Kolom Alif we Onggang
Dalam sebuah pertandingan kalah dan menang adalah soal giliran. Kali ini yang menang sering kalah. Secara natural yang menang pasti tergantikan oleh juara baru.
Karena itu, kecurangan tidak akan membatalkan Prabowo menjadi presiden, serupa pelanggaran etik tidak menganulir Gibran jadi wapres, meski legitimasinya sepanjang sejarah selalu dipersoalkan.
Itulah sebab kecurangan terus diributkan. Padahal kecurangan dan limbahnya sudah ada sejak di hulu, jauh hari sebelum keputusan MK yang menyelundupkan putra mahkota menjadi wapres. Jika hulunya jorok, hilirnya pasti kotor.
Bandingkan Presiden Cina Xi Jinping sebelum menjabat wapres lebih dulu menapaki 16 jabatan publik dengan 9 level pemerintahan, dari desa, provinsi hingga pusat. Xi butuh 40 tahun untuk menjadi pemimpin puncak. Namun di kita, tak perlu bersusah payah; orang langsung bisa jadi bajing loncat. Baru dua hari memegang kartu anggota ia dengan mudah melesat di pucuk pimpinan partai.
Ini, antara lain karena negara ditata seperti mengurus keluarga. Kepala keluarga dapat seenaknya menunjuk anak atau kerabat menduduki kursi yang ia kehendaki. Hal sama dengan partai yang umumnya dikelola laksana bisnis keluarga di mana sang majikan tidak tergantikan sampai ia meninggal. Sudah begitu tak sedikit politisinya berperan sebagai badut sementara Ketua Partai sebagian jadi sandera ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya.
Dan konyolnya, partai dibangun oleh pendanaan yang gelap. Temuan PPATK terkait transaksi mencurigakan pada 100 caleg di sejumlah partai sebesar Rp 51,4 triliun dan sumber dana haram ini berasal dari tambang ilegal, narkoba dan judi daring untuk pemilu 2024. Oleh Hatchcroft (2014) ini dinamakan patronase ekonomi-politik yang mengalihkan sumberdaya publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Menurut Indikator, 60 persen rakyat menyetujui politik uang. Di atas, elite partai berkelompok untuk membikin muslihat, adapun di bawah, rakyat disogok untuk raihan suara. Siklus ini terus bermutasi dan jadi preseden buruk untuk masa depan. Politik berputar dalam permainan tong setan.
Wallhasil negara terserimpung oleh pembajak demokrasi demi nepotisme. Raja Louis XIV Prancis (1655) maklumatkan bahwa negara adalah aku: L’État, c’est moi. Ia penguasa tunggal dan absolut yang harus dipatuhi.
Maknanya, persetan dengan lainnya. Negara menyatu dalam diri pribadi. Penguasa jadi berhala dan para pemuja yang diperkuda mengkultuskan seperti dewa. Di atas meja penguasa bersama pengusaha berpesta pora membagi-bagikan kongsi, jika masih ada remahnya baru dibagi buat rakyat. Jadilah anak-anaknya dan konco-konconya menjadi seluruh bangsa manusia itu sendiri, seperti ditulis Alexis de Tocqueville (1840).
Di Pakistan dinasti lama dan oligarki kembali berkuasa menyusul Myanmar dan Thailand di mana rezim militerisme balik ke tampuk kekuasaan. Presiden Philipina Marcos kini bernafsu memperpanjang masa jabatan lewat amandemen UU.
Meski banyak politik dinasti di daerah berakhir di bui, Jokowi sukses melanjutkan dinasti keluarga lewat putranya dengan melabrak konstitusi, setelah ia gagal menyusup dalam 3 periode. Benih-benih ketamakan sudah bersemi di sini. Demi libido kekuasaan demokrasi ditelikung dan dibangun tanpa basis nilai dan etik. Etika hanya gerutuan para profesor. Pantas kiranya dilontarkan kalimat “endasmu etik.”
Kendati Indonesia dikenal agamis, namun kepemimpinan politik tidak punya keadaban dan standar moral dan etik. Seliberal apapun AS, tapi mereka memiliki basis moral yang tinggi. Apabila calon pemimpin tak jujur, niscaya tidak akan terpilih, kebalikan di Indonesia, sekalipun suka berbohong dan berkhianat ia bisa dipilih dalam jabatan publik.
Bagi Singapura, Korea dan Jepang, nilai-nilai etika melekat dalam kehidupan sosial dan cirinya adalah tingginya budaya malu (shame culture). Sementara Eropa menjadi makmur dan modern lantaran dilandasi oleh etika Protestan di mana kegiatan duniawi memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. (Max Weber, 1904).
Sejatinya Indonesia yang religius, dengan kearifan budaya dan penganut Islam terbesar bisa sejajar dengan negara modern yang membangun dengan basis etik dan agama. Akan tetapi rupanya literasi agama juga rendah, karena praktik beragama sebatas ritual dan hanya sebagai simbolik. Rajin beribadah adalah satu soal, dan korupsi adalah soal lain sehingga moralitas keagamaan tidak tercermin dalam perilaku. Nilai-nilai agama dan kearifan lokal berupa value tidak mengendap dalam praktik kehidupan. Nabi Muhammad sudah pernah meramalkan bahwa kelak Alquran hanya menjadi kitab kosong.
Apa boleh buat, Indonesia kembali ke pendulum otoritarian yang pernah terjungkal oleh reformasi karena praktik lancung. Sekarang praktik culas itu terulang lagi. Dasar dari semuanya adalah keserakahan.
Akar dari segala kejahatan adalah keserahakan (Radix enim omnium malorum est cupiditas). Keserahakan dalam memburu jabatan dan materi yang direbut dengan menghalalkan segala cara.
Dalam tradisi Jawa, kejahatan seperti keserakahan dikutuk dalam ungkapan: lengji lengbeh celeng siji celeng kabeh (Yang satu celeng semuanya menjadi celeng).
Adapun dalam tradisi Bugis Makassar, keserakahan adalah tanda manusia tidak punya martabat dan harga diri. Manusia jenis ini oleh Lontara derajatnya ditempatkan lebih rendah ketimbang hewan.
Orang Makassar menyebut: Punna taenamo siri’ku, manna kupannobokangki, taenamo nalantanglantang”. Maknanya: apabila seseorang sudah tidak memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah tidak mempunyai kehormatan dan kekuatan di hadapan orang lain.
Sebaliknya pepatah Bugis bilang: Naiyya to degaga siri’na olokolo madduppa taumi. Orang yang tidak punya siri adalah hewan yang berwujud manusia.
Wel, hari-hari depan tak mudah ditebak. Awan gelap mengiringi perjalanan demokrasi menuju ke tubir jurang. Pragmatisme mengubur dalam-dalam idealisme.
Dan pesta para pencuri sebentar lagi dimulai. (Jean Annoulilh, 1979).