Kolom Hafid Abbas
Di tengah semakin memburuknya situasi kehidupan global, seperti genosida Israel di Jalur Gaza, invasi berdarah Rusia di Ukraine, dan semakin meluasnya ekspansi ekonomi, politik dan agresi militer China di Indo-pasifik dan laut China Selatan, sistem global terlihat dikendalikan oleh Hukum Darwin, “survival of the fittest” yang kuatlah yang menang dan yang lemah menjadi korban atau jajahan dari yang kuat. Peran PBB yang lahir sejak berakhirnya perang dunia kedua, kini terlihat tidak lagi berdaya di tengah kehidupan global yang dikendalikan oleh hukum rimba itu.
Di tengah situasi global seperti itu, pada 2024 ini terdapat 76 negara di dunia yang akan melaksanakan pemilunya dengan diikuti 4,2 miliar penduduk dunia, termasuk delapan dari sepuluh negara berpenduduk terbesar dunia yakni: Bangladesh, Brazil, India, Indonesia, Mexico, Pakistan, Rusia dan AS. Dari jumlah itu, hanya tujuh negara yang dinilai melaksanakan pemilunya secara demokratis, seperti Jerman, Inggeris dan Francis, selebihnya cacat (flawed democracy), demokrasi campuran (hybrid democracy) dan otoritarian, seperti Rwanda dan Korea Utara (The Economist, 2024).
Dari beragam pelaksanaan pemilu itu, Korea Utara misalnya, ketika melaksanakan pemilunya pada 9 Maret 2014, hasilnya telah mengantar kembali kemenangan mutlak, 100 persen, ke Presiden Kim Jong Un, tanpa ada seorang pun yang memilih calon presiden lain.
Ketika jutaan penduduknya yang berjumlah 25,97 juta (2021) berbondong-bondong ke TPS-nya masing-masing untuk memilih calon presidennya, terlihat mereka benar-benar seperti berpesta, laki dan perempuan berpakaian resmi, antri untuk mendapatkan lembar suara pemilihan. Setiap wajib pilih sebelum masuk ke bilik TPS-nya, terlihat membungkuk terlebih dahulu di hadapan baliho foto Kim Jong-Un sebagai calon presiden satu-satunya, dan di kertas suara yang akan dicoblos pun terlihat hanya dia juga satu-satunya juga yang akan dipilih. Inilah ciri pemilihan pada negara yang berhaluan politik totalitarian dictatorship.
Keadaan pelaksanaan pemilu seperti di Korea Utara ini mirip keadaannya pemilu di era Orde Baru. Aparat kepolisian, ABRI, PNS, semuanya dikerahkan sebagai alat kekuasaan untuk melanggengkan kepemimpinan Presiden Soeharto. Cawe-cawe politik Soeharto seperti itu amat efektif untuk mempertahankan kekuasaanya selama enam kali pemilu (1971-1997). Namun setelah terpilih kembali memimpin Indonesia untuk priode 1997-2002, Soeharto tergoda mengorbitkan putrinya, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana, untuk duduk di Kabinet Pembangunan VII sebagai Menteri Sosial dan dilantik pada 14 Maret 1998.
Publik menilai di kala itu, ini adalah strategi Soeharto untuk melanggengkan kekauasaan dan dinasti politiknya. Dimotori oleh gerakan kampus yang anti nepotisme dan dinasti politik dengan akronim KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), kemudian melahirkan kesadaran kolektif masyarakat untuk mewujudkan perubahan. Gejolak sosial semakin meluas di seluruh pelosok tanah air yang mencapai puncaknya ketika pada 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti, Pahlawan Reformasi tertembak mati. Akhirnya, era Orde Baru selama 32 tahun harus berakhir, dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mundur dan digantikan oleh wakilnya B.J Habibie. Masa keemasan kepemimpinan Soeharto selama lebih tiga dekade harus berakhir hanya setelah 4 bulan 7 hari mengorbitkan anaknya.
Lain halnya model pemilu di negara yang tradisi demokrasinya lebih kuat. Misalnya. sebagai gambaran, pada pemilu Presiden AS tahun 2000 memunculkan pertarungan antara calon presiden dari Partai Demokrat, Al Gore, melawan calon dari Partai Republik, George W Bush. Bush menang tipis dalam pemilu ini dengan memperoleh 271 suara elektoral, sementara Gore hanya mendapatkan 266 suara elektoral (selisih lima suara). Ini kemudian memunculkan sengketa perhitungan suara, namun, keputusan Mahkamah Agung dalam penanganan kasus ini, pada 12 Desember 2000 dimenangkan Bush yang kemudian mengantarnya menjadi Presiden AS ke-43.
Meski Al Gore kalah, namun kalah secara terhormat dinilai jauh lebih mulia daripada menang dengan cara curang. Meski ia sudah kalah, sudah lengser dari jabatannya sebagai Wakil Presiden, ia terlihat tetap tegar melewati segala dinamika karier politiknya dengan tetap menjaga moral, etika dan integritasnya. Ia kemudian meluaskan cakrawalanya bukan saja untuk rakyat AS tapi untuk dunia dengan mengangkat isu climate change. Lewat film yang dibintanginya, “An Inconvenience Truth” dengan suradara Hollywood, David Guggenheim, telah tercatat sebagai film documenter terbaik oleh Academy Awards 2006. Bahkan substransi film ini telah masuk di kurikulum pendidikan sains di sekolah-sekolah di seluru dunia.
Pada 2007, Al Gore mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian, dan telah menjadi icon masyarakat internasional tentang climate change. Popularitasnya terlihat jauh mengungguli Bush. Sebaliknya Bush dikenang sebagai presiden paling berdarah dan brutal. Karier politiknya dikenal dengan politik hitam putih dalam memerangi terorisme, dengan menyatakan “Every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorists.” (VOA, 21/09/2001). Jika anda bukan kawan, maka anda adalah musuh kami, atau musuh dari musuh kami adalah sahabat kami.
Suara Kampus dan Pesan Surya Paloh
Sejak para guru besar dari berbagai fakultas di UGM menyampaikan Petisi Bulaksumur pada 31 Januari 2024, yang menyesalkan berbagai penyimpangan pemerintahan Presiden Jokowi, sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta juga melakukan hal serupa.
Pesan moral akademiknya sesungguhnya meminta pemerintah pusat dan daerah (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah dan Kepala Desa), TNI dan Polri, dan aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi netralitas dan tidak memihak dan mengintervensi jalannya proses Pemilu, tidak melakukan “cawe-cawe politik”, intimidasi, dan politik uang, tidak melakukan kecurangan, serta tidak menggunakan fasilitas negara atas dasar kepentingan kelompok, kerabat atau golongan yang menyimpang dari koridor demokrasi dan konstitusi dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah dipercayakan kepadanya.
Warga kampus menilai fenomena politik saat ini sangat membahayakan masa depan demokrasi karena perilaku oknum elit politik yang telah mempertontonkan praktek kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai moral, etika dan hukum.
Dunia akademik juga mendesak penyelenggara pemilu untuk bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya yang menjunjung tinggi netralitas dan integritas sehingga dapat mengantisipasi segala macam masalah, gejala, dan peristiwa yang memungkinkan terjadinya penyimpangan pelaksanaan Pemilu 2024.
Sebab jika aparat pemerintah dan penyelenggara pemilu berbuat curang, taruhannya terlalu besar bagi masa depan NKRI dan hari depan kita bersama. Pesan sakral Surya Paloh yang telah berulang kali dikemukakan begitu tegas, “tidak ada gunanya pemilu dilkasanakan jika hanya membawa perpecahan bangsa.”
Al Gore telah memberi keteladanan dalam pelaksanaan pemilu di negaranya karena kekuatan cinta pada bangsanya lebih kuat dibanding kekuatan cintanya pada kekuasaan.
Semoga Pemilu 2024 akan menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa di semua strata yang lebih mencintai keselamatan negerinya dibanding kecintaannya pada keselamatan dinastinya.
Penulis Mantan Ketua Komnas HAM RI