Satu, identitas dasar semua manusia itu adalah fitrahnya. Fitrah adalah “heartprint” (terminologi buatan sendiri, mirip fingerprint) murni yang dengannya dia terlahir. Dan Karenanya fitrahlah yang menjadi “tabiat dasar” (nature) manusia.
Di sinilah agama diidentikkan dengan tabiat dasar manusia itu (dzalika ad-dinul qayyim). Sekaligus agama tidak paradoksikal sifatnya dengan tabiat dasar manusia.
Dua, pada saat yang sama manusia juga dilengkapi dengan kapasitas intelektualitas (intellectual capacity) karena tabiat tugas pokoknya sebagai “khalifah” di atas bumi. Tugas kekhilafahan bermakna bahwa manusia semuanya wajib mengambil bagian dalam proses membangun dunia sebagai tempat kediaman sementara (mustaqarrun ilaa hiin).
Pada sisi ini manusia akan selalu “genit” untuk tahu. Dan manusia yang sehat akan selalu mencari, mempertanyakan, bahkan mengkritisi banyak hal dalam hidupnya. Stagnansi dalam pemikirian bukan karakter manusia sehat.
Tiga, dengan identitas fitrah dan kapasitas akal itulah manusia akan melahirkan karya-karya yang tidak saja inovatif. Tapi yang terpenting lagi pastinya memiliki karakter yang mulia. Karakter mulia karya manusia itu ada pada asas manfaat. Dan karenanya manusia yang terbaik dalam pandangan Islam adalah yang paling bermanfaat (khaerun naas anfa’uhum linnaas).
Empat, karya-karya inovatif dan berdaya guna itulah yang kemudian terwujud dalam bentuk peradaban manusia (tamaddun insani). Sebuah peradaban yang tinggi dan berwawasan kemajuan, tapi sekaligus kuat dalam ashooah (orisinitas). Peradaban yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai “bagaikan pohon yang baik (kuat/subur), cabang-cabangnya menjulang tinggi, tapi akarnya tertanam kuat ke dalam tanah”.
Lima, Islam dengan pemahaman seperti inilah yang menjadi impian dunia yang semakin merindukan hadirnya peradaban alternatif itu. Peradaban material telah terbukti gagal menghadirkan kepuasan, ketenangan dan kebahagiaan kepada manusia.
Dan dengan wawasan keislaman seperti inilah kita hadirkan Islam sebagai “rahmatan lil-alamin” (kasih sayang bagi seluruh alam semesta. Insya Allah!
Shamsi Ali, New York, 6 Agustus 2020