Kolom S. Andi Mangga
Kata Panrita dan Siri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia sangat asing. Tetapi bagi masyarakat yang lahir, berasal, dan pernah bertugas di Provinsi Sulawesi Selatan, maka kedua kata ini tidak asing bagi mereka, bahkan sangat akrab dan mempunyai makna yang sangat mendalam. Tak mudah mencari padanan yang tepat kedua kata ini dalam Bahasa Indonesia. Istilah ini mungkin dapat disinonimkan dengan kata Cendikiawan/intelektual, yaitu orang cerdik, pandai, orang intelek dan orang yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui, memahami dan peduli terhadap lingkungan kehidupan.
Panrita dan Siri merupakan kata atau istilah yang berasal dari Bahasa Bugis. Keduanya mempunyai makna dan nilai yang mendalam dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Seorang Panrita harus memiliki sifat siri, sebaliknya seseorang yang memiliki sifat siri mendorong mereka bertingkah laku sebagai Panrita.
Panrita dalam bahasa Bugis adalah orang atau sekelompok orang yang mempunyai modal intelektual, ilmu, rendah hati, moral dan rochani (toacca) memadai yang berfungsi pengambil keputusan, memberikan saran, pandangan dan nasehat sebagai pemikiran alternatif kepada kerajaan atau negara. Oleh karena itu seorang Panrita/Cendikiawan dapat menduduki jabatan dan anggota di Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, organisasi-organisasi politik (partai politik), massa (ormas) dan organisasi kemasyarakatan (paguyuban). Dia bisa berada di dalam (bagian) atau di luar kekuasaan. Pada hakekatnya dapat memfungsikan dirinya sebagai pengambil keputusan, pengontrol kekuasaan, pemberi pandangan/saran/nasehat dan penegak kebenaran.
Seorang Panrita/Cendikiawan/Intelektual harus bersikap jujur, kritis, obyektif mengungkapkan fakta yang baik maupun yang buruk, mampu menterjemahkan keinginan masyarakat kedalam program (reflektif) dan konsisten terhadap isi, maksud dan implikasi dari suatu perencanaan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemegang kekuasaan. Mereka mampu memproduk pemikiran dan gagasan yang berisi, berbobot, dan bermakna sekaligus menampilkan dirinya sebagai manusia merdeka/bebas.
Berdasarkan keterlibatannya dalam kehidupan politik maka kelompok Panrita/Cendikiawan dapat dibagi menjadi 2 kubu pendirian, yaitu kubu pertama sebagai resi yang memposisikan dirinya sebagai pengontrol kekuasaan dengan melakukan perlawanan dan kritikan tajam kepada pemegang kekuasaan dan kubu kedua sebagai bagian aparatur yang sarat dengan kepentingan politik praktis serta ikut serta berpartisipasi dalam menentukan program dan kebijakan negara. Seorang (kelompok) Panrita ketika bersentuhan dengan politik maka akan mengalami proses dinamisasi serta berbagai risiko yang akan ditimbulkan oleh proses ini. Oleh karena itu apakah berada pada kubu pertama atau kubu kedua dalam berhadapan dengan kekuasaan dapat menempatkan diri sebagai kelompok yang netral, kritis, pembangkang atau kolaborator (opportunist), apapun pilihannya harus tetap memiliki kemampuan analisis dengan kerangka teoritis dan kemampuan mengembangkan suatu nilai dan konsep yang bisa diajukan sebagai usulan (tawaran) kepada pimpinan untuk menyusun perencanaan dan kebijakan dalam bentuk undang-undang dan surat keputusan.
Perbedaan pilihan ini mengakibatkan timbulnya pluritas kepentingan dan pluritas strategi. Keterlibatan seorang atau sekelompok Panrita justru sering dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk memperkuat posisi penguasa. Ideaslisme yang dimiliki sering berbenturan dengan kepentiangan kekuasaan dan pemodal/kapital. Apakah mereka terkoptasi dan larut dalam sistem yang dibentuk oleh kekuasaan negara atau terlempar dari pusat kekuasaan akibat kuatnya daya tekan yang ditimbulkan oleh sistem. Ataukah tetap berada di luar sistem dengan melakukan penguatan diri dan membentuk suatu kekuatan/gerakan moral dari masyarakat (civil society) yang memiliki kekuatan penekan yang efektif untuk memperluas kebebasan dan melindungi individu terhadap kesewenangan negara untuk mendobrak kepengapan sistem di ruang publik. Berbagai fenomena memunculkan banyak kaum Panrita/Cendikiawan/Ulama mengalami kesenjangan berpikir, menghamba dan sulit membebaskan diri dari cengkraman dan gurita kelembagaan yang terstruktur (kekuasaan negara).
Penempatan atau pemilihan untuk berada didalam atau diluar kekuasaan sangat tergantung pada integritas pribadinya. Kekuatan utama seorang Panrita adalah menjadi pribadi yang otentik, yang ideal, jujur, konsisten dan berfikir “out of the box”. Sehingga mampu melakukan terobosan dan mempertahankan “integritas intelektual”. Potret diri seorang Panrita harus tampil sebagai pribadi yang mengajak orang berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat (amar ma’ruf nahi munkar), modernisator, formulator dan artikulator. Keterlibatan mereka tidak ditentukan oleh faktor nepotisme, tapi sebagai teknokrat-birokrat mitra kerja yang dapat dipercaya dan diandalkan (The Winning Team) dalam menyusun konsep pembangunan yang tepat guna, berlingkup luas dan berwawasan jauh ke depan.
Pilihan seorang Panrita melalui jalur kekuasaan negara dengan masuk ke dalam struktur kekuasaan pada posisi strategis, konsekuensinya dari pilihan ini adalah sikap dan pendirian kooperatif dan akomodatif terhadap kepentingan kekuasaan negara. Idealisme yang telah dibangun dan dimiliki yang telah terbentuk berpotensi mengalami erosi dan regresi idealisme dalam bentuk penyempitan, pendangkalan, tereduksi dan larut terserap dalam kemewahan yang bersifat material yang ditawarkan oleh struktur kekuasaan negara. Apa yang terjadi dan dialami merupakan bagian konsekwensi dari suatu kontestasi kekuasaan, bila ada pihak dari seorang (kelompok) Panrita/Cendikiawan yang berpotensi mengganggu agregasi kepentingan dari kekuasaan maka akan terjadi pemutusan hubungan (cutting relation) oleh pihak pemegang kekuasaam, ini merupakan peristiwa titik balik (turning point) hubungan keterlibatan kaum intelektual/Panrita dengan pemegang kekuasaan. Pada sistem seperti inilah seorang Panrita akan mengalami pilihan yang dilematis dan sulit, umumnya mereka akan larut, terkoptasi dan menghianati idealismenya.
Godaan kenikmatan dan kenyamanan kekuasaan dan keuntungan secara politis bisa berakibat fatal terhadap kemampuan pemikiran dan daya kritiknya sebagai intelektual sehingga mengalami pemandekan dan pederupan dengan “menghianati dan melacurkan diri”. Mereka berpolitik mengikuti Teori Nicolo Machiavelli yang berprinsip bahwa segala cara boleh digunakan untuk mencapai tujuan. Cara menghalalkan tujuan, kejujuran dan harga diri bisa diabaikan/digadaikan jika hal itu bertentangan dengan tujuan dan kepentingan mereka. Istilah pelacuran kaum cendikiawan pertama kali dicetuskan pada tahun 1968/1969 di Harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis yang berani, keras dan tanpa kompromi, dalam suatu seri tulisan bersambung berupa kritikan tajam tentang peranan kelompok intelektual/cendikiawan yang menjadi alat pembenaran, kalobarator dan dosa-dosanya dalam masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde Lama). Materi dan esensi kritiknya masih relevan dan aktual untuk didiskusikan saat ini. Kritik memang harus terus menerus dilakukan untuk saling Sipakainge (mengingatkan), Sipakalebbi (menghargai) dan Sipakatau (menghormati).
Bila idealismenya ternyata tidak terkooptasi dan tidak larut dalam struktur kekuasaan negara, ada kecendeerungan tidak setia lagi pada pimpinan maka seorang Panrita akan terlempar dan terusir dari sistem yang ada. Ia kembali melakukan perjuangan dan berlawanan secara fisik dan frontal terhadap kekuasaan negara sebagai gerakan oposisi. Gerakan ini umumnya mengalami kegagalan karena para tokohnya adalah Kelompok Panrita yang tadinya berada di struktur kekuasaan yang telah merasakan kenikmatan kekuasaan dengan berbagi fasilitas baik yang bersifat material maupun yang non material, mereka mengalami penurunan daya ingat semacam penyakit “Amnesia History” (lupa sejarah dan melawan lupa).
Sangat sulit mencari terjemahan istilah/kata yang tepat bagi Siri ke dalam Bahasa Indonesia, namun maknanya mencakup tiga pengertian, yaitu malu, harga diri (martabat) dan ketersinggungan. Siri pada hakekatnya adalah menyangkut soal etika, jadi merupakan suatu geraan kultural (moral courage), penerapannya dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat harus ditempatkan pada posisi yang tepat dan benar, yaitu tindakan-tindakan yang harus konstruktif.
Oleh karena itu, interprestasi atau sosialisasi budaya siri dalam kehidupan sehari-hari dapat bermakna ganda yang hasilnya saling bertentangan. Orang Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar, Toraja) jika telah meninggalkan kampung halaman untuk meneruskan pendidikan, berniaga dan bekerja akan “masiri” (malu, harga diri). Jika tidak berhasil, sebaliknya Siri bisa juga diasosiasikan dengan ketersinggungan jika kehormatan keluarga yang merupakan milik dan kebanggaan bersama terganggu dan terhina, nyawa taruhannya dan mau mati untuk itu.
Masyarakat Sulawesi Selatan sangat menjunjung tinggi persoalan Siri, mereka akan merasa malu untuk melakukan perbuatan yang tidak baik, yang bertentangan dengan norma agama, hukum, adat dan kesopanan. Kehilangan harga diri atau integritas dianggap sebagai kehilangan segalanya. Utettongi ri-ade’e, najagainnamnu siri’ku (saya taat pada hukum adat untuk menjaga harga diriku). Menjadikan nilai dan moral sebagai landasan berpijak dan orientasi untuk mewujudkan idealisme sebagai gerakan Sipakainge, Sipakalebbi, Sipakatau dan Taro Ada Taro Gau, sehingga gerakan budaya ini dapat hidup terus dan mempunyai nilai yang dapat memengaruhi kehidupan, pandangan dan tindakannya. Gerakan budaya ini jangan sampai tergerus dan terpinggirkan akibat perkembangan peradaban manusia, dan kepentingan kekuasaan. Peliharalah dan pertahankanlah sistem budaya masa lalu yang baik.
Siri harus “linkage” dan menyatu dalam diri seorang Panrita dapat menentukan posisinya, perasaan siri yang besar dan mendalam dapat menyebabkan netral dan kritis, baik dia berada (bagian) atau di luar kekuasaan. Betapa pentingnya pada saat diperlukan dan saat yang tepat seorang Panrita harus mempunyai keberanian untuk memahami situasi dan menentukan sikap dalam ruang dimana dia berada; mengatakan “ya” atau “tidak” pada suatu pilihan dan sikap.
Seorang Panrita/Cendikiawan/intelektual harus mempunyai keberanian moral (moral courage) untuk melakukan tindakan, protes perlawanan terhadap kesewenangan dan koreksi terhadap kebijakan (policy) dari kekuasaan negara yang keliru, meskipun ada resiko dipecat atau mundur dari jabatannya. Sejarah masa lampau telah memberikan bukti dan pelajaran bahwa betapa kekeliruan dan kesalahan terjadi karena tidak adanya keberanian seorang Panrita untuk mengatakan kebenaran dan koreksi terhadap pemegang kekuasaan yang otoriter. Para Panrita telah kehilangan kemampuan untuk membedakan antara benar dan salah, hanya dijadikan pemadam kebakaran untuk setiap kebijakan kontroversial pemerintah, mereka telah kehilangan kapasitas untuk memberikan inspirasi dan kehilangan kemampuan untuk memimpin.
Seorang Panrita dengan kualitas Siri yang baik akan mempunyai watak untuk melakukan reformasi, kontrol dan koreksi terhadap kekeliruan, kesalahan dari kekuasaan negara yang dianggap telah mengabaikan kepentingan masyarakat dalam penerapan dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu seorang Panrita tidak akan menempatkan dirinya sebagai seorang “penghianat dan pelacur intelektual”, terkoptasi, berkolaberasi dan menjadi sarana kekuasaan sebagai alat pembenaran dari suatu tindakan yang salah dengan tujuan melanggangkan kekuasaan yang otoriter.
Reformasi pada hakekatnya adalah perubahan substansial dan suatu tatanan baru yang terbentuk melalui proses hukum, telah berhasil menciptakan banyak kesempatan bagi setiap orang untuk terjun ke ranah politik. Kebebasan sebagai hasil reformasi nampaknya telah kebablasan menghasilkan budaya asal melawan, kekerasan, fitnah, kebencian, mobilisasi pembentukan opini yang berbau SARA dan meluasnya perbuatan koruptif di segala sektor. Gejala sosial ini sangat berbahaya yang berefek mendorong runtuhnya tertib hukum, maraknya praktik main hakim sendiri dan monopoli kebenaran yang berakibat bangsa ini mengalami krisis kebangkrutan moral yang mengancam persatuan dan kesatuan NKRI yang berpotensi mempengaruhi kelangsungan kehidupan negara. Dengan alasan penegakan, demokrasi, setiap orang ingin tampil tanpa risiko, kritik yang ditampilkan tanpa mempertimbangkan tata krama, penuh dengan kebencian dan tidak ada keindahan.
Penegakan demokrasi harus bersendi kepada hukum, etika dan moral, demokrasi mengajari berfikir kritis (Lesson Learning) sering terdapat skenario dalam penyampaian kritik justru berpotensi mencederai penegakan hukum dan pelaksanaan demokrasi. Perbedaan pendapat bukan sesuatu yang patologis, tapi suatu kemuliaan dan kebajikan untuk menemukan kebenaran. Proses perjalanan bangsa yang panjang terasa ada sesuatu yang salah, hilang ada keretakan, keterbelahan yang mempertajam segregasi pada bangsa ini. Kata yang membentuk kalimat dan memberikan arti, tidak lagi bermakna, terasa ada yang ikut hilang bersama makna itu sehingga apa yang dinyatakan oleh pemimpin negara, bangsa dan organisasi tidak lagi mampu mengajak dan mempengaruhi masyarakat untuk menjaga, merawat dan memperkuat hubungan silaturahim, persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kepada semua anak bangsa terutama kaum Panrita/Cendikiawan yang kreatif dan komitmen moral yang tinggi terpanggil, bertanggung jawab, dan terus menerus menyampaikan harapan perbaikan untuk ikut mencari, memberikan solusi dan mendapatkan pemecahan serta jalan keluar dari persoalan bangsa dan negara. Para pemegang, pengambil dan pelaksanaan keputusan yang berada pada posisi sentral di struktur kekuasaan harus bertindak tegas pada pelaksanaan dan penegakan hukum dan demokrasi terhadap kelompok yang berpotensi mengganggu dan mengancam ideologi negara, kebhinekaan eksistensi dan kelangsungan hidup negara dan bangsa.
Kepada seluruh pemimpin negara, bangsa dan organisasi, utamanya yang lahir dan berasal dari Propinsi Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar) yang berada dalam posisi pemegang, penyusun, pengambil dan pelaksana kebijakan negara dan yang tergabung dalam organisasi Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, agar tetap mempertahankan jati diri sebagai seorang Panrita (Cendikiawan/Ulama) dengan kualitas nilai-nilai budaya dan Siri yang baik dan kuat guna menjaga agar kelangsungan hidup bangsa ini tetap dipertahankan dan berjalan lancar tanpa tragedi politik. Hidup adalah pilihan, yang terpenting jangan salah dan menyesali pilihan dalam kehidupan ini sebelum terlambat masih ada waktu untuk berbuat baik berkarya, berprestasi mulia dan bertindak sehat. Jadikan Siri yang sarat dengan nilai-nilai luhur dan sebagai gerakan kebudayaan dan “Intelectual Movement” untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara (way of life).
Penulis, warga KKSS Kota Bandung