Tanah Ini Menangis (Suara Hati dari Tanah Rantau)

0
51
- Advertisement -

Esai Stef Yurzal E Wondiwoy

Di atas tanah hijau yang kaya, burung cenderawasih dulu menari bebas. Hutan Papua adalah rumah bagi segala kehidupan—sungai-sungai yang jernih, gunung-gunung yang gagah, dan tanah yang menyimpan emas. Namun kini, suara alam tak lagi semerdu dulu. Yang terdengar hanya raungan mesin, ledakan tambang, dan isak tangis yang tak terdengar oleh dunia.

Mereka datang dengan dasi, dan pergi membawa emas. Orang-orang asing datang dengan senyum palsu. Mereka membangun jalan lebar menembus hutan—bukan untuk rakyat Papua, tetapi untuk mengangkut hasil rampasan dari perut bumi. Emas, kayu, gas—semuanya dibawa pergi. Di kota-kota besar, mereka berpesta, tertawa, dan hidup dalam kemewahan. Sementara itu, anak-anak Papua hanya bisa menonton lewat televisi yang mati, atau lewat cerita para perantau yang pulang dengan hati remuk.

Di sudut sebuah kampung, seorang anak kecil duduk di bawah pohon. Tangannya memegang plastik bening berisi lem aibon. Ia menghirup dalam-dalam, lalu tertawa sendiri dengan mata kosong. Namanya Zalva, usianya baru sembilan tahun. Ibunya meninggal karena HIV, ayahnya hilang di tambang. Zalva tak pernah sekolah. Tak ada lagi guru yang bersedia datang ke kampungnya.

Malam hari, suara nyanyian gereja bersahutan dengan sirene ambulans. HIV/AIDS merajalela. Banyak yang tak tahu mereka terinfeksi. Banyak pula yang tahu tapi memilih diam. Stigma lebih mematikan dari penyakit itu sendiri. Orang Papua saling menjauh, bukan karena benci, tapi karena takut.

Di kota, anak-anak muda tampil modis. Tapi di balik gaya itu, banyak yang terjerat narkoba. Barang haram itu datang dari luar, dijual murah, ditukar dengan harapan yang patah. Mereka kehilangan pegangan, kehilangan tempat bertanya. Tak ada ruang untuk bersuara, hanya pelampiasan yang membunuh perlahan.

- Advertisement -

Dan politik? Ia adalah pisau paling tajam yang menyayat tanpa suara.
Orang Papua diadu satu sama lain. Marga melawan marga. Saudara membenci saudara. Rumah adat yang dulu menjadi tempat musyawarah kini menjadi ajang perebutan kuasa. Semua ingin jadi kepala, tapi lupa membawa tubuh. Perpecahan bukan karena keinginan, tapi jebakan kepentingan.

Sementara itu, di kota-kota besar, bendera berkibar dan pidato berkumandang. Elit berbicara tentang pembangunan, integrasi, dan kemajuan. Tapi siapa yang sebenarnya maju? Dan siapa yang tertinggal?

Di atas bukit, seorang tua duduk diam, menatap tambang raksasa yang terus melubangi bumi. Ia berbisik lirih, “Tanah ini sudah menangis. Tapi langit tetap diam.”

Tulisan ini bukan untuk menambah luka, tapi untuk mengingatkan dunia: Papua bukan sekadar wilayah kaya sumber daya alam—Papua adalah rumah bagi manusia, budaya, dan jiwa yang kini mulai menghilang.

Coretan hati dari seorang anak rantau yang rindu tanah kelahiran…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here