John Palinggi: Perkara Tujuh Tahun dan Pelajaran tentang Kepercayaan

0
39
- Advertisement -

 

Dr. John Palinggi, salah seorang anggota Dewan Pertimbangan KKSS, masih terlihat sama seperti beberapa tahun lalu ketika majalah PINISI kerap mewawancarainya di kantornya. Namun, selama lebih dari tujuh tahun sejak Juli 2017, reputasi dan ketenangannya sempat terkubur oleh sebuah perkara hukum yang menyeretnya sebagai tersangka pencemaran nama baik.

Ketika ditemui di kantornya di Menara Mandiri, Jakarta, pada Desember 2021, lelaki berusia awal 70-an itu berbicara tanpa nada marah. Meski peristiwa tersebut menguras waktu, tenaga, dan pikirannya, bahkan ia akui nyaris membuatnya kehilangan kewarasan, nada suaranya tetap datar. Seolah perkara panjang yang melilit namanya hanyalah satu episode yang terpaksa ia lewati, bukan sesuatu yang ia pilih.

Ia mengingat awal perkenalan dengan pihak yang kelak menyeretnya ke pusaran masalah hukum sebagai pertemuan yang dilandasi niat baik. Mereka berasal dari daerah yang sama. Ia memberi ruang berkantor, bahkan mempersilakan pembukaan kantor hukum di tempat usahanya. Ia percaya. Kepercayaan itu, rupanya, mahal harganya.

Masalah bermula ketika ia mempercayakan penanganan satu perkara hukum di Mahkamah Agung. Lima salinan putusan kasasi yang diterimanya dan kemudian terkait dengan rekan bisnisnya—belakangan diketahui tidak autentik. Nama John Palinggi ikut terseret dalam perkara pidana. Reputasi yang dibangun puluhan tahun runtuh dalam sekejap.

Ia menyebut proses hukum yang berbelit-belit itu sebagai pengalaman yang sangat menyiksa. Ia mengaku telah dua kali mencoba memaafkan dan menempuh jalan damai, namun upaya tersebut tidak mendapat sambutan.

Dampaknya tidak berhenti pada ranah hukum. Statusnya sebagai tersangka berdampak langsung pada kelangsungan usahanya. Perusahaan yang ia bangun selama sekitar 45 tahun goyah. Kepercayaan mitra bisnis pun runtuh. Salah satu dampak paling signifikan adalah batalnya rencana investasi dari investor asal Cina senilai sekitar Rp900 miliar. Kerja sama itu urung terwujud. Kerugian yang ia tanggung, menurut pengakuannya, mencapai miliaran rupiah. Dalam dunia bisnis, kehilangan kepercayaan sering kali jauh lebih mematikan daripada kehilangan uang.

Bagi John Palinggi, perkara ini terasa ironis. Selama lebih dari tiga dekade ia berkantor di tempat yang sama. Ia membangun usaha dengan etika relasi—menjaga martabat, tidak merendahkan orang lain, serta memelihara nama baik. Ia menyebut prinsip hidup itu sebagai siri  kehormatan, tanggung jawab moral, dan integritas yang tidak bisa ditawar.

Ia tidak menyangka harus menghadapi badai reputasi pada usia yang, dalam hitungannya sendiri, sudah mendekati senja. Namun justru di titik itulah, ia mengatakan, pelajaran termahal datang. Niat baik, rupanya, tidak selalu bertemu dengan itikad yang sama. Kesamaan daerah, latar belakang, bahkan simbol-simbol kedekatan, tidak otomatis menjamin integritas.

Perkara itu akhirnya tuntas. Namanya tidak tercemar secara hukum. Namun bekasnya tetap menetap. John Palinggi kini lebih berhati-hati dalam memberi kepercayaan. Bukan sinis—melainkan realistis. Ia tidak menarik diri dari nilai-nilai kemanusiaan yang diyakininya, tetapi tidak lagi menyerahkan kepercayaan tanpa pagar.

Ia berbicara tentang agama tanpa mengutip ayat. Semua agama, katanya, mengajarkan kebaikan. Manusia memang tidak sempurna. Namun kesalahan seharusnya diakui, bukan dipertahankan dengan keras kepala. Dalam pengamatannya, banyak tragedi justru lahir dari orang-orang yang enggan mengakui kekeliruannya sendiri.

Di usia 73 tahun, hidup baginya menjadi semakin sederhana. Ia bersyukur, berbagi, dan menjaga amanah. Salah satu anaknya kini mendapat tawaran bekerja di sebuah perusahaan internasional berbasis di Swiss—sebuah penanda bahwa hidup, meski sempat diguncang, tetap bergerak maju.

Jika ada kesimpulan yang ia tinggalkan, itu bukan nasihat hukum, melainkan etika hidup: teruslah berbuat baik dan jangan menambah beban orang lain. Semua peristiwa, baginya, selalu mengandung hikmah; pelajaran untuk hidup lebih sabar dan lebih waspada. (Cia)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here