Serangan Nine Eleven yang mengguncang dunia

0
1021
- Advertisement -

Kolom Imam Shamsi Ali

Kota New York memang kota dunia. Di sinilah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bermarkaz (berpusat). Konon kabarnya di kantor itulah berbagai urusan dunia diperbincangkan. Isu Palestina misalnya dari dulu hingga detik ini masih menjadi isu hangat yang diperdebatkan. Debat yang tiada hasil, bahkan berujung pada NATO (no action, talk only).

Hari itu, Kamis 13 September, seorang Muslim di Harlem ditusuk hingga meninggal dunia. Di kawasan Bay Ridge Brooklyn ada dua wanita Muslimah yang jilbabnya ditarik dan dipukuli.

Saya relatif baru sekitar 4 tahun lebih di kota New York. Tapi sejak kehadiran Saya di kota ini salah satu program prioritàs saya adalah membangun hubungan yang baik dengan teman-teman Afro American Muslim. Sebab Bagaimanapun juga mereka adalah Muslim Pribumi (bukan imigran seperti kami).

Menjelang Sholat Magrib tiba-tiba telpon saya berdering. Yang menelpon juga unknown (tanpa ID atau nama/nomor). Ketika saya angkat saya dengarkan suara salah seorang teman dekat, Imam E. Pasha, dari masjid Malcom X di Harlem.

- Advertisement -

“Imam, are you okay?”, demikian dia memulai.

Nampaknya dia sangat khawatir dengan keadaan Komunitas Muslim di kota New York. Pembunuhan, pemukulan dan bentuk serangan lainnya, baik ke individu-individu Muslim maupun ke Beberapa masjid dan Islamic Center semakin menjadi-jadi.

“I am okay Imam”, demikian saya jawab.

“Can you see me tonight at Magrib time?” Pintanya.

Saya kemudian mengiyakan untuk ketemu dengannya di kantor masjidnya di kawasan Harlem. Beliau saat itu sekaligus menjabat sebagai Chaplain atau pejabat kerohaniaan di NYPD. Kitalah berdua sebenarnya Yang menginisiasi program “Welcoming Ramadan” di kantor pusat NYPD di tahun 1998 lalu.

Ternyata beliau menyampaikan sebuah rencana untuk mempertemukan tokoh-tokoh Muslim dan Walikota New York yang ketika itu masih dijabat oleh Rudolph Giuliani. Saat ini Giuliani adalah personal attorney dari Presiden Donald Trump.

Imam E Pasha meminta saya untuk merekomendasikan nama-nama Imam yang akan diundang dalam pertemuan itu. Jumlah dibatasi hanya 10-15 orang. Dan harus mewakili komunitas Muslim dengan ragam latar belakang dan etnis.

Saya memberikan 10 nama, termasuk Imam Siraj Wahhaj, seorang Imam kharismatik di Brooklyn dari kalangan Afro American. Tapi Imam E Pasha secara khusus tidak setuju jika Imam Siraj dimasukkan. Rupanya saya baru sadar bahwa hubungan keduanya kurang harmonis. Apalagi Imam Siraj terlanjur dilabeli oleh pemerintah kota sebagai Imam yang radikal.

Sebelum berpisah saya sendiri merumuskan beberapa “talking points” khususnya dalam menyikapi kebencian dan kekerasan kepada Komunitas Muslim di kota New York dan US secara umum saat itu.

Kamipun berpisah. Setiba di rumah sekitar jam 10 malam itu, telpon saya kembali berdering. Juga dari seseorang yang unknown (tanpa ID). Saya angkat dan kali ini terdengar suara perempuan: “good evening”.

“Good evening. Excuse me, who is this?”, tanya saya.

“This is Mayor office”, (Ini dari kantor Walikota), jawabnya.

Setelah saya iyakan sekaligus tanya tujuan menelpon, dia menyampaikan bahwa saya diundang untuk hadir dalam sebuah pertemuan bersama Walikota di Manhattan esok harinya (Jumat, 14 September).

Saya tentunya tidak bisa menolak. Dalam benak saya pertemuan itu adalah kesempatan untuk menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan ke Walikota.

Sejak serangan teror ke WTC dan Islam menjadi tertuduh, bahkan seolah menjadi terdakwah dan dihakimi sebagai pelaku, batin saya memberontak. Saya ingin berteriak kepada dunia bahwa “anda salah”.

Saya ingin menyampaikan ke Walikota New York bahwa “Islam is innocent” (Islam itu tidak bersalah). Bahwa serangan biadab yang meruntuhkan gedung tertinggi Amerika yang juga simbol kapitalisme dunia itu “has nothing to do with Islam” (tidak ada hubungannya dengan Islam).

Lalu saya tanya tempat pertemuan esok hari tersebut. Dari kantor Walikota diberitahu bahwa tempatnya adalah gereja Saint Patrick, gereja Kathedral Katolik New York yang megah di 51st Street dan 5th Avenue itu.

Keesokan harinya saya bangun sangat dini. Selain mencari tahu berita di TV juga bersiap-siap untuk hadir di acara pertemuan dengan Walikota New York. Sejujurnya saya cukup “nervous” (perasan waswas dan gugup) akan bertemu dengan Walikota. Saya kemudian berusaha menghafal kata-kata yang ingin saya sampaikan.

Saya diantar oleh teman yang kebetulan belum masuk kerja. Tapi hanya hingga di ujung jembatan “Queens Borough”, yang menghubungkan antara Queens dan Manhattan.

Saat itu sekali lagi saya hanya memakai baju Koko putih. Juga tidak memakai songkok. Dengan penampilan itu saya merasa lebih rileks dan muda.

Sesampai di dekat gereja Katolik terbesar di New York itu, bahkan dua blok dari jalan gereja tersebut sudah banyak polisi, baik polisi lokal maupun polisi state. Di sana sini juga nampak orang-orang bersenjata dengan pakaian sipil.

Ketika mendekat ke gedung gereja itu saya ditanya: “yes, what I can do for you?” (Apa bisa saya bantu?).

“I am here for a meeting with the Mayor” (saya di sini untuk pertemuan dengan walikota), jawab saya.

Polisi itu memanggil seorang wanita yang berdiri tidak jauh. Dan menyampaikan bahwa saya hadir untuk bertemu dengan walikota.

“Yes, follow me” (ikuti saya), kata wanita itu.

Saya pun berjalan disamping wanita itu. Tapi saya tidak tahan untuk bertanya: “why there are so many security personals” (Kenapa banyak sekali petugas keamanan?).

“You are going to meet with the President” (kamu akan ketemu dengan Presiden), jawabnya singkat.

“What? Are you sure?” (Apa? Benarkah?), tanya saya.

“Yes. The President is coming to meet with some NY religious leaders” (Presiden akan hadir bertemu dengan beberap tokoh agama di New York), jelasnya.

Dengan setengah protes saya tanya: “Kenapa tidak kami diberitahu?”.

“This is highly secret” (ini sangat dirahasiakan), jawabnya singkat.

Saya hanya diam. Tapi dalam hati saya sejujurnya sangat senang. Ternyata apa yang ingin saya sampaikan kepada Walikota, justeru kini akan saya sampaikan langsung kepada Presiden Amerika Serikat, George W Bush Jr.

Sayapun memasuki gedung gereja itu melalui deteksi metal. Pengamanan begitu sangat ketat. Walau petugas keamanan itu nampaknya memaksakan keramahan. Tapi semua tanpa diingkari dalam keadaan tegang….

Di dalam sebuah aula besar yang indah di gereja itu ternyata sudah berkumpul sekitar 25 tokoh-tokoh agama dari Yahudi, Kristen dan Islam. Rupanya Perwakilan agama-agama lain tidak diundang. Dari kalangan Islam hanya ada dua orang. Imam E. Pasha dari Malcom X dan saya sendiri yang saat itu lebih dikenal sebagai Imam masjid Indonesia.

Sejujurnya di awal saya masuk di ruangan itu ada sedikit rasa minder atau kurang percaya diri. Selain memang tidak mempersiapkan diri ketemu Presiden USA, juga pakaian saya sangat sederhana. Sementara tokoh-tokoh agama lain semuanya memakai pakaian kebesarannya.

Saya bertanya ke Imam Pasha tentang pertemuan itu. Ternyata beliau juga mengalami hal yang sama. Tidak diberitahu kalau pertemuan itu dengan Presiden. Undangannya adalah pertemuan dengan Walikota New York.

Kami kemudian diminta mengambil tempat duduk masing-masing yang telah disediakan. Saya sendiri duduk di sebuah sudut dihimpit oleh Imam Pasha, seorang Afro yang besar, dan Rabbi Joe Potasnik, Presiden Rabbi Council NY yang juga tinggi besar. Sehingga hampir saja saya tidak kelihatan di tengah orang-orang besar itu.

Tidak berselang lama setelah itu, tiba-tiba ada seseorang yang masuk dan meminta agar semua hadirin berdiri. Di saat itulah President Amerika Serikat yang ke 43 itu masuk ke dalam ruangan tersebut.

Semua hadirin bertepuk tangan. Berusaha tersenyum dan ceria sebisa mungkin. Presiden Bush sendiri melambaikan tangan ke semua tokoh-tokoh agama itu sambil menyapa: “hello. How is every one?” (Apa kabar semuanya?).

Lalu mulai berjalan menyapa satu persatu ambil berdialog singkat. Masing-masing diberi 1 menit untuk berbicara dengan sang presiden.

Ketika Presiden akan sampai ke tempat kami berdiri, rupanya presiden Amerika itu cukup humoris. Dia melihat ke saya sambil tertawa dan mengatakan: “whose kid is this?” (Ini anak siapa?).

Semua hadirin tertawa menanggapi candaan sang presiden. Lalu beliau melangkah ke depan saya. Saya sedikit kaku dan kikuk sejujurnya. Tapi sekali lagi saya melawan semua itu dan membangun percaya (self confidence).

Lalu apa saja yang saya sampaikan ke Presiden Bush? Bagaimana reaksi dan responnya?

Kini G.W. Bush Jr., President Amerika Serikat, negara super power yang kerap memposisikan diri sebagai polisi dunia berdiri di depan saya. Orangnya biasa saja. Tidak setinggi Ayahnya Bush Sr. Juga tidak setinggi pendahulunya Bill Clinton, atau penggantinya Barack Obama.

Dalam hati saya terpikir, kalau saya bergulat dengan Presiden Amerika ini mungkin bisa saya kalahkan. Apalagi sisa-sisa silat masa lalu masih tersimpan.

Presiden Bush juga orangnya ramah. Cepat menyapa dan nampak sangat lincah. Di depan saya, sambil melihat orang di samping saya, Joe Potasnik, (Vice President NY Board of Rabbis) dia mengulurkan tangan ke saya untuk berjabat tangan, sambil menyapa seolah mengenal: “hey, how are you?”.

Sambil menjabat tangannya saya merespon: “I am fine, thanks Mr. President”.

Keramahan dan kehangatan Presiden Bush terasa. Ketika menjabat tangan saya, dia juga menepuk-nepuk pundak saya. Mungkin karena saya tidak tinggi jadi mudah diperlakukan demikian.

Karena waktunya singkat, saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Sambil masih berjabat tangan saya memulai percakapan, atau menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan.

Pada intinya tiga hal yang saya sampaikan kepada Presiden Amerika ketika itu:

Yang pertama, “Mr. President, my deepest condolence on behalf of the Muslim people, here at home and around the world” (Bapak Presiden, saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam atas nama orang-orang Islam, baik di Amerika maupun di seluruh dunia).

Nampak Presiden serius, lalu menjawab singkat dan datar: “thank you!”.

Tapi sebelum bergerak saya menambah: “Mr. President, I am representing the largest Muslim community in the world” (saya mewakili komunitas Muslim terbesar dunia).

Mendengar itu, Presiden nampak bingun. Tapi teman saya, Imam Ezekiel Pasha dari Harlem yang berdiri di samping saya menyelah: “He is from Indonesia” (dia berasal dari Indonesia).

Mendengar itu Presiden tersenyum dan nampak mengangguk.

Saya kemudian dengan agak serius menyampaikan kepada Presiden Amerika: “Mr. President, God is with the Truth and justice” (Pak Presiden, Tuhan itu bersama dengan kebenaran dan keadilan).

Saya sebenarnya tidak sadar kenapa tiba-tiba saja saya sampaikan hal itu. Belakangan baru saya sadari ternyata itu adalah refleksi terhadap ucapan Bush sehari sebelumnya yang mengatakan bahwa “God is with America” (Tuhan bersama Amerika).

Nampaknya itu sebuah respon spontan untuk mengoreksi Presiden Amerika bahwa Tuhan itu tidak memihak kepada siapa-siapa. Tapi apa dan bagaimananya siapa-siapa. Jika Amerika memang “benar dan adil” maka Tuhan bersama Amerika. Tapi Jika tidak benar dan tidak adil, anda salah mengklaim kebersamaan itu.

Mendengar itu, sang Presiden nampak mengangguk. Saya sendiri tidak tahu apakah beliau paham maksud saya? Dan kalaupun paham apakah dia mendengarnya dengan serius? Dalam hati saya berkata: “you did convey” (anda Sudah menyampaikan).

Nampak Presiden ingin berpindah menyalami orang di sebelah saya. Beliau orang dikenal di kota New York dan memiliki posisi terhormat. Joe Potasnik adalah salah seorang Rabbi terkenal di US. Orangnya tinggi besar, tapi ramah dan juga senang bercanda.

Tapi sebelum sang Presiden menyalaminya, saya masih menyampaikan satu hal lagi yang tadinya telah saya siapkan untuk Walikota New York. Tapi ternyata pertemuan ini terjadi dengan President Amerika.

Saya sampaikan: “Mr. President, would it be possible for you to give a public statement that this these attacks have nothing to do with my Faith (Islam) and my Community (Muslim)” (Bapak Presiden, apakah memungkinkan untuk anda menyampaikan statemen publik bahwa serangan ini tidak ada hubungannya dengan agama dan Komunitas kami?”.

Mendengar itu sang presiden tersenyum dan mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia kemudian melangkah ke sebelah dan menyalami Rabbi Joseph Potasnik. Nampak mereka serius tapi lebih kama ngobrolnya dari waktu yang ditentukan. Mungkin karena posisinya sebagai Ketua pendeta Yahudi di kota New York.

Yang pasti saya legah. Apa yang ingin saya sampaikan ke pejabat New York (Walikota) kini telah saya sampaikan ke Presiden Amerika. Minimal tanggung jawab saya hingga pada tingkatan ini telah saya tunaikan.

Memang beban dan tantangan kepada Komunitas Muslim dalam hari-hari itu sangat berat. Bukan saja beban karena kekerasan-kekerasan yang mulai terjadi di mana-mana, khususnya kepada Komunitas Arab dan Asia Selatan. Tapi juga beban mental, dengan persepsi yang secara sistimatis terbangun bahwa orang Islam itu musuh Amerika dan berbahaya.

Lebih sejam bersama Bush di ruangan besar gereja St. Patrick itu. Lalu Presiden meninggalkan ruangan.

Setelah Presiden keluar ruangan kami (pada tokoh agama) diarahkan keluar ke jalan 5th Avenue dan menaiki sebuah bus yang dikawal oleh beberapa mobil polisi dan motorcades.

Saya awalnya tidak mengetahui kita akan dibawa kemana. Maklum semuanya serba dirahasiakan. Dalam perjalanan itu saya selalu memilih berdampingan dengan Imam Ezekiel Pasha. Saya belum mengenal siapa-siapa dari Pimpinan agama New York ketika itu.

Dari Imam Pashalah saya tahu bahwa kita sedang menuju Ground Zero untuk mendampingi Presiden yang juga menuju ke sana dengan mobil khusus.

Sesampai di Ground Zero di samping jalan-jalan yang dilalui telah penuh dengan warga dengan ragam spanduk. Mereka adalah keluarga para korban yang rupanya sudah diberitahu akan kedatangan Presiden Amerika.

Melihat wajah-wajah mereka yang menangis, melambaikan tangan, saya terbawa emosi juga. Saya merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang dicintai (loved one). Lambaian tangan dengan bendera-bendera kecil Amerika menambah rasa emosi itu.

Kamipun di arahkan ke sebuah titik dalam lokasi Ground Zero. Saya membayangkan kembali kedua gedung tinggi itu. Maklum saya belum sempat melihatnya, apalagi menaikinya, sebelum diluluh lantahkan.

Rupanya di Ground Zero ketika itu masing-masing kelompok warga ditempatkan pada tempat tertentu untuk menjemput kehadiran Presiden Bush. Ada barisan polisi, barisan pemadam kebakaran, barisan pejabat kota, dan tentunya barisan kami para tokoh agama.

Sementara di bagian luar lokasi Ground Zero adalah warga umum dan keluarga korban. Mereka tiada henti-hentinya meneriakkan yel-yel: USA, USA, USA!

Terasa sedang menonton pertandingan sepak bola antara USA dan entah dengan siapa.

Tidak lama kemudian dari salah satu sudut Ground berhenti iring-iringan kendaraan Presiden yang dikawal dengan sangat ketat. Nampak Presiden Bush turun dari mobil dikelilingi oleh pengawal (Secret Service), lalu berjalan masuk kawasan Ground Zero didampingi oleh Walikota, Rudy Giuliani, Police Commissioner Bernard Kerik, dan Kepala Pemadam kebakaran NYC.

Sesampai di dalam Ground Zero, Presiden nampak mencari onggokan bebatuan, lalu menaikinya dan mengajak Kepala pemadam kebakaran naik bersamanya.

Saya ketika itu terus terang ketika lebih banyak bingun. Selain karena ada perasaan bercampur aduk, antara sedih, marah, khawatir, bahkan ada perasaan yang tidak menentu.

Hembusan panasnya api dari bekas-bekas runtuhan gedung juga masih terasa. Bahkan bau amis, entah bau apa, juga masih terasa. Mungkin saja bau jasad korban yang terbakar.

Posisi tokoh agama dari Presiden Amerika saat itu sekitar 10-15 meter. Ketika Bush berada di atas onggokan bebatuan itu, semua mata menuju kepadanya.

Orang-orang di sekitar Ground Zero juga tidak henti-hentibya meneriakkan: USA atau Live America! Suara bergemuruh itu seakan menusuk telinga.

Sambil memegang pundak Kepala Pemadam Kebakaran NYC, Bush mulai menyapa semuanya:

“Thank you! I want you to know that America today…” dan seterusnya. Intinya menyampaikan bagaimana Amerika sedang dirundung musibah. Tapi Amerika kuat dan tegar.

Satu kalimat yang keluar dari mulut Bush, yang belakangan menjadi slogan di luas: “We will forgive, but never forget” (kita akan maafkan. Tapi kita tidak akan lupakan).

Lalu apa saja isi pidato Bush di Ground Zero sore itu yang paling penting dan berdampak luas bahkan secara global?

New York, 14 September 2020, Imam/Direktur Jamaica Muslim Center

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here