Oleh Fiam Mustamin
DUA kata dalam judul tulisan itu untuk menguraikan hubungan emosional persaudaraan saya dengan H. Ilham Bintang, tokoh Pers Indonesia ini.
Saya di Jakarta di awal tahun 1970-an bergaul di pusaran elit kota mengikuti H. Zainal Bintang, budayawan dan wartawan senior dari Makassar.
Dari abang senior itu yang kemudian disapa singkat dengan Daeng Aji mengenalkaan saya akrab dengan keluarga besarnya antaranya lham Bintang dan Firman Bintang.
Dengan itu pula saya terikut belajar dalam percaturan pemikiran-pemikiran kebudayaan dan kesenian serta jurnalistik di Taman Ismail Marzuki.
Untuk saya ceritakan pengalaman persaudaraan ini dengan Haji Ilham ini bisa menjadi sebuah buku cerita sehari semalam.
Di awal awal pertemuan itu saya sering di bawah ke komunitas penyiar radio Queen, Halimun Menteng, penggiat teater bersama Tommy Sumarni, Sultan Saladin dan El Manik.
Lalu kemudian Ilham aktif jadi watawan di Harian Angkatan Besenjata yang banyak ditugaskan keluar kota dari tahun 1976.
Sesibuk apapun kami selalu bertemu di rumah kostnya di Cikini Kecil dan terkadang ikut berboncengan sepeda motor ke tempat peliputannya.
Daun Daun Kecil Kehidupan
KATA-kata itu menjadi percakapan kami untuk penggambaran kesederhanaan mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Meski kata kata itu bernuansa simbolik/kiasan tapi kami begitu senang mengucapkannya kannya.
Di rumah villa wartawan kawasan Tapos Bogor yang sejuk kami bernostalgia dari daun daun kecil yang pada suatu masa berkeinginan berlibur akhir pekan dan menulis puisi.
Kemudian hari saya betul betul merasakan pada diri sosok pribadi saudaraku Haji Ilham Bintang ini yang tak ada berubah.
Pada diri penggagas jurnalistik infotaimen ini begitu kental pemahaman dan praktek budaya pangadereng Bugisnya sekalipun iya dibesarkan di lingkungan perkotaan.
Dan-daun kecil itu tumbuh di pohon…
Pohon ciptaan yang cantik …
melindungi dan menghidupi sekitarnya
Kami tak pernah terpisah sejak bujangan saat itu dari kost ke rumah tinggal orang tua yang saya anggap orang tua sendiri sampai Ilham menikah dan tinggal di Tomang sampai di Meruya saat ini.
The White House Meruya
RUMAH tinggal serumpun anak-anak di kawasan perumahan DKI Meruya Jakarta Barat, saya memberi nama White House Meruya.
Rumah besar dan berhalaman luas itu yang ditempatinya itu bercat putih nampak menonjol begitu kita memaki gerbang kawasan itu.
Terasa seperti ada suara yang memanggil-manggil untuk mampir menyinggahinya, dari suara pemiliknya pasangan hidup dari Minang dan Bugis; Hajah Ades Tamin dan Haji ilham Bintang.
Mengapa dengan nama rumah itu …
Saya terinspirasi dari gedung White House Kepresidenan USA meskipun saya belum ke sana.
Di rumah Meruya itu setiap saat diadakan majelis keagamaan keluarga, buka puasa dan tarwih bersama keluarga dan kerabat pasangan itu.
Dan di rumah itu pula memberi inspirasi membicarakan dan menuliskan hal hal kebajikan dan kemaslahatan hajat bersama, barakalllah.
Segera berlalulah wahai Pandemi Covid 19 kami rindu bertablik.