Kolom H.M. Amir Uskara
Selama ini, ada asumsi publik, Amerika Serikat (AS), terutama orang-orang Yahudinya, pasti mendukung Israel. Tanpa reserve.
Betul itu. Tapi itu dulu. Sekarang kondisinya berubah. Orang-orang Yahudi AS justru lebih banyak yang mendukung kemerdekaan Palestina. Mereka benci pasukan Israel yang brutal dan melanggar HAM rakyat Palestina.
Kilas Balik
Tanggal 15 Mei 2021, di tengah perang 11 hari Israel-Palestina, di Brooklyn New York ada “demonstrasi” memperingati Nakba Day. Ini adalah peringatan 73 tahun pengusiran 700 ribu lebih warga Palestina oleh Israel dari tanah kelahirannya.
Bendera dan spanduk para “demostran” berbunyi: Palestina Merdeka. Komunitas Yahudu mendukung Kemerdekaan Palestina. Hebatnya, yang demo itu orang-orang Yahudi Amerika.
Demo mendukung Palestina merdeka oleh komunitas Yahudi itu sudah berlangsung sejak tahun 2000-an. Pengikutnya makin banyak. Tak hanya orang Yahudi Amerika, tapi juga orang Yahudi di Eropa, Rusia, dan negara-negara Skandinavia.
Seperti mencatat: pada 14 Mei 1948, pasukan “imigran” dan diaspora Yahudi dengan tokoh utama David Ben Gurion memproklamasikan berdirinya negeri Israel. Selanjutnya kelompok zionis “imigran” ini menetap di Palestina. Mereka mengangap Palestina sebagai tanah air yang dijanjikan leluhurnya, Sulaiman.
Hanya sehari setelah David Ben Gurion dan kawan-kawannya mendeklarasikan berdirinya negara Israel, perang besar meletus, 15 Mei 1948. Perang besar Israel dan Palestina tersebut melibatkan Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Jordania, dan Arab Saudi. Pasukan Suriah, Lebanon, Jordania dan Irak menyerang Galilea, dan Haifa. Sementara di selatan, pasukan Mesir maju hingga mencapai Tel Aviv.
Namun, kordinasi di antara pasukan Arab ternyata kurang baik. Di saat-saat akhir, Lebanon justru menarik mundur pasukannya. Untuk menghadapi serbuan pasukan koalisi Arab ini, Israel pada 26 Mei 1948 membentuk Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang anggotanya adalah leburan dari berbagai milisi seperti Haganah, Palmach, Irgun, dan Lehi. Dalam perkembangannya, IDF justru berhasil mengerahkan lebih banyak pasukan ketimbang pasukan koalisi Arab.Pada awal 1949, Israel memiliki 115.000 tentara sedangkan koalisi Arab hanya sekitar 55.000 personel saja.
Setelah bertempur selama sembilan bulan, akhirnya pada 1949, tercapai gencatan senjata antara Israel dengan Mesir, Lebanon, Jordania, dan Suriah. Akibat peperangan ini, Israel berhasil menguasai 78 persen wilayah mandat Palestina. Sementara Mesir menguasai Jalur Gaza dan Jordania mendapatkan Tepi Barat. Saat ini, sekitar 1,5 juta penduduk Palestina masih bisa tinggal di wilayah yang diklaim Israel. Sedangkan warga Arab Israel berjumlah 20% dari total penduduk Israel, sekitar 9,3 juta orang. Sejak tahun 1948 hingga hari ini, 2021, Israel nyaris tak terkalahkan secara militer. Sementara itu, senjata Israel yang canggih, bantuan AS dan Inggris mampu membuat negara-negara Arab kalang kabut. Kini, Israel — juga dibantu AS dan Inggris — sudah mampu membuat senjata canggih. Bahkan mampu membuat senjata nuklirj of.
Israel adalah satu di antara negara-negara dunia yang mempunyai kekuatan militer modern dan tangguh. Termasuk bom atom. Sedangkan kekuatan militer Palestina? No way. Jauh sekali dibandingkan Israel.
Lalu strategi apa yang bisa mengalahkan Israel? Diplomasi, budaya, dan kesadaran HAM. Ya, ketiga varian tersebut membuat Palestina mendapat simpati dunia. Karena mereka ditembak, dibunuh, dipersempit jalan hidupnya, dan dijauhkan dari sumber mata pencahariannya. Semua itu menjadikan dunia makin simpati kepada Palestina. Dampaknya, seperti ditulis Denny JA, kemerdekaan Palestina tinggal menunggu sedikit waktu. Pada waktunya, kemerdekaan Palestina niscaya didorong oleh pemerintah Amerika Serikat dan mayoritas populasi Yahudi internasional.
Kenapa demikian? Gallup Poll yang secara berkala membuat survei pada populasi masyarakat AS tentang konflik Israel-Palestina, menulis sebagai berikut: Makin banyak pendapat dunia internasional, bahwa Palestina pada waktunya akan merdeka. Keinginan dunia terhadap kemerdekaan Amerika tak terbendung.
Di tahun 2021, misalnya, dukungan pada Palestina (Palestine Authority Favorably) meningkat di angka 30 persen. Sebelumnya hanya 23 persen di tahun 2020. Dan hanya 21 persen di tahun 2019 dan 2018. Sebaliknya, dukungan pada Israel (Israel Authority Favorably) menurun 58 persen di tahun 2021. Sebelumnya 60 persen di tahun 2020. Dan 64 persen di tahun 2018. Di sisi lain, tulis Denny, semakin banyak terbentuk komunitas Yahudi internasional. Kelompok ini acap mendukung kemerdekaan Palestina. Bahkan komunitas Yahudi berkampanye memobilisasi dukungan mereka. Antara lain Jewish For Peace dan If Not Now Movement di Amerika Serikat.
Mengapa dukungan kepada Palestina menaik bahkan di wilayah dan komunitas yang dulu menjadi musuh utama Palestina.Tiga alasan kenapa terjadi hal itu.
Pertama, semakin berpengaruhnya komunitas Black Lives Matter (BLM) di Amerika Serikat. BLM, sejak tewasnya warga kulit hitam Amerika George Floyd 25 Mei 2020 karena kekerasan polisi kulit putih di Minneapolis, kini menjadi gerakan dunia yang populer. Tujuannya untuk menghilangkan diskriminasi, memperluas kesetaraan, dan gak asasi manusia (HAM). Bangsa Palestina dianggap bernasib yang sama dengan kulit hitam di masa lalu. Ia bangsa yang dianiaya. Bangsa yang dizalimi. Bangsa yang diperlakukan tak adil.
Kedua, berubahnya persepsi David versus Goliath. Cukup lama tertanam dalam kesadaran kolektif bahwa bangsa Israel adalah si kecil David. Dan bangsa di luar Israel, termasuk Arab — hasi lolb raksasa Goliath. Raksasa murka dan kejam. Hollocoust di masa Hittler tahun 1940an menyebabkan ratusan ribu bahkan jutaan Yahudi dibunuh massal. Di tambah lagi kisah eksodus kitab suci di zaman Nabi Musa. Komunitas Yahudi bersusah payah terusir dari Mesir. Citra itu yang terbentuk. Bangsa Yahudi adalah bangsa yang ditindas. Simpati publik datang pada bangsa yang ditindas.
Ketiga, semakin menguatnya kompromi rasional. Tak mungkinlah bangsa Israel mampu menumpas habis bangsa Palestina. Juga mustahil bangsa Palestina bisa menumpas habis bangsa Israel. Kompromi rasional acapkali ditempuh ketika konflik berlarut. Yang susah solusinya. Dunia dilanda konflik semacam itu, ketika kaum Katolik dan Protestan perang selama 30 tahun di Eropa abad 17, awalnya perang ini diwarnai semangat saling memusnahkan. Tapi ternyata sulit. Mustahil Katolik mampu membunuh habis Protestan. Juga sebaliknya. Setelah berdamai, kini Katolik dan Protestan bisa hidup bersama dan saling mendukung perdamaian dan toleransi.
Betul, AS berada di bawah pengaruh kelompok Yahudi Amerika. Sedangkan kelompok Yahudi AS, meski jumlahnya kecil, jaringannya kuat sekali, baik dalam politik lokal maupun global. Tapi dengan menguatkanya ketiga faktor tersebut, niscaya gelombang pengaruhnya tak terbendung. Sehingga cepat atau lambat, parlemen AS dan lobi-lobinya, akan mencapai titik temu ideal tadi. Israel dan Palestina berdiri sebagai suatu negara legitimate yang saling kerjasama untuk keselamatan manusia dan dunia.
Penulis adalah anggota DPR RI