Dalam seratus tahun terakhir, peradaban manusia telah berhasil meningkatkan harapan hidup dari sekitar 30-40 tahun menjadi 70-90 tahun. Kemajuan pengetahuan dan teknologi telah berhasil membuat manusia, berhasil mengeliminasi atau mengurangi prevalensi atau kematian akibat berbagai penyakit, khususnya penyakit menular. Pertanyaan selanjutnya adalah: setelah berhasil men-double angka harapan hidup tersebut, apakah masih terbuka peluang untuk terus memperpanjang umur manusia hingga lebih dari 100 tahun, bahkan 200 atau 300 tahun?
Pertanyaan krusial selanjutnya adalah apakah berpuasa memiliki efek untuk memperpanjang umur? Studi terkait hal ini sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1935 dimana hewan coba yang dipuasakan menunjukkan angka harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan hewan coba yang diberikan porsi makan normal. Setelah riset terobosan ini dirilis, berbagai studi, mulai dari organisme sederhana (cacing dan ragi) hingga kompleks (tikus dan monyet), kemudian menunjukkan bahwa berpuasa bisa memperpanjang umur.
Hal itu diuraikan dr. Rais Reskiawan pada webinar Seri II “Puasa: Sehat, Berativitas dan Panjang Umur”, yang digelar Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi bersama Klinik Budhi Pratama, Literasi Sehat Indonesia, Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar, dan Bakornas LKMI-HMI, 8 April 2022.
Menurut Rais, berbagai studi yang melibatkan manusia kemudian menunjukkan bahwa berpuasa sebenarnya berpotensi untuk mengurangi berat badan (Indeks massa tubuh), kadar kolesterol, tekanan darah, hingga kadar gula darah. Efek ini memiliki implikasi penting karena peningkatan kadar kolesterol, tekanan darah, gula darah, dan berat badan terkait dengan peningkatan resiko terjadinya berbagai penyakit kronis seperti stroke, serangan jantung, kanker yang bisa berakibat fatal.
“Riset-riset terbaru yang dilakukan diberbagai negara telah menunjukkan bahwa dengan intervensi tertentu (obat senolytics), kita bisa memperpanjang umur hewan coba paling tidak hingga 30%. Artinya, dengan mengkonsumsi obat senolytics, hewan coba yang biasanya meninggal secara alamiah ketika mencapai umur 1000 hari, bisa diperpanjang umurnya hingga mencapai 1300 hari. Riset terbaru juga telah menunjukkan jika intervensi tersebut bisa mengurangi resiko terjadinya berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung, penyakit paru, Alzheimer, dan osteoartrthitis,” papar mantan Sekjen ISMKI ini.
Walaupun demikian, lanjut Rais, berbagai studi tersebut masih memiliki berbagai kekurangan dalam desain studinya sehingga masih sangat sulit menjadikannya sebagai landasan kuat manfaat berpuasa. Salah satu kelemahan kunci studi-studi tersebut adalah tidak adanya kelompok kontrol (kelompok pembanding) yang dilibatkan, membuat kita tidak bisa mengetahui apakah manfaat-manfaat tersebut berasal dari efek puasa atau hanya efek placebo semata.
Studi paling mutakhir yang dipublikasikan tahun 2019 telah menjawab kekurangan riset-riset sebelumnya. Studi ini adalah studi klinis fase kedua dimana partisipannya dibagi menjadi dua, yaitu kelompok yang berpuasa dan tidak berpuasa. Studi ini menunjukkan ternyata berpuasa bermanfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, tekanan darah, dan berat badan. Sayangnya, studi ini hanya mem-follow up partisipannya selama 2 tahun, sehingga efek berpuasa untuk memperpanjang umur masih sulit terdeteksi. Akan tetapi, studi ini telah menunjukkan bahwa berpuasa paling tidak memiliki manfaat yang sangat baik untuk mengurangi faktor-faktor pencetus penyakit kronis.
“Dengan kurangnya bukti (riset) terkait manfaat berpuasa terhadap harapan hidup seseorang, seharusnya menjadi cambukan bagi ilmuwan-ilmuwan muslim untuk menjadi pemimpin dalam riset dibidang ini,” ujar Rais.
Studi pra-klinis dan berbagai studi klinis sudah menunjukkan bukti yang cukup kuat tentang manfaat berpuasa. Sangat terbuka kemungkinan berpuasa benar-benar dapat memberikan banyak manfaat dan memperpanjang umur, sebagaimana Firman Allah SWT, “… dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui..”
[ ZA dan JL ]