BOLEH MARAH, MELUDAH JANGAN

0
29
- Advertisement -

Kultum (Kuliah Terserah Antum)

Kolom Ashar Tamanggong

Marah itu manusiawi. Bahkan Nabi Musa pernah marah, Nabi Muhammad ﷺ pun pernah menunjukkan ketegasan. Jadi kalau ada yang bilang, “Orang beriman tidak boleh marah,” itu keliru. Yang benar: orang beriman boleh marah, tapi tahu cara dan batasnya.

Masalahnya, di zaman sekarang marah sering naik level. Dari sekadar emosi di dada, naik ke mulut, lalu keluar, bukan nasihat, tapi ludah. Kadang literal, kadang digital.

Di media sosial, ludah itu berubah jadi komentar kasar, hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian. Jari lebih cepat dari akal, emosi lebih duluan daripada wudhu.

Padahal Islam sangat menjaga adab. Rasulullah ﷺ bersabda, “Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam bergulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan amarah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menahan marah, bukan menahannya sampai meledak, apalagi sampai meludah ke mana-mana.

Lucunya, ada orang yang rajin shalat, tapi lisannya seperti keran bocor. Sedikit marah, kata-kata kotor keluar. Sedikit kesal, status WA panjangnya mengalahkan khutbah Jumat. Bedanya, khutbah mengajak ke surga, status marah-marah sering mengajak ke neraka… komentar.

Islam mengajarkan solusi yang sederhana tapi dalam: diam, berwudu, mengubah posisi. Marah berdiri? Duduk. Masih marah? Berbaring. Kalau masih juga, mungkin bukan butuh nasihat, tapi butuh tidur atau kopi.

Intinya, marah boleh. Itu fitrah. Tapi meludah—baik secara nyata maupun lewat kata-kata—itu pilihan. Dan setiap pilihan ada hisabnya. Lisan dan jari kita kelak akan bersaksi, apakah ia lebih sering dipakai untuk dzikir atau untuk menyemprotkan emosi.

Maka, kalau marah datang, ingat pesan sederhana ini:
Marah silakan, tapi ludah ditahan.

Karena iman bukan diukur dari seberapa cepat kita bereaksi, tapi dari seberapa mampu kita mengendalikan diri.

Manggarupi 30-12-25

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here