PINISI.co.id- Berbeda orang kantoran yang mengenal kata pensiun, seniman, sebaliknya tak pernah purnakarya. Ia terus menorehkan buah karya, bahkan jika ia telah tiada sekalipun, karya-karyanya terus hidup, lantaran masih, selalu dan tetap dibaca orang. Sajak-sajak Chairil Anwar (1922-1949) drama-drama Shakespeare (1564-1616) atau lukisan Van Gogh (1853-1890) hingga kini masih terus dinikmati di Indonesia dan penjuru dunia.
Begitu pula, Aspar, yang bernama panjang Andi Sofyan Paturusi, praktis saban hari menggugah dan membangunkan kesadaran kita lewat sajak-sajaknya, baik yang lawas maupun yang terbaru.
Bagi pria kelahiran Bulukumba, 10 April 1943 ini, usia senja tidak lantas membuat orang mati rasa. Kemuliaan orang jika ia senantiasa memproduksi kebaikan, meski hanya selarik puisi.
Dalam dunia seni berlaku diktum, hidup itu singkat seni itu abadi.
Puisi di bawah ini berjudul ‘Deklamasi’ dan foto diri Aspar yang membawakan sajak saat usianya 29 tahun, pada ujung 1972. Foto ini pernah dimuat di harian Kompas, Januari 1973 mendampingi tulisan tentang aktivitas Aspar saat itu.
Dunia kesenian di Makassar terutama pada dekade 70-an banyak melahirkan seniman beken, antara lain Aspar Paturusi.
Deklamasi
Aku berdeklamasi
buatmu satu puisi
begitu dulu kami
semua kata dihapal
sama sekali
Lomba deklamasi
selalu ramai
peserta banyak sekali
di kota kami
minat bersastra tinggi
remaja putra dan putri
Usia delapan belas
lalu sembilan belas
dua tahun berturut
juara satu kurebut
Alhamdulillah
aku kuat menghapal
satu kata pun tak salah
puisi wajib dan pilihan dihapal mati
hampir dua ratus peserta
bertarung sepenuh hati
Sepuluh lolos ke final
enam di antaranya sahabat kental
kami latihan bersama
tak ada tehnik rahasia
aku percaya diri
tenang tampil berdiri
aku siap bertarung
aku harus menang
Begitu gigih hafal puisi
masih ingat sampai hari ini
lima puluh tujuh tahun kemudian
Namun usia tak bisa dilawan
tentu ada yang berkurang
tapi cinta puisi tak hilang
Jakarta, 21 September 2018
(Lip)