Membaca Sumpah Pemuda dalam Narasi Hukum: Antara Hak Bersuara dan Kewajiban Menghormati Hak Orang Lain

0
56
- Advertisement -

 

Kolom Irfan Onggang 

Elegi untuk Kota yang Lumpuh

Pada 28/10, sore, kota ini adalah sekumpulan logam membeku. Kendaraan tak bergerak, terperangkap dalam kemacetan parah. Tak ubahnya sebuah museum, satu per satu kendaraan menjadi patung dalam diorama kelumpuhan total yang tak berujung. Kemudi tak bergerak, laju pun terenggut, hanya desah napas kesal yang menjadi soundscape utama.
Lalu, kabar pun merambat: aksi demonstrasi mahasiswa.

Di hari yang seharusnya menjadi monumen kesadaran kolektif pemuda, justru mengubah jalan raya menjadi panggung kebuntuan. Ada ironi yang pahit tercecap di sini, di antara terik matahari dan raungan klakson yang putus asa.

Dan melalui lensa hukum, saya tak hanya melihat kemacetan; namun menyaksikan sebuah tabrakan dramatis antara dua hak konstitusional yang saling silang.

Sorotan Hukum

Dalam khazanah negara hukum, hak untuk menyampaikan pendapat adalah oksigen demokrasi. Ia dijamin oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Masyarakat. Regulasi ini adalah pemberi legitimasi, sekaligus pembatas. Ia adalah pedang dan perisai. Setiap unjuk rasa wajib memastikan, berlangsung damai dan tertib, serta—ini yang paling mendasar—tidak boleh melanggar hak-hak orang lain.

Lantas, di manakah letak pelanggarannya ketika akses jalan ditutup berjam-jam? Tindakan ini bukan lagi sekadar menyampaikan pendapat; ia telah bertransformasi menjadi bentuk paksaan (duress) terhadap ruang gerak warga negara lain.

Menutup akses jalan dapat dikonstruksikan sebagai perbuatan melawan hukum. Ia adalah pengganggu ketertiban umum. Ancaman hukumnya jelas, bersemayam dalam Pasal 218 atau Pasal 170 KUHP. Pada titik itulah hak bersuara harus berakhir. Saat hak orang lain untuk berkendara dan beraktivitas mulai terinjak, idealisme pendemo pun menemui batasnya.

Namun, ada ironi yang lebih menusuk daripada sekadar pelanggaran prosedural oleh demonstran: di manakah posisi negara dalam personifikasi petugas yang “hanya berdiri menonton”?

Fenomena ini memunculkan sebuah hipotesis yang suram: bahwa kemacetan panjang ini bukanlah sebuah insiden, melainkan sebuah “proyek” yang dikurasi. Desas-desus yang kerap terdengar di permukaan—bahwa ada kesepahaman terselubung antara pimpinan aparat di lapangan dengan koordinator lapangan (korlap) pendemo—seakan menemukan buktinya dalam diamnya petugas. Mereka bagai penjaga malam yang tahu persis kapan pencuri akan datang, dan memilih untuk memejamkan mata.

Jika benar demikian, maka yang terjadi adalah sebuah konspirasi diam. Aparat yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi, justru menjadi sutradara bayangan dari sebuah drama ketidakpatuhan hukum. Mereka membiarkan hak berkumpul berubah menjadi anarki, dan membiarkan aspirasi mulia pemuda dikotori oleh pelanggaran. Dalam perspektif hukum, ini adalah pembiaran yang disengaja (willful neglect), sebuah bentuk penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang lebih berbahaya daripada kekerasan fisik, karena ia meracuni akar-akar kepercayaan publik terhadap negara hukum.

Pada akhirnya, kita diajak untuk merenung ulang makna Sumpah Pemuda. Pemuda, dalam tutur sejarah, adalah obor yang menerangi kegelapan. Namun, obor yang sama dapat membakar rumah jika tidak dikendalikan. Semangat 1928 adalah semangat untuk membangun sebuah bangsa berdasarkan hukum dan tata kelola yang beradab, bukan untuk membangun kericuhan di jalanan.

Mahasiswa, sebagai intelektual muda, harusnya berada di garda terdepan dalam menunjukkan bahwa perubahan dapat diraih tanpa menginjak-injak hak orang lain. Mereka harus menjadi teladan, bukan teroris jalanan bagi warga biasa. Pilihan untuk anarkis, apalagi jika diduga ada “izin” dari aparat, adalah pengkhianatan terhadap cita-cita luhur itu sendiri. Ia mengubah pahlawan menjadi pengacau, dan aspirasi menjadi ancaman.

Kita tidak membutuhkan kemacetan untuk mengingatkan kita pada pentingnya demokrasi. Kita membutuhkan jalan yang lancar untuk membawa aspirasi itu sampai ke tujuan yang benar.

Oleh karena itu, dalam semangat Sumpah Pemuda, mari kita nyanyikan lagi lagu kebangsaan kita dengan nada yang tepat:

Kepada Mahasiswa: Kembalilah ke khittah sebagai agen perubahan yang cerdas dan elegan. Gunakan ruang-ruang dialog, litigasi strategis, dan kreativitas, bukan blokade.

Kepada Aparat: Tegakkan hukum tanpa pandang bulu. Keberpihakanmu hanya pada konstitusi, bukan pada “proyek” atau kesepakatan gelap.

Kepada Kita Semua: Jangan hanya diam dalam kemacetan. Tuntutlah pertanggungjawaban hukum. Sebab, dalam diam kita yang terdiam, anarki dan kolusi akan menemukan musik latar yang paling sempurna untuk terus berjoget.

Hanya ketika hak bersuara dan kewajiban menghormati hak orang lain berjalan beriringan, semangat Sumpah Pemuda tidak lagi menjadi ritual tahunan yang paradoks, melainkan napas sehari-hari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang beradab.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here