A’Domeng : Tawa, Otak, dan Jepitan Jemuran

0
106
- Advertisement -

Oleh: Muslimin Mawi

Di sebuah kampung di Sulawesi Selatan, malam sering terasa panjang. Namun di sudut jalan, tepat di bawah cahaya lampu jalan yang temaram (cahaya yang redup, remang-remang) panjangnya malam justru menjadi ruang tawa. Di sana, sekelompok orang duduk melingkar, menata kepingan kecil bergambar bulat-bulat merah. Itulah a’domeng permainan domino yang bukan sekadar permainan, melainkan kisah bersosialisasi.

A’domeng bukan hanya soal strategi dan kecerdikan membaca langkah lawan. Ia adalah bahasa sosial yang mengikat. Anak-anak, pemuda, orang tua, bahkan sesekali bapak ronda yang sambil memegang senter ikut larut dalam permainan. Tak ada sekat usia, tak ada jarak status. Semua larut dalam satu lingkaran, dengan tawa yang tak pernah selesai.

Namun yang paling dinanti dari a’domeng bukan hanya siapa yang menang, melainkan siapa yang kalah. Sebab, setiap kekalahan adalah tiket mendapatkan “jepitan jemuran” yang disematkan di kuping. Sakitnya sebentar, tetapi gelak tawa yang pecah sesudahnya bisa menjadi cerita panjang sampai besok pagi. Bahkan, ada yang dengan sengaja bermain sembrono hanya demi merasakan sensasi “jepitan jemuran” itu, agar bisa menjadi bahan ejekan penuh canda di antara teman-temannya.

Kini, permainan sederhana yang dulu hanya lahir dari lingkaran kecil di kampung, mulai naik panggung. Ada turnamen a’domeng, ada perkumpulan yang resmi mengoordinirnya. Namun, meski sudah diberi wadah dan aturan, ruh permainan itu tetap sama: kebersamaan, kehangatan dan tawa yang membuat siapa saja lupa akan lelah dan beban hidup.

Di balik kesederhanaannya, a’domeng mengajarkan falsafah hidup. Bahwa dalam setiap langkah, kita harus berhitung. Bahwa kalah bukan akhir dari segalanya, justru kalah bisa menjadi jalan untuk tertawa bersama. Dan bahwa hidup, seperti a’domeng, lebih indah jika dijalani dalam lingkaran persaudaraan.

Maka, siapa pun yang pernah merasakan jepitan jemuran di kupingnya saat kalah bermain, tahu betul bahwa sakit kecil itu adalah bagian dari rasa manis bernama kebersamaan. A’domeng bukan sekadar permainan, ia adalah cerita hidup orang Bugis-Makassar, tentang otak yang diasah, tawa yang dibagi dan persaudaraan yang abadi.

Eramas 2000, 08 September 2025

Penulis, Aktivis dan Pemerhati Organisasi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here