Kolom Fiam Mustamin
Mengapa saya memilih judul tulisan itu ?
Begini ceritanya.
Tidak ada kebesaran tanpa perbuatan besar dan tidak ada perbuatan besar tanpa risiko.
Bagi saya, begitu banyak hal yang bisa di tuliskan sejak awal pertemuan dengan sosok ini. Di awal kedatangan saya di Jakarta sekitar tahun 1975, saya diperkenalkan dengan sosok ini oleh senior Zainal Bintang, pengurus Parfi Makassar di kantor Pengurus Besar Parfi Jalan Kramat Lima Jakarta Pusat.
Sosoknya saya amati, orangnya gagah perlente, berambut ikal dan dari penuturan tata bahasa Bugisnya yang biasa saya dengar di komunitas bangsawan, saya menerawang untuk mencocokkan pesan-pesan orangtua di kampung, bahwa sosok seperti ini memiliki isyarat : to acca (cerdas) dan to warani (pemberani).
Dengan pemahaman itu, saya berusaha untuk selalu dekat dan bertanya berbagai hal terutama yang berkaitan dengan cerita dan pesan-pesan kehidupan orang tua tempo dulu (Attoriolang).
Dengan banyak bertanya, Daeng Muin mengungkapkan hal-hal klasik yang jarang diperdengarkan di area publik terbuka, misalnya tentang lontara Sureq Selleang yang menceritakan peradaban orang Bugis zaman kuno (pra-sejarah) .
Hal semacam itu saya sangat hormati, karena ungkapan klasik itu masih tergolong hal yang dikramatkan oleh masyarakat, yang tidak sembarang waktu dapat dibacakan, ada tata adabnya yang biasa dilakukan oleh kalangan Bissu/Puang Matoa, penasehat kerajaan di Bugis.
Hal-hal keinginan banyak tahu saya direspon baik oleh Daeng Muin tanpa terikat dengan aturan aturan yang lazim.
Meskipun mungkin dalam hati kecilnya Daeng Muin melihat saya ini, anak sok ingin banyak tahu. Ketulusannya untuk merespon saya menampakkan pribadinya (Ampe ampenya) yang suka berbagi (Mappasilele) dan saling menghormati(Mapakiade).
Merespon saya sebagai wujud penghargaan kepada sepupunya, senior Zainal Bintang yang memperkenalkan saya.
Menghayati pesan Arung Matoa Wajo, ia Taddampare Puang ri Maggalatung, 1491/1521 mengajarkan : Aja mupogau gau temmaketujung. Resopatu natemmangingi malomo naletei pammase Dewata Seuwwa e (jangan melakukan perbuatan yang tak berguna. Hanya dengan usaha keras dan ketidak bosanan yang mudah dititi rahmat Tuhan Yang Maha Esa).
Dikemudian hari, kami mengetahui bahwa kami sebenarnya masih dalam satu kekerabatan, di mana La Kuma, sepupu Daeng Muin Hj. Tedde dari daerah Sengkang kawin dengan ponakan saya di Tajuncu Soppeng.
Begitulah kami selalu berinteraksi dengan Daeng Muin yang aktif di perfilman dan persinetronan ketika itu.
Pada akhirnya kita dipersatukan berada dalam satu wadah Lembaga Kesenian Sulawesi Selatan (LKSS) dibawah pembinaan Pemda/Dinas Kebudayaan Jakarta.
Lembaga ini didirikan dan diketuai oleh Andi Baso Amier, dikenal sebagai sastrawan, ketua hariannya adalah Daeng Muin dan saya dijadikan sekretaris umum, tahun 1986.
Di tahun itu juga digelar Temu Budaya Kearifan Budaya Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sekian lama, baru kali ini terselenggara sebuah forum yang begitu komprehensif dirancang untuk membicarakan perihal Budaya Jatidiri orang Sulawesi Selatan.
Temu Budaya saat itu, bukanlah tema yang serta merta disambut yang membawa pesan-pesan fisik pembangunan bangsa.
Hanya dengan keteguhan dan keyakinan dari penginisiatornya Daeng Muin hingga dapat mewujudkan perhelatan pemikiran kebudayaan itu dari peradaban masa lampau sebagai tonggak dalam membangun peradaban masa kini.
Daeng Muin termasuk penginisasi dari Seminar internasional La Galigo yang diselenggarakan tahun 2002 di Tanete
Barru, daerah kelahiran We Colliq Pujie Arung Toa Pancana sebagai penutur sumber utama sureq La Galigo, atas kerjasama Pemerintah Daerah Barru, Bupati Andi Muhamnad Rum/Bau Rumpa dan Universitas Hasanuddin Makassar.
Temu Budaya ini terkait subtansinya dengan seminar La Galigo, terlihat dari dari 9 materi pembahasannya yaitu : 1. Etos Budaya Sulawesi Selatan, Prof. Dr. Hamid Abdullah, 2. Masa Lampau Sulawesi Selatan Dalam Sorotan I Lagaligo, Prof, Dr. Fachruddin Ambo Enre, 3. Sawerigading Dalam I Lagaligo, Abdul Rahman Al Ahmadi, 4. Aspek Sosio Religio I Lagaligo, Prof. Dr. C. Salombe, 5. Sekelumit Aspek Ketatanegaraan Menurut La Toa, Prof. Dr. Mattulada, 6. Amanna Gappa, Tinjauan Aspek Pelayaran, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, 7. Nilai Budaya Bugis, Prof. Dr. Mr. A. Zainal Abidin Farid, 8. Budaya Makassar, Drs. Hamzah Daeng Mangemba dan 9. Budaya Mandar. Drs. M. Darwis Hamzah.
Selain itu terlibat 10 tokoh sebagai pembanding dari makalah tersebut antaranya Prof. Dr. Abu Hamid, Drs Ishak Ngelyaratan, Pro Hc L T. Tandilintin, Julius Kendenan, Prof. Dr. Salim Said, Dr. A. A. Baramuli, SH, Julius Tiranda, Drs. Ahmad Nurhani, Dr. Ir. Rahman Djay dan Husni Djamaluddin.
Serta bebera orang penanggap yang aktif dari floor antara lain Rahman Arge, Arsal Al Habsi, Andi Makmur Makka, Wiratmo Soekito, Saleh Lahade, Andi Baso Amier, Mustainaj Azis Taba, Diana Mubaraq, Serang Andi Pangerang, Massiara, Drs. Saleh Bustami, Kol A. Malik, Basoman Nur, Ari Melajong Dg Tata, Amir Syarifuddin, Tanu Suheri, M. Rajab Lubis dan lain-lain.
Sampai saat ini saya tidak pernah menanyakan bagaimana Daeng Muin mengenal semua itu, iya bukan akademisi yang khusus menelaah warisan klasik itu.
Sebagian besar dari pelaku Temu Budaya dan Seminar La Galigo telah berpulang.
Sejarawan Dr. Muhlis Paeni dalam tulisannya : Migrasi Bugis dan Pengaruhnya di Semenanjung Malaka dari Abad ke-15-20. mempertanyakan apakah paguyuban KKSS dapat mendorong warga, putra-putra terbaiknya untuk menempati posisi penting seperti di era migran Bugis Makassar sebagai penguasa di kejayaan abad ke -18.
Dari referensi SIRI, Kearifan Budaya Sulawesi Selatan, yang disunting Abdul Muin Ahmad dan Muh Rizani Syam.
Daeng Muin aktif di kepengurusan KKSS era ketua umum Beddu Amang dan Mohamma Taha yang membidangi kesenian dan kebudayaan. Ia pernah menjadi watawan/fotografer majalah Tempo.
Saya mengerahui bahwa Daeng Muin punya kedekatan emosional dengan budayawan WS Rendra, sutradara Chaerul Umam, penyanyi dan mubaliq Haji Rhoma Irama dan sejumlah orang penting budayawan dan wartawan Indonesia.
Beranda Inspirasi Ciliwung 1 April 2021