PAUD, Pendidikan Vokasi dan Kepemimpinan Kaisar Hirohito

0
290
- Advertisement -

Kolom Hafid Abbas

Pada 31 Juli 2024, pada prosesi pengukuhan guru besarnya di UNJ, Prof Dr R Sri Martini Meilani, MPd, Guru Besar bidang Ilmu Kurikulum dan Pembelajaran PAUD mengangkat judul: Guru PAUD Profesional: Sebuah Paradoks. Dikemukakan oleh beliau bahwa berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi terdapat 46,93 ribu guru Satuan PAUD dan sejenisnya (SPS) pada semester ganjil tahun ajaran 2022/2023. Dari jumlah itu terdapat 45,55 ribu guru PAUD/SPS perempuan dan 1,38 ribu guru laki-laki. Dari aspek persyaratan pendidikan, sekitar 70% dari mereka berpendidikan Strata 1 Sarjana PAUD dan Sarjana dari berbagai jurusan, 10% berpendidikan D3 dari berbagai jurusan, dan 20% berpendidikan SMA sederajat.

Dalam mengemban tugas profesionalnya, dikemukakan bahwa Guru PAUD menghadapi beragam tantangan, seperti: tingkat kesejahteraan yang belum layak untuk menghidupi keluarganya; pengembangan kariernya yang belum jelas; profesi sebagai guru PAUD belum mendapat penghargaan di masyarakat, dsb.

Jika dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia relatif tertinggal dalam memajukan PAUD-nya. Pada 2022, PAUD Malaysia sudah mencapai Angka Partisipasi Kasar (APK) 97% karena kelompok anak usia 5-6 tahun sudah termasuk bagian dari wajib belajar (Bank Dunia, 2023). Sementara Indonesia, APK-nya baru mencapai 36,36% (BPS, 2023).

Jika APK ini hendak ditingkatkan, Indonesia dapat pula secepatnya mencanangkan PAUD sebagai bagian dari program Wajib Belajar seperti halnya Malaysia.

- Advertisement -

Kedua, Prof Dr Tuti Iriani MSi, Guru Besar Bidang Ilmu Komunikasi Terapan Kompetensi Pembelajaran Teknik Bangunan pada orasi ilmiahnya mengetengahkan: Kompetensi dan Komunikasi Pembelajaran Calon Guru Vokasional di Era VUCA: Tantangan dan Peluang. Dikemukakan bahwa di era disruptif sekarang ini, banyak terjadi perubahan-perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan akibat adanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang amat pesat. Selain itu, kita juga memasuki era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity). Volatility merujuk pada perubahan yang relatif tidak stabil dan tidak terprediksi, meskipun mempunyai pemahaman atas informasi dan situasi. Hal itu menunjukkan suatu perubahan yang cepat dan tidak terprediksi. Uncertainty, sebagai gambaran situasi yang menandakan kurangnya pengetahuan yang berkaitan dengan apakah suatu peristiwa signifikan untuk menjadi sebab yang berarti. Ketidakpastian dalam konteks ini merujuk pada kualitas informasi. Complexity sebagai istilah yang menggambarkan situasi yang ditandai dengan banyaknya bagian yang saling berhubungan membentuk jaringan dan prosedur yang rumit, sehingga banyaknya variabel yang relevan menjadi indikator semakin kompleksnya situasi. Ambiguity yang menggambarkan situasi adanya keraguan tentang relasi kausal yang didorong oleh suatu peristiwa, situasi, dan konteks yang tidak jelas dengan faktor yang beragam seperti hilangnya suatu informasi, kontradiksi, inkonsistensi atau terjadinya bias pada berbagai hal.

Karenanya, terdapat beberapa hal yang perlu dibenahi dalam menghadapi VUCA khususnya bagi calon guru vokasi. Calon guru vokasi perlu dipandu oleh visi yang jelas tentang pendidikan vokasi; mampu menjadi fasilitator yang baik; mampu mengelola proses pembelajarannya dengan baik; mampu memberikan penjelasan terhadap setiap permasalahan yang ada; senantiasa termotivasi untuk terus belajar baik secara individu maupun berkolaborasi. Motivasi ini menjadi salah satu penentu keberhasilan guru dalam meningkatkan kompetensi pembelajarannya.

Salah satu indikator keberhasilan guru vokasi adalah ketika lulusannya semakin cepat terserap di dunia kerja. Namun, di sisi lain data BPS (2016) memperlihatkan bahwa persentase pengangguran lulusan sekolah vokasi (SMK) terhadap angkatan kerja sebesar 9,82%.  Jika dibandingkan dengan lulusan SMU yang sebesar 6,96%, terlihat lululsan SMK lebih sulit terserap di dunia kerja.
Satu ironi, pendidikan vokasi jenjang menengah dan tinggi ditujukan tidak hanya untuk menyediakan lulusan yang siap kerja di dunia usaha dan dunia industri (DUDI), tetapi juga dapat menjadi wirausahawan atau melanjutkan kuliah. Saat ini, pendidikan vokasi Indonesia dinilai belum jelas arahnya sehinnga tetap menjadi penyumbang pengangguran yang konsisten setiap tahunnya.
Berdasarkan data BPS (2022), penyumbang terbesar tingkat pengangguran terbuka dari sektor pendidikan tahun 2019-2021 adalah lulusan SMK dan diploma (vokasi). Lulusan dari jenjang SMK penyumbang pengganguran terbuka terbanyak, sekitar 10-14%, lalu diploma 6-8%, sedangkan universitas 6-7%. Adapun jenjang SMP ke bawah berkisar 2-6%.
Semoga gagasan Prof Tuti, ke depan masalah proses pembelajaran calon guru vokasi dapat diatasi sehingga kelak tidak lagi menjadi institusi pencetak pengangguran dari tahun ke tahun.

Ketiga, Prof Dr Taufik Rihatno, Bidang Ilmu Pembelajaran Pendidikan Jasmani, pada orasi ilmiahnya: “Pendidikan Jasmani Sebagai Dasar Fondasi Indonesia Sehat 2045” mengemukakan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pendidikan, suatu upaya untuk meningkatkan kinerja manusia melalui sarana aktivitas jasmani yang dipilih dengan tujuan mencapai hasil. Tujuan pendidikan jasmani pada dasarnya membuat peserta didik memiliki derajat kesehatan yang baik sebagai modal dalam menghadapi kehidupan jangka panjang. Kesehatan, baik secara fisik maupun mental, adalah salah satu pilar utama dalam mencapai kemajuan suatu bangsa.
Melalui pendidikan jasmani yang terstruktur dan terintegrasi dengan aspek-aspek kesehatan lainnya, kita tidak hanya mengajarkan keterampilan fisik, tetapi juga membentuk pola pikir dan perilaku yang mendukung kesehatan sepanjang hidup. Dengan kesadaran ini, generasi muda Indonesia diharapkan akan tumbuh menjadi generasi yang lebih kuat, lebih sehat, dan lebih produktif dan mampu menghadapi tantangan-tantangan masa depan.

Bertolak dari orasi ilmiah dari masing-masing ketiga guru besar UNJ tersebut, terlihat satu titik temu (common grounds) tentang persoalan utama PAUD, pendidikan vokasi dan pendidikan jasmani yakni pembenahan persoalan gurunya.
Kerisauan atas peran kunci guru tersebut, sejarah mengingatkan kita bagaimana Kaisar Hirohito meneyelamatkan bangsanya dari kehancurannya pada Perang Dunia II 1945. Hanya sekitar 11 jam 35 menit, setelah Hiroshima dibom oleh pasukan AS pada 6 Agustus 1945, tepatnya pada jam 7:50 malam, Kaisar Hirohito menerima laporan dari pengawal dekatnya bahwa menurut Panglima Angkatan Laut Jepang (Navy Ministry) kini Horoshima sudah rata dengan tanah setelah pemboman itu.
Pada 8 Agustus di malam hari, Hirohito menegaskan di hadapan para jenderalnya bahwa keadaan tidak memungkinkan lagi Jepang meneruskan peperangan. Kaisar bahkan berharap secepatnya mengakhiri perang meski dengan kehancuran dan kekalahan di pihaknya.
Para jenderal tersebut kemudian menegaskan kepada Kaisar bahwa mereka masih mampu menyelamatkan dan melindungi Kaisar dari serangan mana pun. Menanggapi perkataan ini, Kaisar mengatakan bahwa Jepang telah kalah. Kekalahan ini dikarenakan kita tidak belajar. Kalian para jenderal dan tentara Jepang boleh menguasai penggunaan persenjataan dan strategi perang, tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bom atom yang telah dijatuhkan AS.
Hirohito kemudian menegaskan bahwa Jepang tidak akan mampu mengejar AS jika tidak belajar. Karenanya, ia kemudian menginstruksikan para jenderalnya untuk menghitung berapa lagi jumlah guru yang tersisa dan mengumpulkan mereka yang tersisa itu di seluruh pelosok negeri. Sebab, kepada para gurulah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan bersenjata (thejapantimes, 09/09/2014).
Dipicu oleh puing-puing kekalahannya pada perang dunia kedua yang diperkirakan mencapai 146 ribu warga sipil dan 20 ribu lebih tentara Jepang tewas di Hiroshima, dan 246 ribu warga sipil dan 80 ribu tentara tewas di Nagasaki pada pemboman kedua (9 Agustus), Jepang bangkit dengan membenahi persoalan guru dan pendidikan keguruannya. Bahkan sejak 1949, semua guru di semua jenjang pendidikan untuk semua jenis matapelajaran harus bersertifikat untuk memastikan kemampuan profesionalnya (MEXT 2010).

Semoga, UNJ dengan perjalanan sejarahnya yang panjang sebagai LPTK Pembina di masa lalu akan tetap menjadi motor penggerak penghasil guru-guru dan tenaga kependidikan profesional di semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan untuk mendidik anak-anak bangsa agar siap mengantar Indonesia menjadi negara maju, damai dan sejahtera, yang tidak akan pernah membiarkan bangsa lain menguasai kekayaan alamnya sehingga menjadi negara yang makmur dalam keadilannya, dan adil alam kemakmurannya pada tahun keemasannya 2045.

Penulis adalah Guru Besar UNJ dan Dewan Pakar KKSS 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here