tim pemerikasa dan penasehat tim. Rapat kedua diikuti rapat rutin berikutnya, yang lebih alot lagi. Alot sebab sudah merumuskan stantar penilaian dan pedoman teknis pemeriksaan. Dalam melakukan perdebatan tidak jarang anggota tim harus membawa dan menunjukan beberapa buku teks dan jurnal terbaru untuk mendukung argumentasinya.

Sebetulnya, yang akan dinilai bukan soal sehat atau sakitnya seorang bakal calon Calon Presiden dan Wakil Presiden, melainkan soal disabilitasnya. Bila ditemukan ada penyakit pada organ atau bagian yang diperiksa, lalu dinilai apakah sakitnya itu dapat mengganngu tugasnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama satu periode. Dan apakah sakitnya itu masih bisa dikoreksi atau tidak. Bila masih dapat dikoreksi tentu tidak jadi masalah. Dan juga mendebatkan cara mengambil kesimpulan dari hasil pemeriksaan, dan seterusnya.

Setelah standar yang tertuang di dalam buku panduan penilaian selesai, pesoalan berikutnya rumah sakit apa memenuhi syarat sebagai tempat pemeriksaan, sesuai pedoman teknis pemeriksaan yang telah dibuat? Karena itu anggota tim mengunjungi tiga rumah sakit rujukan nasional yang ada di Jakarta, yakni RSPAD Gatot Subroto, RSCM, dan RS Pusat Pertamina. Berdasarkan laporan tim yang berkunjung ke RS tersebut, dengan berbagai pertimbangan rapat memilih RSPAD. Hasil rapat tim ini kemudian disampaikan kepada KPU untuk dijadikan bahagian dari SK KPU.

Langkan PB IDI selanjutnya adalah menerbitkan Surat Keputusan (SK PB IDI) terkait Tim Penilai beserta Panduan Penilaian. SK PB IDI ini disampaikan kepada KPU untuk mendapatkan pengukuhan dengan SK KPU. Dengan pengukuhan dari KPU tersebut menunjukkan bahwa Panduan Penilaian telah telah disetujui KPU untuk digunakan. Tanggal 22 April 2004 terbitlah Surat Keputusan KPU No. 31 Tahun 2004. Dan kini Panduan Teknis IDI ini telah telah mendapatkan Surat Pencatatan Ciptaan dari Kementerian Hukum dan HAM RI dengan 000499341, sehingga karya intelektual IDI tersebut dilindungi UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Proses Pemeriksaan

Pemeriksaan dipusatkan di MCU RSPAD Gatot Subroto. Sebelum hari pemeriksaan seluruh anggota tim sudah berkumpul di ruang rapat Bagian Bedah dan selanjutnya melakukan simulasi pemeriksaan mulai datangnya pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dilakukannya pemeriksaan setiap ruangan yang telah disediakan.

Pada hari pemeriksaan, tepat jam 07.00 seriap pagi semua anggota tim sudah berkumpul di ruang rapat Bagian Bedah RSPAD untuk melakukan briefing dipimpin Ketua Umum PB IDI didampingi Ketua Tim Pemeriksa dan Kepala Rumah Sakit (Karumkit) RSPAD, serta dihadiri oleh anggota KPU yang juga merupakan penasihat tim. Briefing diawali dengan pembacaan doa dan pengucapan Sumpah Dokter Indonesia.

Setelah briefing selesai semua anggota tim yang bertugas di ruangan pemeriksaan menuju ke ruangan. Begitu pula yang berugas menjemput dan menemani pasangan calon juga menuju ke tempat uang telah ditentukan. Tim lain yang tidak bertugas tetap berada di ruang rapat bagian bedah.

Sore hari (setiap hari) setelah seluruh rangkaian pemeriksaan selesai, seluruh anggota tim kembali berkumpul di ruang rapat untuk menyelenggarakan rapat pleno guna mendengarkan laporah hasil pemeriksaan setiap bagian, kemudian mengambil kesimpulan akhir berdasarkan konsensus ilmiah, sesuai Panduan Teknis IDI yang telah di SK-kan PB IDI dan kemdian dikukuhkan dengan SK KPU.

Setelah semua pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden usai diperiksa, proses pemeriksaan pun dinyarakan telah rampung. Selanjutnya, dilakukanlah rapat pleno yang dipimpin oleh Ketua Umum PB IDI selaku penanggung jawab, didampingi Ketua Tim Penilai dan Karumkit RSPAD. Rapat pleno juga dihadiri oleh Ketua KPU dan anggota KPU lainnya dan dilanjutkan dengan penyerahan hasil penilaian dari Ketua Umum PB IDI kepada Ketua KPU RI.

Proses selanjutnya PB IDI menyampaikan hasil lengkap kepada KPU di Kantor KPU sebagai pihak yang meminta untuk nantinya diteruskan kepada partai pengusung, disertai beberapa anjuran dokter pemeriksa untuk disampaikan kepada bakal calon Presiden dan Wakil Presiden bersangkutan.

Sekali pun pemeriksaan dinyatakan telah rampung dan hasilnya telah disampaikan kepada KPU untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan pasangan bakal calon Presiden dan Wakil Presiden, namun anggota IDI belum dinyatakan bubar. Sebab, bila terdapat salah satu atau beberapa dari pasangan tidak memenuhi syarat menurut UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden maka KPU akan mempinta parpol pengusung mengajukan pengganti bakal calon lain yang lain. Dan bakal calon pengganti ini pun perlu pula dinilai syarat kesehatannya sebagaimana bakal calon lainnya.

Catatan Akhir

Beberapa bulan terakhir kita menyaksikan patai politik sedang disibukkan oleh agenda untuk menyusun koalisi Tak jarang nama koalisi partai berubah. Begitu pula anggota koalisi datang dan pergi silih berganti. Semua masih mencari formulasi koalisi yang kokoh untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Presiden 2024 mendatang. Sekalipun dapat dikatakan sudah mendeklarasikan balon Presiden, namum baru satu koalisi yang telah mendeklarasikan balon Wakil Presidennya. Rupanya mencari balon Wakil Presiden tidak semudah yang kita pikirkan. Boleh jadi lebih rumit dibanding mencari balon Presiden.

Setelah pasangan balon Presiden dan Wakil Presiden terbentuk, tugas partai koalisi pun belum selesai. Selain memikirkan untuk menang, juga masih harus memilikirkan bagaimana pasang balon yang diusung dapat lolos verifikasi administratif di KPU menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden.

Salah satu syarat administratif menurut UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 5 (d) adalah calon Presiden harus memenuhi syarat kesehatan: “mampu secara rohani dan jasmani untuk melakukan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden” melalui pemeriksaan tim dokter.

Sejak tahun 2004, syarat kesehatan tersebut telah diterjemahkan oleh IDI ke dalam buku panduan penilaian teknis sesuai standar profesi dokter Indonesia. Kini pun buku panduan teknis IDI ini telah dilindungi oleh UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Wallahu a’lam bishawab.   

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here