Kolom Fiam Mustamin
TERNATE, merupakan kerajaan tertua di Nusantara Bagian Timur lebih awal dari Makassar (Gowa Tallo), Buton, Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo.
Ternate menjadi penting tujuan pelayaran perdagangan bangsa asing Pertugis dan Spanyol pada abad ke 16 sekitar tahun 1511.
Kemudian menyusul kedatangan Belanda dan Inggeris untuk pelayaran perdagangan dan penaklukan/kolonisasi.
Mereka datang mulanya untuk perdagangan kemudian bernafsu menguasai/monopoli perdagangan pala dan cengkeh sekiatar Abad ke 17.
Pada saat itu Ternate dengan rajanya/Sultan Mandarsyah bersekutu menggalang kekuatan dengan Buton dan Arung Palakka dari Bone melawan menghadapi hegemoni kekuasaan Makasssr (Gowa Tallo) dalam memperebutkan wilayah Kepulauan Muna, Banggai dan Bungku yang diklaim sebagai wilayah kekuasaan Makassar ( Abd Rahman Hamid, 2008).
Dalam tulisan ini saya akan kemukakan mengenai kehadiran Ratu Nita Budhi Susanti yang bergelar BOKI, Permaisuri Sultan Mudaffar Syah, Sultan ke 48 dari Kesultanan Ternate.
Saya mengenal BOKI tahun 2004, saat Sultan menjamu Pengurus KKSS Maluku Utara dan Pengurus Pusat KKSS di kediaman istana/Kedaton Ternate.
Sultan adalah Sesepuh/To Sulesana yang sangat dihormati dan dibanggakan oleh masyarakat warga asal Sullawesi Selatan (KKSS).
Saat itu hadir Ketua Umum KKSS, Mohammad Taha beserta Salmah Gosse dan artis penyanyi Andi Meriam Mattalatta dalam acara pelantikan Pengurus Wilayah KKSS Maluku Utara.
Sultan dan BOKI menjamu di istana yang indah berbukit, di latar depan terdapat alun-alun yang luas tembus pandang ke arah laut yang biru, lalu dilatar belakang tampak gunung Gamalama yang menyimpan berbagai cerita misteri yang dipercayai memberi pesan dengan isyarat-isyarat situasi di alam sekitarnya.
Sultan dan BOKI memperkenalkan tentang keberadaan istana. Pusaka- pusaka kerajaan dari raja/sultan Baibullah dengan kewaskitaannya.
Terasa seperti sebuah perjalanan wisata ke museum dengan budaya dan sejarahnya.
BOKI menghidangkan aneka makanan khas Ternate, seperti rebusan Kepiting Kelapa yang sangat lezat dan itu favorit, saya santap beberapa ekor tanpa nasi.
BOKI juga memperkenalkan minuman khas Kedaton, warnanya cokelat kemerahan ramuan rempah berkhasiat untuk kesegaran jasmani dan vitalitas tubuh.
Saya menduganya ramuan itu dari bunga pala atau cengkeh yang diperebutkan orang Eropa dulu.
BOKI banyak bercerita, dari penuturannya ia memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas tentang keberadaan Kedaton dan peradaban kehidupan masyarakat Ternate khususnya.
Entah kenapa sepertinya BOKl memahami bahwa saya interesan dengan soal adat dan budaya. Ia bercerita begitu saja merespon keinginan tau apa yang ada dalam hati saya.
Bersua Kembali di Jakarta
BEBERAPA saat kemudian setelah usai Pemilu 2004, Sultan dan BOKI dijamu oleh Wapres Jusuh Kalla (JK) yang didampingi oleh Sofyan Djalil di hotel Darmawangsa. Sultan menyampaikan keterpilihannya bersama BOKI sebagai anggota DPR RI dapil Maluku Utara dari partai Demokrat. Ia juga pernah menjadi senator yakni anggota DPD RI.
Dan pembicaraan lain masalah keragaman Bangsa, Derah dan Pusat untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usai pembicaran dan jamuan itu, beberapa saat kami duduk mendengarkan kelanjutan cerita di seputar keberadaan komunitas adat, peletariannya dan pemberdayaan aset waris adat untuk kemaslahatan umat. Tidak menjadi aset komersialisasi kepentingan kelompok tertentu.
DUA tahun silam usai Pemilu 2019, setelah Sultan almarhum, saya tergerak untuk menghubungi BOKI. Dua hari kemudian ia merespon dan mengabarkan bahwa ia sedang di lapas Ternate. Tentu saja saya kaget dengan kabar itu, tidak menduga bagi seorang BOKI mengalami nasib di lapaskan.
Pemahaman saya selama ini bahwa Sultan dan BOKI adalah tokoh panutan yang begitu pedulinya dengan kehidupannya masyarakat Ternate.
Apa pasal yang menjeratnya ?
Singkat cerita, pasalnya atas pembuatan akte kelahiran anak kembarnya 28 Juli 2013 yang dianggap pemalsuan. Tidak ada upaya hukum yang bisa membantu membebaskan ia dari jerat pasal itu.
Kepada kedua putra kembar itu, Sultan bertitah/membuat surat wasiat mewariskan tahta Kesultanan sebagai Sultan dan seorang sebagai Pemimpinan/ Panglima. Lengkapnya dapat dibaca diwasiat yang disimpan oleh keluarga BOKI.
Berkaitan dengan titah itu saya membaca di literatur lontara Bugis, bahwa Pembagian Kekuasaan telah dipraktekkan di Kedatuan
Soppeng di abad ke 13.
Datu Perempuan We Takke Wanua, raja ke 4 Soppeng membagi kekuasaan kepada dua orang putranya.
La Wadeng (sulung) sebagai Arung Bila semacam Perdana Menteri/Eksekutif Pemerintahan (1408 -1438) dan La Makkenenga (bungsu) sebagai Datu/Raja Soppeng ke 5. Kesepakatan itu diikrarkan disebut Lamumpatue. Titah ini sifatnya mengikat dan dipatuhi okeh masyarakat adat.
Dalam situasi yang dialami BOKI itu, saya ikut berikhtiar mencari upaya untuk hal hal yang dapat meringankannya.
Kemudian BOKI mendapatkan kesempatan pindah ke Lapas Tangerang untuk lebih intensif berobat dan dekat dengan kedua anak kembarnya yang masih kecil.
Selama dalam lapas di Ternate dan Tangerang, BOKI menunjukkan sikap kooperatifnya, dan aktif dalam aktivitas sosial dan berbagi pengalaman keterampilan yang dikuasainya seperti perawan dan disain mode kepada warga Lapas.
BOKI memotivasi dan memberi semangat optimisme dalam menjalani takdir di tahanan.
BOKI mengisi waktu waktu penantian kebebasannya dengan ibadah dan mengkhatamkan Quran beberapa kali.
Selama di lapas Ternate, setiap harinya Boki mendapat kunjungan dari masyarakat adat yang begitu menyayangi permaisuri.
Hal itu bagi BOKI memberi energi semangat untuk terus memperjuangkan kedaultan masyarakat adat dan aset asetnya sebagai sumber penghidupan bagi generasi anak cucu masyakarat adat khususnya.
Dalam hitungan beberapa hari kepindahannya di lapas Tangerang, BOKI mendapatkan kebebasan murni tanpa syarat.
Meyakini bahwa kebebasan itu adalah bagian dari hak asasi bagi setiap hambahNya yang tawakkal menerima takdirnya.
Beranda Inspirasi Ciliwung 22 Februari