Kolom Hafid Abbas
Sejak dua dekade terakhir, lembaga legislatif (MPR, DPR, DPD dan DPRD telah dilanda berbagai persoalan hukum, politik dan sosial yang telah menyebabkan meredupnya kepercayaan masyarakat kepada institusi ini. Data KPK menunjukkan bahwa sejak 2004
hingga Juli 2023, DPR dan DPRD telah terjerat di sebanyak 344 kasus korupsi. Oleh KPK, jumlah ini dinilai ketiga tertinggi, sebagai institusi paling korup di tanah air, berada di bawah kasus korupsi yang bersumber dari korporasi (399 kasus) dan pejabat eselon I-IV di berbagai kementerian dan lembaga negara sebanyak 349 kasus (Kompas,18/07/2023).
Selanjutnya Kontras mengungkap pula bahwa selama priode 2014-2019, terdapat 242 anggota legislatif yang memiliki catatan buruk dan diduga terlibat dalam sejumlah kasus pelanggaram hukum dan HAM. Dari jumlah itu, anggota DPR yang memiliki catatan terburuk terbanyak berasal dari Fraksi PDIP yakni 57 orang, Fraksi Partai Golkar 44 orang, Fraksi Partai Demokrat 37 orang, Fraksi Partai Gerindra 24 orang, Fraksi PPP 20 orang, Fraksi PKS 18 orang, Fraksi PAN 16 orang, Fraksi PKB 11 orang dan Fraksi Partai Nasdem 9 orang (Hukumonline, 14/10/2014).
Potret suram seperti ini terlihat semakin masif dan meluas dipraktekkan di masyarakat seperti yang telah direkam dalam film dokumenter Dirty Vote (2024).
Akibatnya, wajah suram kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan korporasi terlihat secara langsung atau pun tidak langsung berdampak pula pada semakin menurunnya capaian-capaian Indonesia dalam pelaksanaan ketatapemerintahan yang baik (good governance) di tanah air.
Pertama, pada 2014, Indonesia sebenarnya sudah tercatat sebagai negara demokrasi
ketiga terbesar di dunia dengan indeks demokrasinya (world democracy index) yang cukup baik. Ketika itu, Indonesia berada di peringkat ke-49 di antara 167 negara di dunia dengan skor total 6,95, memiliki skor 7,35 pada aspek kebebasan sipil.
Namun, setelah satu dekade, pada 2023, capaian-capaian itu menurun tajam ke skor total 6,53, sehingga peringkatnya turun ke 56, dengan skor pada aspek budaya politik 4,38 dan kebebasan sipil 5,29, berada sejajar dengan Sierra Leone (5,29) dan Mauritania 5,00, dan sejumlah negara terbelakang lainnya yang berbentuk kerajaan atau otoriarian.
Perubahan dari negara demokrasi yang relatif stabil ke demokrasi yang cacat ditandai dengan pelemahan KPK, pergeseran peran aparat menjadi alat politik, dsb. Lewat sindiran syair singkatnya Gus Mus menggambarkan suasana rezim ini: “Ada sirup rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan” (JPNN 01/11/2023).
Kedua, pada 2014, Indonesia berada di peringkat ke 107 di dunia dalam pemberantasan korupsi (Corruption Perception Index) dengan skor total 34. Namun pada 2023 peringkatnya turun ke 115, meski skor totalnya tetap berada di zona merah 34. Salah satu penyebab penurunan itu secara signifikan adalah karena independensi dan presionalitas
KPK diamputasi secara sempurna lewat revisi kedua UU KPK melalui UU Nomor 19 tahun 2019 yang memuat perubahan mendasar terhadap kelembagaan KPK.
Ketiga, pada 2014, Indonesia berada di peringkat ke-65 di antara 99 negara di dunia dalam menerapkan supremasi hukum (rule of law index) dengan skor total 0,54.
Namun pada 2023, angka dan peringkat ini turun ke skor 0,53 dengan ke-66, dan tetap berada di zona merah. Data ini berarti, Indonesia adalah surga segala pelanggaran hukum, karena jika terdapat 10 kasus hukum hanya setengahnya yang penyelesaiannya dinilai akuntabel
selebihnya bisa diatur. Ini berbeda dengan Singapura, Jepang dan Australia masing-masing indeksnya 0,79, sulit sekali ditemukan ada celah satu kasus hukum dapat dintervensi.
Keempat, pada 2013, di antara 144 negara di dunia, Indonesia berada di urutan ke-76
tingkat kebahagiaan (happiness index) warganya dengan skor total 0,53. Namun pada 2024, capaian itu menurun ke peringkat 80 dengan skor total 5,5. Ini berarti masih sekitar 50 persen penduduk Indonesia yang tidak hidup bahagia di negerinya.
Aspek yang dinilai pada indeks kebahagiaan itu adalah: tingkat pendapatan, dukungan sosial
(social support), kesehatan, kebebasan menentukan pilihan, kedermawanan
(generioucity), dan korupsi.
Merujuk pada fakta-fakta tersebut, Bank Dunia dalam publikasinya Indonesia Rising
Divide (2016) memprediksi Indonesia terancam pecah. Alasannya, antara lain: terdapat diskriminasi dan ketidakadilan di berbagai aspek kehidupan ekonomi, sosial dan politik, sehingga tidak mengherankan jika hanya empat orang kaya Indonesia kekayaannya setara dengan kekayaan seratus juta penduduk lainnya.
Urgensi Penegakan Supremasi Hukum
Untuk menghindar dari berbagai keterpurukan sosial, ekonomi dan politik akibat kegagalan berdemokrasi, keterpurukan penerapan supremasi hukum, hingga meningkatnya potensi dan ancaman Indonesia pecah, Indonesia terlihat perlu segera membentuk satu kelembagaan etik nasional yang independen dengan memetik pengalaman PBB atau pengalaman bangsa-bangsa lain yang sudah maju dan sejahtera karena ditopang oleh satu institusi penegakan supremasi etika, seperti Norwegia misalnya.
Institusi Penegakan Etika Norwegia dan Jepang
Sebagai contoh, Nowegia adalah salah satu negara maju dan sejahtera yang memiliki institusi penegakan etika yang dinilai terbaik di dunia. Ombudsman Parlemen yang dibentuk oleh Parlemen Norwegia (Stortingen) adalah institusi independen yang mempunyai dua tugas yakni: melaksanakan pengawasan atas administrasi pemerintahan sesuai dengan pengaduan yang diterima dari masyarakat; dan, pencegahan atas penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi bagi mereka yang tengah menjalani hukumannya di rumah tahanan (Rutan) atau di lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Visinya adalah memajukan dan melindungi kepentingan publik dengan memerangi
segala bentuk ketidakadilan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etika, moral dan HAM secara akuntabel, kredibel, obyektif dan independen. Terdapat sekitar 70 orang yang bekerja di kantor Ombudsman Parlemen, mereka terbagi
kedalam tiga departemen yakni: bagian yang mengkaji setiap kasus pengaduan dari masyarakat yang merasa telah diperlakukan tidak adil dari pihak pemerintah; bagian investigasi pada setiap kasus pengaduan apabila dinilai memenuhi ketentuan; bagian penanganan khusus mandat konvesi PBB untuk mencegah segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi di Rutan atau di Lapas.
Mereka terbagi dalam tiga divisi. Divisi 1 menanganai urusan: Pajak, Pajak Penjualan, Bea Cukai, Pajak properti, Asuransi dan pensiun, Jaminan Upah, Bantuan sosial ekonomi, Pengadilan Tenaga Kerja dan Layanan Sipil, Urusan warga asing, Hibah, dan Pertahanan; Divisi 2 menangani urusan: Imigrasi, Rutan dan Lapas, Layanan kesehatan dan perawatan, Pasien, Kepolisian, Kesejahteraan anak, Bantuan kepada anak, Bantuan hukum dan pengacara gratis, Pendidikan dan penelitian, Lalu Lintas Jalan, Perumahan,
Gereja dan budaya, dan Keluarga dan warga; dan, Divisi 3 menangani urusan: Bangunan dan perencanaan, Energi, OJK, Kesejahteraan hewan, Akses, Lingkungan, Bencana Alam, Pertanian, Industri, Transportasi dan Komunikasi.
Selain Norwegia, Jepang adalah salah satu negara yang dinilai amat berhasil
menerapkan, memajukan dan melindungi standar etika dan moral dalam melakukan
pelayanan publik dengan memberlakukan aturan yang sangat rinci. Misalnya, pada
peraturan National Public Service Ethics Code Cabinet Order No. 101 of March 28, 2000, pada pasal 8, ditegaskan: Jika seorang pejabat diajak makan dan minum oleh pihak lain yang berkepentingan
dengan jabatannya dengan biaya melebihi 10000 yen (Rp 1 juta), maka ia harus
melaporkan hal itu kepada pengawas penegakan etika di kantornya, kecuali jika: ketika makan dan minum dengan pihak yang berkepentingan di pesta secara prasmanan dan terbuka (a buffet-style party) yang dihadiri banyak orang; atau, ketika makan dan minum dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan biaya yang ditanggung sendiri oleh para pihak.
Kantor Urusan Etik PBB
Kantor Urusan Etik ini didirikan pada 2006 untuk memajukan dan melindungi standar
integritas tertinggi personil PBB sesuai dengan Pasal 101, ayat 3, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan mempertimbangkan paragraf 161 dari Hasil KTT Bumi 2005 dan sesuai dengan resolusi Sidang Umum PBB 60/248.
Kantor ini melaksanakan mandatnya melalui lima fungsi strategis, yakni: (1) pemberian saran, (2) perlindungan terhadap segala kejahatan dan perbuatan tercela, (3) pengungkapan data keuangan, (4) pelatihan etika, dan (5) menegakkan koherensi standar etika.
Kantor Urusan Etik ini melayani Sekretariat Umum PBB, termasuk kantor pusatnya di
New York, Jenewa, Wina dan Nairobi; semua sekretariat regional, operasi pemeliharaan perdamaian dunia, misi politik khusus; dan kantor-kantor lain yang ditunjuk. Dalam menjalankan misinya untuk memajukan dan melindungi etika bagi semua anggota personil PBB di mana pun bertugas, mereka menjaga independensi, rahasia, dan tidak memihak.
Kantor Urusan Etik PBB membentuk satu panel yang terdiri dari ketua, wakil ketua dan anggota yang bertugas mengembangkan seperangkat standar dan kebijakan etika secara terpadu di Sekretariat PBB dengan anggaran dan program kegiatan yang dikelola secara
tersendiri, dan memberi pertimbangan-pertimbangan secara konsultatif tentang kasuskasus urgen dan kompleks yang memiliki implikasi penting di semua lingkup organisasi PBB. Setiap anggota dan ketua dapat mengangkat kasus apa saja yang telah diadukan untuk dibahas dan diputuskan di Sidang Pleno Etik yang dipimpin oleh Kepala Kantor Urusan Etik PBB.
Semoga Indonesia dapat segera terbebas dari beragam keterpurukannya dengan
hadirnya satu badan independen sebagai Mahkamah Penegakan Etika untuk kembali
menegakkan pengamalan nilai-nilai dasar Pancasila bagi semua warga negara tanpa
kecuali.
Penulis, Ketua Senat UNJ dan Ketua Senat Dewan Perguruan Tinggi Negeri seIndonesia