Menghidupkan Potensi Ruhaniah dan Sosial Selama Ramadhan

0
1716
- Advertisement -

Kolom Zaenal Abidin

Kegiatan Webinar yang berlangsung 1443 H (22 April 2022) yang membahas topik “Menghidupkan Potensi Ruhaniah dan Sosial Selama Ramadhan” ini dipandu langsung oleh Ns. Sarifudin, M.Si dan dr. Fahmi Dwika Hafiz Triono, dengan menghadirkan dua nara sumber, yaitu Ust. Dr. dr. Muhammad Khidri Alwi, M.Kes,. M.Ag (dosen FKM UMI Makassar dan Ketua Baznas Provinsi Sulawesi Selatan) dan dr. Agung Frijanto, Sp.KJ., M.H (Ketua PP. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dan dokter psikiater di RSJ. Soeharto Heerjan).

Selain itu juga menhadirkan seorang penanggap, yaitu Alifah Pratisara Tenrisangka (kelompok perempuan mileneal serta Pendiri dan Ketua Umum Jakarta Mengabdi (2020-2021).
Dr. Mahesa Paranadipa Maikel, M.H dalam sambutan pengantarnya menyampaikan tiga poin penting.

Pertama, puasa merupakan ibadah yang sifatnya tidak kasat mata karena berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain, berpuasa sejatinya hanya diri sendiri dan Allah yang tau. Kedua, banyak sekali dalil-dalil bahkan penelitian yang banyak menyebutkan bagaimana dampak positif dari melaksanakan puasa.

- Advertisement -

Bahkan Ibnu Sina atau dalam dunia barat menyebutnya Avicenna dalam mentreatment pasiennya disebutkan dalam bukunya, menganjurkan pasiennya untuk berpuasa terlebih dahulu sebelum berobat kepadanya karena berpuasa dapat memberikan dampak baik dalam bentuk treatment bagi kesehatan. Ketiga, mengutip sebuah hadist yang artinya “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Dr. Mahesa mengajak para peserta melalui momentum puasa ini kiranya lebih meningkatkan sifat sosial dan dapat lebih bermanfaat bagi orang lain dengan sifat berbagi satu sama lain.

Menghidupkan Potensi Ruhaniah
Ust. Dr. dr. Muhammad Khidri Alwi, M.Kes,. M.Ag. dalam paparannya mengangkat pandangan Imam Al-Ghazali dalam kitab “Ihya Ulimuddin” yang mengkategorikan puasa dalam tiga tingkatan. Pertama, puasa elementer yakni puasa yang hanya bisa menahan lapar dan haus serta semua yang membatalkan puasa lainnya. Kedua, shaum al-khusus yakni mempuasakan semua panca indra kita, mulut tidak bicara sembarangan dan tidak emosi, mata menundukkan pandangan, dan telinga tidak mendengar hal-hal yang buruk. Ketiga, shaum al-khusus khusus (puasa istimewa) yakni puasa nabi, wali wali Allah dan orang-orang shaleh. Pada hakikatnya puasa adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, oleh karenanya puasa terdapat pada seluruh agama di dunia namun tinggal hanya tata cara yang berbeda.

Puasa memiliki dua dimensi, pertama berdimensi Ilahiyah (dimensi ketuhanan) ini merupakan wujud ketundukan dan ketaatan kepada Allah. Kedua dimensi Insniyah (dimensi kemanusiaan) berkomitmen untuk berbagi dengan pendekatan partisipatoris atau aspek sosial. Karena orang yang berpuasa juga merasakan kesulitan saudara-saudara yang membutuhkan pertolongan maka akan muncul panggilan jiwa berbagi dan menumbuhkan solidaritas sosial dari hati sanubari, bukan motivasi ria dan popularitas diri.

Nabi Saw bersabda : “siapa yang menjaminkan kepadaku apa yang ada diantara dua rahangnya dan apa yang ada diantara dua pahanya, aku menjamin surga baginya.” Menjamin keduanya berarti mengendalikannya dalam bimbingan ajaran Rasulullah Saw. Rahang dan paha melambangkan nafsu perut dan nafsu di bawah perut. Keduanya tidak dapat dipisahkan, setali tiga uang. Lewat pengekangan “rahang”, maka “paha” dapat dikontrol. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan berpuasa.

Menghidupkan Potensi Sosial
Dokter Agung Frijanto, Sp.KJ., M.H dari PP. PDSKJ membahas korelasi puasa dan kesehatan jiwa. Mengutip dari UU Kesehatan jiwa yang termaktub di UU No.18/2014 sejak 8 tahun yang lalu, dr. Agung mengatakan bahwa secara eksplisit tertulis di UU tersebut bahwa kondisi sehat jiwa adalah sehat dan berkembang secara fisik, mental dan spiritual

“Masalah kesehatan jiwa dari tahun-ketahun semakin bertambah, atau bisa kita sebut sebagai disablity-adjusted life years. Dan beberapa jenis penyakit kejiwaan ini terus berkembang, sebagai contoh depresi diprediksikan WHO akan menjadi masalah utama dalam beberapa tahun kedepan. Apalagi situasi pandemi di tiga tahun belakangan menjadi stressor dan mempengaruhi kesehatan jiwa masyarakat.”

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia juga melakukan penelitian terkait pandemi selama dua tahun belakangan yang dihubungkan dengan kesehatan jiwa, “Kami melakukan swaperiksa terhadap kurang lebih 15.000 responden sekitar 76% perempuan 24% laki-laki, sebaran terbesar di pulau jawa, usia produktif, dari hasil tersebut yang didapatkan adalah bahwa hampir sekitar 80% terdapat masalah kesehatan jiwa, cemas, depresi, dan bahkan ada ide-ide bunuh diri. Hal ini membuktikan masalah kesehatan jiwa utamanya di pandemi covid semakin penting untuk diperhatikan.”

Sebenarnya religi dan spiritualiti sangat mempengaruhi kesehatan mental. Selain genetik setiap manusia, ternyata faktor agama atau spiritualitas amat mempengaruhi pembentukan karakter seseorang, utamanya ketika childhood atau pola asuh kecil atau di masa golden age. Faktor spiritualitas ini amat mempengaruhi dalam menjaga kesehatan mental, social support, dan perilaku kesehatan, serta bagaimana mekanisme defensifnya terhadap stress, dan hal hal negatif lainnya, yang mana secara tidak langsung juga mempengaruhi kesehatan fisik. Sehat mental dan spiritualitas akan sehat fisik juga.

“Jadi apabila kita ada stressor itu akan direspon oleh otak kita, ada yang disebut sebagai sitem HP-Axis, dimana ketika stress dia akan menstimulus corticotropine releasing hormon yang pada akhirnya akan menghasilkan hormon kortisol atau hormon stress”
Bagaimana dampak kortisol tinggi berkepanjangan? Menurut dokter Agung kortisol tinggi berkepanjangan, stress berkepanjangan akan bisa meningkatkan glukoneogonesis, menurunkan imunitas, kerapuhan tulang, kulit dsb. Disinilah dapat kita lihat bagaimana aspek psikologis berefek kepada fisiologis manusia.
Timbul pertanyaan, kira kira bagaimana dengan bulan ramadhan, apakah dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan jiwa kita?

“Ramadhan disebut salah satunya sebagai Ramadhan syahrut tarbiyah atau bulan pendidikan, dimana setiap individu harus mampu menjalankan sarana-sarana tarbiyah selama Ramadhan menjalani proses pembentukan ruhiyah maknawiyah. Dari segi neurosains dalam konsep pendidikan tarbiyah bahwa sel otak bisa berubah sifat dan fungsinya sesuai dengan paparan yang diterima secara berulang dan terus-menerus. Bila paparan bersifat positif, kan terbentuk “sirkuit positif”. Dan bila paparan bersifat negatif akan terbentuk sirkuit negatif pula. Karena memori itulah yang menjadi dasar perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Artinya bila memori yang terkandung berisi negatif akan terbentuk perilaku yang negatif pula pun sebaliknya”.

“Puasa pada ramadhan melatih kita untuk mengaktifkan otak dengan cara memberi stimulus kepada otak agar berperilaku sesuai fitrah manusia. Infak-sedekah dan amal saleh sosial lainnya bukan hanya dilipatgandakan pahalanya tapi juga bermanfaat kesehatan bagi orang yang mengerjakannya. Begitu juga larangan berbuat tidak baik (fahsya-mungkar) terdapat faidah luar biasa. Ada sebuah riset yang mengatakan tentang sedekah dan kebahagiaan. Ketika dibandingan pada subyek diberi dan memberi uang hasil MRI pada orang yang bersedekah didapatkan area otak yang menjadi pusat senang bahagia (nukleus accumbens) mengalami ekskalasi listrik dan dan didapat neurotransmitter dopamin dan serotonin (zat kimia otak yang menyebabkan rasa bahagia)” Lanjutnya.

Alifah Pratisara Tenrisangka dalam tanggapannya, mengatakan bahwa ada tiga hal yang dapat kita lakukan untuk menghidupkan potensi rohani saat berpuasa. Ketigal hal itu adalah: Pertama, meramaikan rumah Allah. Kedua, memperbanyak prasangka baik dan pikiran positif. Ketiga, senantiasa menyebut nama Allah.

Sementara untuk menghidupakan potensi sosial saat berpuasa, perempuan yang sedang menempu pendidikan S2 di Universitas Indonesia ini juga menyampaikan tiga hal penting. Pertama, menyiapkan sahur dan berbuka untuk orang terdekat. Kedua, memperbanyak silaturrahim. Ketiga, berbagi karena Allah.

Catan Akhir

Puasa dan ibadah Ramdahan lainnya memiliki dua dimensi, yaitu berdimensi Ilahiyah (dimensi ketuhanan) ini merupakan wujud ketundukan dan ketaatan kepada Allah dan dimensi Insniyah (dimensi kemanusiaan) berkomitmen untuk berbagi dengan pendekatan partisipatoris atau aspek sosial.

Puasa Ramadhan melatih kita untuk mengaktifkan otak dengan cara memberi stimulus kepada otak agar berperilaku sesuai fitrah manusia. Infak-sedekah dan amal saleh sosial lainnya bukan hanya dilipatgandakan pahalanya, tapi juga memberi manfaat kesehatan dan perasaan bahagia yang luar biasa bagi orang yang mengerjakannya. Begitu pula larangan berbuat buruk (fahsya-mungkar) juga terdapat faidah yang luar biasa.
Untuk menghidupkan kedua potensi rohaniah dan sosial selama Ramadhan, penulis sepakat cukup dengan pandangan yang diutarakan saudari Alifah Pratisara Tenrisangka.

Bahwa selama Ramadhan kita dapat menghidupkan potensi rohaniah dengan meramaikan rumah Allah, memperbanyak prasangka baik dan pikiran positif, dan senantiasa menyebut nama Allah. Sementara untuk menghidupkan potensi sosial dapat dilakukan dengan menyiapkan sahur dan berbuka untuk orang terdekat, memperbanyak silaturrahim, dan berbagi karena Allah.

Wallahu a’lam bishawab.

(Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015 dan Ketua Dep. Kesehatan BPP KKSS)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here