Membaca Sumpah Pemuda dalam Narasi Hukum: Antara Hak Bersuara dan Kewajiban Menghormati Hak Orang Lain

0
309
- Advertisement -

 

Kolom Irfan Onggang 

Elegi untuk Kota yang Lumpuh

Pada 28/10, sore, kota ini adalah sekumpulan logam membeku. Kendaraan tak bergerak, terperangkap dalam kemacetan parah. Tak ubahnya sebuah museum, satu per satu kendaraan menjadi patung dalam diorama kelumpuhan total yang tak berujung. Kemudi tak bergerak, laju pun terenggut, hanya desah napas kesal yang menjadi soundscape utama.
Lalu, kabar pun merambat: aksi demonstrasi mahasiswa.

Di hari yang seharusnya menjadi monumen kesadaran kolektif pemuda, justru mengubah jalan raya menjadi panggung kebuntuan. Ada ironi yang pahit tercecap di sini, di antara terik matahari dan raungan klakson yang putus asa.

Dan melalui lensa hukum, saya tak hanya melihat kemacetan; namun menyaksikan sebuah tabrakan dramatis antara dua hak konstitusional yang saling silang.

Sorotan Hukum

Dalam khazanah negara hukum, hak untuk menyampaikan pendapat adalah oksigen demokrasi. Ia dijamin oleh Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Regulasi ini adalah pemberi legitimasi, sekaligus pembatas. Ia adalah pedang dan perisai. Setiap unjuk rasa wajib memastikan berlangsung damai dan tertib, serta—ini yang paling mendasar—tidak boleh melanggar hak-hak orang lain (sebagaimana diamanatkan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998).

Lantas, di manakah letak pelanggarannya ketika akses jalan ditutup berjam-jam? Tindakan ini bukan lagi sekadar menyampaikan pendapat; ia telah bertransformasi menjadi bentuk paksaan (duress) terhadap ruang gerak warga negara lain. Menutup akses jalan dapat dikonstruksikan sebagai perbuatan melawan hukum. Ia adalah pengganggu ketertiban umum dan perusak fungsi vital publik.

Ancaman hukumnya bersemayam dalam dua regulasi utama yang berfokus pada gangguan fungsi jalan dan keselamatan:

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan: Tindakan blokade melanggar fungsi jalan. Pelaku dapat dijerat Pasal 63 Ayat (1), yang mengancam pidana bagi setiap orang yang sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dengan pidana penjara paling lama 18 bulan atau denda hingga Rp1,5 miliar.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Jika blokade tersebut membahayakan keselamatan umum, ia dapat dijerat Pasal 192 KUHP, yaitu perbuatan menghalang-halangi jalan umum sehingga menimbulkan bahaya bagi keamanan lalu lintas, dengan ancaman pidana penjara hingga 9 tahun. Ancaman juga bisa diperluas ke Pasal 170 KUHP jika terjadi kekerasan bersama terhadap barang (misalnya merusak jalan) atau orang.

Pada titik itulah hak bersuara harus berakhir. Saat hak orang lain untuk berkendara, beraktivitas, atau bahkan mendapatkan pertolongan darurat mulai terinjak, idealisme pendemo pun menemui batasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here