Oleh Imran Duse
Tiga perahu fiberglass yang kami tumpangi siang itu mengalun pelan, menyusuri genangan banjir setinggi 30-90 centimeter di sepanjang kawasan Remaja-Pelita-Gelatik, Samarinda (27/5/2020). Seumur hidup, inilah kali pertama saya naik perahu di atas jalan pusat kotaku.
Cuaca yang ba’da duhur tadi terik-menyengat, sekonyong-konyong berubah mendung. Tak lama, hujan pun turun menyapa air-mata lebih 37.000 warga-terdampak. Perahu kami lalu menepi, berteduh di bawah canopy sebuah ruko. Waktu menunjuk pukul 13.10 Wita.
Sembari menunggu-berharap cuaca bersahabat, lewat radio HT kami memantau kondisi di beberapa posko banjir. Di antara kami sebenarnya ada yang ingin melanjutkan, menerobos hujan yang kian deras itu.
Dr. HM. Ridwan Tasa, Ketua Dewan Penasehat KKSS Samarinda yang juga Kepala Dinas Sosial Samarinda dan Dr. H. Rusman Ya’qub, Ketua Tim KKSS Tanggap COVID-19 yang juga Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Kaltim, termasuk yang ingin melanjutkan perjalanan. Alasannya: warga butuh segera makan siang. Betul juga, batin saya.
Di lain pihak, H. Nursan Thalib, S.Sos, Penasehat KKSS Samarinda yang juga Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Samarinda dan Drs. HM. Junaid, Ketua Harian KKSS Samarinda, menghendaki perjalanan dilanjutkan setelah hujan berhenti. Alasannya: 800 paket nasi-bungkus yang kami bawa akan rusak kalau terkena air hujan. Ini juga masuk akal.
Saya sendiri bersama Dr. Asryl, Penasehat KKSS Samarinda dan Dosen Universitas Mulawarman, dan sahabat kami dari Kompas TV dan MNC Group yang ikut dalam perahu, memilih sikap moderat: kita tunggu hingga volume hujan berkurang dan mereda.
Kegiatan peduli kemanusiaan ini sendiri merupakan inisiasi dari Tim KKSS Samarinda Tanggap Covid-19, yang dibentuk dua bulan lalu sebagai gugus tugas KKSS dalam penanganan Covid-19 di Samarinda. Sebelumnya, dalam kaitan pandemi Covid-19, tim telah membagikan sekitar 1.500 paket sembako dalam tiga tahapan.
Berselang 30 menit, hujan mulai reda. Dan kami pun bersiap melanjutkan perjalanan. Di kiri-kanan jalan (yang hampir sepekan ini terendam) yang kami lalui, tampak berdiri-kokoh sejumlah gambar pasangan calon walikota Samarinda, dengan foto menarik dan tagline yang menjanjikan harapan-perubahan.
Bagi kita yang hadir di siang itu, “baliho” dan “banjir’ seakan lebur dalam satu tarikan nafas. Sebab ketika kita memandang ke arah baliho kandidat pasangan calon walikota itu, serta-merta terlintas dalam benak harapan penyelesaian masalah banjir –di mana kami sedang mengapung– saat kepemimpinan mereka kelak.
Sebaliknya, ketika mata kami tertuju pada banjir di siang itu, maka kita pun tak lelah menitip asa kepada pasangan calon yang terpampang pada baliho itu.
Kita juga berharap, para calon pemimpin kota ini dapat hadir di tengah musibah dan mendengar rintihan Nasirah, 62 tahun, perempuan yang sempat saya temui.
Dari wajahnya, tersirat aura kecemasan. Sorot matanya mengirim pesan luka yang dalam. Rambutnya yang panjang ia biarkan terurai, pertanda ketiadaan sempat berdandan. Dengan setengah berteriak, perempuan itu memanggil cucunya yang bermain di tengah banjir bersama anak-anak lain.
“Lima orang,” jawab ibu Nasirah, saat kami hendak menyerahkan nasi bungkus dari Tim KKSS Tanggap Covid-19. Cucunya pun menyambangi perahu kami untuk menerima nasi bungkus tersebut.
“Ada obat gatal pak?,” ibu itu kembali bertanya, penuh harap.
Ada rasa gundah mendengar pertanyaan itu. Apalagi saat ia menunjukkan luka gatal di sekitar tumitnya. Apa boleh buat. Kami hanya bisa mendengar keluhan ibu Nasirah, yang boleh jadi mencerminkan nestapa sebagian warga terdampak banjir yang hampir sepekan ini menggenangi sejumlah kawasan di Samarinda.
Keluar dari tempat ibu Nasirah, seorang bapak setengah baya menghadang perahu kami di ujung lorong. Berbeda dengan Nasirah, kawan kita ini nampak kurang bersahabat. Ia –bersama puluhan lainnya– rupanya kesal sedari tadi karena belum sempat mendapatkan makanan. Rumah mereka memang agak terlindung, masuk jauh ke dalam lorong di sebelah.
Inilah suka-duka relawan, gumam saya. Telinga mesti siap mendengar suara-suara yang cukup ‘sedap’. Suara yang boleh jadi bukan otentik. Ia hanyalah letupan dari kegelisahan dan akumulasi keresahan –yang tiba nyaris bersamaan– terhadap: corona, banjir, mati lampu.
Tentu tak elok jika kami menyahut sesungguhnya tak punya kewajiban-konstitusional membagi nasi bungkus ini. Atau, bahwa kami juga adalah korban –dengan sudut pandang tertentu– dari keadaan yang kita semua tak menghendakinya. Akan lebih baik untuk mendengar apa yang mereka keluhkan. Maka kami turun dari perahu. Dan suasana pun menjadi cair setelah kami mendengar kesulitan yang mereka rasakan.
Ini adalah hari kedua kami turun ke lokasi banjir mengantarkan nasi bungkus dari keluarga besar KKSS. Seperti sehari sebelumnya, di hari ini ada 800 paket yang akan dibagi. Tentu jumlah itu jauh dari mencukupi. Seperti telah disebut, ada lebih 37.000 jiwa terdampak dari musibah banjir kali ini.
Tapi setidaknya langkah ini menjadi pertanda bahwa KKSS hadir dan peduli dengan kesulitan yang dialami sebagian warga kota. Bahwa KKSS bersama elemen masyarakat lainnya tergerak membantu pemerintah kota, di tengah nelangsa dan kekhawatiran akan transmisi virus corona.
Di ujung perjalanan pulang, baliho itu kembali tampak di depan saya. Tentu saja di antara pasangan calon itu kelak akan ada terpilih memimpin kota ini. Mereka pun pasti telah menyusun gagasan dan rencana mengatasi banjir. Setidaknya, memasukkan persoalan banjir sebagai satu aspek yang akan menjadi perhatian.
Dalam kaitan itu, terpikir oleh penulis kiranya kepemimpinan mendatang dapat mempertimbangkan pembentukan sebuah badan yang secara khusus bertanggungjawab terhadap pembangunan, inovasi dan berbagai aspek yang terkait dengan pencegahan banjir dan pengelolaan sumber daya air di Samarinda.
Soal tata kelola kelembagaan badan tersebut tentu dapat diurai secara teknis oleh pihak kompeten. Yang terang, kehadiran badan itu –atau apapun namanya– adalah tanda keseriusan kita dalam mencegah datangnya banjir secara terpadu dan menyeluruh. Barangkali itu!
[Imran Duse, Sekretaris Tim KKSS Samarinda Tanggap COVID-19]