Catatan Hukum Hamsia Usman
Pada 29 September 2025, pengacara kami menerima surat resmi dari Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Selatan. Isi surat tersebut menyatakan bahwa laporan kami mengenai penerbitan Surat Bezitter tahun 1990 di Wajo tidak dapat ditindaklanjuti. Alasannya sederhana namun fatal: laporan dianggap melampaui batas waktu dua tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI.
Sekilas, alasan ini tampak masuk akal secara formil. Namun, apakah adil bila hukum administrasi hanya berhenti pada tanggal sebuah dokumen, sementara kerugian akibat dokumen itu masih berlangsung hingga hari ini?
Pasal 24 ayat (3) UU Ombudsman memang membatasi masa pengaduan maksimal dua tahun sejak peristiwa atau tindakan terjadi. Tujuannya mungkin agar laporan tidak menumpuk dari kasus lama yang sulit diverifikasi.
Namun persoalan kami bukan semata soal penerbitan Surat Bezitter pada tahun 1990. Yang kami laporkan adalah dampak dari surat tersebut, yaitu penguasaan tanah warisan keluarga kami hingga kini. Dengan demikian, kerugian yang kami alami bukan peristiwa masa lalu, melainkan perbuatan yang masih berlangsung (ongoing action) sampai hari ini.
Asas Kebenaran Materiil dalam Hukum
Dalam hukum pidana, Pasal 183 KUHAP menekankan pentingnya pencarian kebenaran materiil, bukan sekadar formalitas dokumen. Prinsip serupa berlaku pula dalam hukum administrasi: pejabat publik berkewajiban meninjau ulang produk administrasi yang cacat hukum, apalagi jika menimbulkan kerugian nyata dan berkelanjutan.
Jika Surat Bezitter masih dipakai untuk menguasai tanah, maka kerugian yang ditimbulkannya jelas masih nyata. Seharusnya Ombudsman tidak boleh serta-merta menutup mata hanya dengan alasan laporan telah melewati batas waktu dua tahun.
Apakah adil bila seorang pencari keadilan ditolak hanya karena alasan administratif telah lewat dua tahun? Bukankah tugas Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik adalah memastikan administrasi negara tidak menyuburkan penyalahgunaan kewenangan?
Dalam kasus kami, masalahnya bukan sekadar dokumen tahun 1990, melainkan praktik penggunaan Surat Bezitter bermasalah yang hingga kini masih aktif. Menutup pintu laporan hanya dengan alasan formil berpotensi melanggengkan ketidakadilan.
Logikanya sederhana: hukum tidak boleh terjebak pada angka dua tahun. Hukum harus hadir untuk menegakkan kebenaran materiil dan melindungi masyarakat dari kerugian yang nyata.
Jika Surat Bezitter dipakai untuk merampas tanah, maka kerugian itu nyata, kini, dan terus berlanjut. Menolak laporan dengan alasan formalitas waktu sama saja dengan menutup mata terhadap pencari keadilan.
Terlebih, Surat Bezitter tersebut pada tahun 2024 telah dilaporkan dalam perkara pidana dan perdata, yang hingga kini masih diproses di Polres Wajo. Maka jelas, kerugian yang kami alami bukanlah persoalan masa lalu, melainkan ketidakadilan yang masih berlangsung hingga hari ini.