Kolom Ruslan Ismail Mage
Sebagai akademisi yang mempunyai hobbi menulis buku, saya menganggap diri paling beruntung kalau bertemu dengan Rektor Universitas Ekasakti Prof. Dr. Andi Mustari Pide, SH (kini sudah almarhum). Betapa tidak! Semasa hidupnya, pandangan dan pemikiran-pemikiran filosofisnya tentang kehidupan mengalir terus bagaikan sumber mata air yang tidak pernah kering.
Setiap katanya bermakna dan kalimatnya bertujuan.
Ketika meminta ijin untuk melanjutkan pengembaraan literatur ilmiahku dalam mewujudkan obsesiku melahirkan teori baru, beliau langsung menyiram bensin api semangt intelektualku dengan menyuruhku “Mencetak Sawah di Kepala”. Seketika aku diam membisu karena belum mampu menangkap secara spontanitas maksudnya. Dalam kebingunganku, beliau melanjutkan konsepnya bagaimana mencetak sawah di kepala. Katanya sawah adalah sumber kehidupan, bukan hanya untuk petani, tetapi penduduk bumi yang umumnya mengkonsumsi beras. Sawah yang banyak di kampung biarkan orang kampung yang menggarapnya sebagai mata pencaharian petani. Biasanya orang yang memiliki sepetak sawah di kampung seluas satu hektar bisa menghasilkan nilai rupiah untuk memberi kehidupan dan kesejahteraan keluarganya. Jadi biarkan sawah di kampung menjadi milik orang kampung.
Kalau ingin punya sawah yang luas ngapain pulang kampung! Cetak sawah di kepalamu! Sehingga kapan dan dimana pun bisa memanengnya sendiri dengan hasil yang sesuai jumlah keinginanmu! Semakin banyak sawah di kepalamu semakin banyak hasil yang bisa didapatkan. Bila benih berkualitas yang ditabur, akan menghasilkan padi berkualitas super yang bernilai tinggi.
Masyaallah, ternyata beliau menggunakan bahasa analogi sawah untuk menunjukkan pentingnya ilmu pengetahuan dicetak dalam kepala. Karena wejangannya ini, saya terus bersemangat mencangkul ilmu untuk mencetak sawah sebanyak dan seluas mungkin di kepalaku, tak terbatas ruang dan waktu. Tak jarang menahan lapar, lelah dan gantuk.
Imam Syafi’i mengatakan,
“Calon ahli ilmu tidak akan tinggal diam. Ia tempuh perjalanan jauh dari rumahnya untuk menuntut ilmu. Ia akan dapatkan ilmu yang membuatnya mulia dan tinggi derajatnya di sisi Rabb-Nya.” Seperti Imam Ahmad ketika ditanya oleh sahabatnya karena terlihat sangat bersemangat dan tidak mengenal lelah dalam menuntut ilmu. Kapankah engkau akan beristirahat? Imam Ahmad menjawab, “Nanti, istirahatku ketika kakiku telah menapak di surga.”
Sahabat, semakin luas sawah dicetak (ilmu) di kepala semakin melicinkan jalan menuju taman-taman surgawi. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim, no. 2699).
Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta