Kolom Ruslan Ismail Mage
Entah belum menemukan referensinya atau karena masih kurang membaca, namun yang pasti dalam pengembaraan literatur Sipil Institute, belum di temukan data yang menunjukkan radikalisme tertuju pada suatu ajaran agama, apalagi ditujukan secara khusus kepada salah satu agama. Akan tetapi kebanyakan definisi mengkaitkannya dengan politik. Berikut ini kita nukilkan tentang pengertian radikalisme.
Istilah radikalisme seperti tertuang dalam Kamus Bahasa Indonesia, merupakan kata serapan yang terdiri dari dua kata radikal dan isme, yang setelah digabungkan bermakna paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Sementara dalam buku “Ensiklopedia Indonesia” diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim. Kedua definisi tersebut pada intinya menghendaki perubahan dengan cara ekstrem, kekerasan dan drastis.
Dengan pengertian seperti di atas, sudah dapat dimengerti bahwa arti radikalisme tidak ada sangkut pautnya dengan muatan ajaran yang terkandung dalam agama, karena agama bukan merupakan konsep kehidupan yang lahir dari hasil budaya manusia, melainkan berdasarkan wahyu yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui para rasul utusannya untuk menjadi pedoman kehidupan manusia supaya dapat mencapai kedamaian dan kabahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Itulah kemudian tulisan ini tidak tertarik menghubungkan gerakan radikalisme dengan agama.
Bukankah semua agama yang diturunkan ke bumi esensi ajaranya kurang lebih sama, yaitu bagaimana manusia diperintahkan menyebar kebaikan, saling menghormati dan menghargai sesama dalam memelihara kedamaian. Jangankan kepada sesama manusia, kepada binatang, tumbuhan, dan alam pun diajurkan berbuat baik. Lalu bagaimana mungkin, sikap radikalisme itu selalu di identifikasi sebagai ajaran salah satu agama, khususnya agama Islam.
Jadi arti radikalisme, baik secara etimologi maupun termonilogis jelas bukan produk budaya dari agama apa pun. Sifatnya selalu berorientasi/berkonotasi negatif emosional dan tidak rasional. Selalu mendewakan/mempertuhankan nafsu, memaksakan kehendak sendiri, dan tidak menghormati pendapat orang lain, tanpa memperdulikan benar-salahnya pendapat atau keinginan yang akan dilakukan.
Lalu bagaimana posisi agama dalam munculnya gerakan radikalisme? Agama hanya mendukung penegakan keadilan, membenarkan perlakuan yang sama secara hukum kepada seluruh umat manusia. Dalam konteks agama Islam dikenal sebuah frase dalam bahasa Arab “Amar ma’ruf nahi munkar” (mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat).
Karena itu, agama tidak melarang perjuangan umat yang menuntut negaranya dikelola dengan penegakan hukum tanpa diskriminasi. Namun dalam perjuangan menuntut keadilan itu, agama tetap mengajarkan agar dalam memperbaiki yang salah, meluruskan yang bengkok, lakukanlah dengan damai dan jangan gunakan kekerasan.
Jadi sekali lagi radikalisme bukan produk agama, tetapi kerusakan sistemlah yang menjadi pemantik utama munculnya radikalisme. Sebagaimana teori kerusakan sistem yang mengatakan “Jika sistem rusak tidak diperbaiki atau terlambat diperbaiki, maka sistem itu yang memaksa rakyatnya menjadi radikal”.
Penulis : Akademisi Ilmu Politik, Founder Sipil Institute Jakarta