Asa Pada Ketum KKSS Terpilih: Dapatkah Penghuni Rumah Tidak Lagi Tidur di Luar?

0
255
- Advertisement -

Kolom  Firman Syah 

Musyawarah Besar XII KKSS akhirnya menetapkan Andi Amran Sulaiman sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Pusat KKSS untuk periode 2025-2030. Ia bukan nama baru. Sosok besar dengan rekam jejak mentereng. Di atas panggung Four Point Hotel Makassar, Jumat itu, ia berdiri mewakili harapan baru. Namun, di balik tepuk tangan dan kilatan kamera, tersisa satu pertanyaan sunyi: apakah rumah besar ini akan kembali ramah bagi semua penghuninya?

Sejak 1976, KKSS berdiri sebagai ikhtiar menyatukan orang-orang Bugis-Makassar-Mandar-Toraja yang hidup di tanah rantau. Ia ingin menjadi rumah—bukan sekadar gedung, bukan sekadar struktur organisasi. Tapi rumah yang memeluk, melindungi, dan menumbuhkan. Kini, setelah hampir setengah abad, rumah ini tampak megah dari luar. Tapi terlalu banyak warganya yang tidur di luar, bertanya-tanya apakah mereka masih punya tempat pulang.

Lihatlah rencana aksi Ketum baru: delapan butir program yang terdengar menjanjikan. Konsolidasi organisasi. Sekolah unggulan. Identifikasi kearifan lokal. Digitalisasi. Partisipasi diaspora. E-commerce. Kemitraan internasional. Tapi di antara semua itu, tak satupun secara eksplisit bicara tentang hal paling mendasar: rasa memiliki.

16 Juta Warga KKSS?

- Advertisement -

Setengah abad berselang, KKSS mengklaim memiliki jaringan warga sebanyak 16 juta orang—di luar Provinsi Sulawesi Selatan, termasuk diaspora di mancanegara. Klaim ini, meski mengesankan, menimbulkan pertanyaan penting: Bagaimana validitasnya? Bagaimana pengelolaan data dan identitas ini dilakukan?

Di era digital, angka sebesar itu tidak hanya soal kebanggaan, tetapi soal tanggung jawab terhadap data, jejaring, dan strategi penguatan komunitas. Validasi tidak cukup berbasis asumsi historis atau kebanggaan etnis, tetapi membutuhkan pendekatan saintifik dan digital: pemetaan data, segmentasi, dan partisipasi aktif warga KKSS sendiri melalui ekosistem digital.

Untuk menjawab tantangan zaman, KKSS harus membangun platform digital yang tak hanya menghimpun data warga, tapi juga menjadi wadah pelestarian budaya. Fitur-fitur seperti profil digital, marketplace UMKM, kamus bahasa daerah, e-learning budaya, hingga forum daring harus dihadirkan. Konten lokal seperti lontarak, cerita rakyat, dan kisah perantau harus dijadikan bagian dari arus digital global.

Dengan begitu, KKSS tak hanya menjadi nama, tapi gerakan budaya perantau Bugis-Makassar yang hidup, tumbuh, dan relevan di masa depan.

8 Rencana Aksi KKSS

Dengan delapan butir rencana aksi Ketum baru KKSS, banyak warga KKSS yang selama ini tidur di luar rumah merasa mendapatkan secercah harapan terhadap kegelisahan lama itu. Meski begitu, masih ada perasaan dumba’-dumba’ bagaimana realisasinya.

Pertama, konsolidasi organisasi kerap disebut pondasi utama. Tapi sampai hari ini, pondasi itu masih rapuh—terlalu sering dibangun ulang tanpa peta. Struktur di berbagai tingkatan lebih sering jadi formalitas, sibuk dalam seremoni, tapi kerap lupa pada fungsi utamanya: merawat warga. Sejauh ini, masih banyak yang tidak merasa dilihat, tidak didengar, dan akhirnya memilih menjauh. Rumah besar ini belum sepenuhnya membuka pintu, apalagi mengundang masuk mereka yang selama ini tidur di luar.

Kedua, penguatan pendidikan dengan Sekolah Unggulan KKSS terdengar megah. Tapi bukankah terlalu sering kita membangun “unggulan” tanpa menyelesaikan persoalan dasar? Apa jaminannya sekolah ini bukan hanya simbol elitis baru? Pendidikan seharusnya menanamkan identitas, bukan mempertegas jarak sosial. Apakah sekolah ini akan terbuka untuk anak-anak nelayan, anak petani, anak pengemudi ojol yang juga warga KKSS?

Ketiga, identifikasi kearifan lokal terlalu sering berhenti di seminar dan dokumentasi. Adat, seni, dan sistem sosial hanya dipamerkan di festival tahunan, tanpa benar-benar diberi ruang hidup di keseharian. Kita tidak kekurangan arsip—kita kekurangan penerus. Bagaimana mungkin anak muda bisa mencintai warisan budaya kalau ia hanya diperkenalkan sebagai nostalgia, bukan sebagai bagian dari hidupnya?

Keempat, soal digitalisasi, kita belum keluar dari jebakan platform sebagai proyek, bukan ekosistem. Berkali-kali aplikasi dibangun, tapi warga tidak terlibat. Portal dibuat, tapi tidak hidup. Apa gunanya membentang layar jika tak ada nyawa di baliknya? Platform digital KKSS seharusnya bukan hanya katalog anggota, tapi ruang interaksi dan kolaborasi. Sayangnya, kita masih lebih suka tampil di forum luar negeri ketimbang merawat forum daring internal.

Kelima, partisipasi diaspora adalah potensi yang tak pernah sungguh-sungguh disentuh. Kita menyebut angka 16 juta dengan bangga, tapi tak pernah benar-benar tahu siapa mereka, di mana mereka, dan apa yang mereka butuhkan. Kita bicara partisipasi, tapi yang kita ajak hanya segelintir elit diaspora yang dekat dengan kekuasaan. Sementara ribuan lainnya masih menjadi penonton bisu di luar pagar. Bahkan terkadang angka statistik itu hanya digunakan untuk komoditas politik di saat pemilihan.

Keenam, pengembangan produk budaya lewat e-commerce adalah ide bagus, tapi siapa yang melatih pedagang kecil Bugis-Makassar agar siap menghadapi algoritma dan logistik global? Jangan sampai ini hanya jadi peluang bagi segelintir pelaku besar yang sudah mapan, sementara pengrajin kecil tetap jadi dekorasi eksotik untuk promosi.

Ketujuh dan kedelapan, kerjasama multi sektor dan kemitraan internasional sering dibanggakan dalam konferensi, tapi jarang menyentuh akar rumput. Alih-alih duduk di meja peradaban dunia, kita malah sibuk mengejar pengakuan luar, lupa mengakui jerih payah warga sendiri.

Jika rencana aksi ini tak disertai keberanian untuk mengkritik diri, mendengar suara paling sunyi, dan merobohkan tembok eksklusivitas, maka rumah ini akan terus megah di luar—namun sunyi di dalam.

Namun di balik segala kritik itu, harapan masih tumbuh. Kita tidak mencintai KKSS karena ia sempurna, tetapi karena ia bisa menjadi lebih baik. Karena di setiap kekeliruan yang terulang, selalu ada kesempatan untuk membenahi. Di balik struktur yang kaku, masih ada hasrat untuk saling merangkul. Di balik jargon yang kosong, masih ada warga yang berharap rumah ini benar-benar menjadi rumah.

Bayangkan jika konsolidasi organisasi tidak lagi bersandar pada hierarki, tapi pada partisipasi yang tulus. Setiap pengurus bukan sekadar pengisi jabatan, tetapi penjaga kehangatan komunitas. Tidak hanya sibuk melapor ke pusat, tapi hadir sebagai pelayan warga di bawah.

Bayangkan jika sekolah unggulan yang dibangun benar-benar menjadi ruang bagi tumbuhnya generasi baru Masugi Maraja yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga lekat pada akar budaya dan etika komunitas. Program ini bukan hanya sekedar membangun sekolah fisik, tetapi arahnya lebih memprioritaskan kepada anak-anak yang berpotensi putus sekolah. Tentu saja dengan memberikan beasiswa kepada anak yang layak menerimanya.

Bayangkan jika digitalisasi bukan proyek satu kali, tapi gerakan bersama. Di mana setiap warga—dari pengrajin di pelosok hingga diaspora di Eropa—merasa terhubung dalam satu ekosistem. Platform yang dibangun bukan untuk menara gading, tapi untuk pasar rakyat, tempat belajar, tempat bercerita, bahkan tempat berselisih dan berdamai.

Bayangkan jika diaspora benar-benar dirangkul, bukan dimanfaatkan. Mereka diberi tempat bukan karena gelar, tetapi karena dedikasi. Mereka dilibatkan bukan karena kedekatan, tetapi karena komitmen membangun kampung halaman dari kejauhan.

Bayangkan jika produk budaya tidak hanya dipajang untuk konsumsi wisata, tapi dijaga oleh tangan generasi baru—melalui pelatihan, pendampingan, dan kepercayaan. Jika warisan itu tak lagi dijual sebagai eksotik, tapi dijaga sebagai identitas.

Dan terakhir, bayangkan jika KKSS tidak hanya hadir dalam seminar internasional atau panggung politik, tapi juga dalam kesederhanaan: menemani warganya saat berduka, membantu saat susah, menyapa tanpa pamrih. Maka saat itu, kita bisa berkata: rumah ini telah menyala kembali.

Jika rumah ini benar milik kita semua, maka tidak boleh ada satu pun yang tidur di luar. Tidak boleh ada yang merasa asing hanya karena tak punya jabatan. Rumah ini hanya akan hidup jika semua anak-anaknya merasa disambut, disapa, dan dilibatkan.
Selamat bertugas, Bapak Andi Amran Sulaiman.

Kini bukan soal bagaimana megahnya struktur yang dibangun, tapi seberapa luas tangan seorang Ketum merangkul yang tercecer. Karena rumah, sesederhana apapun, hanya berarti jika setiap anak bisa merasa: “Saya pulang.”

Kemayoran, 11 April 2025

Penulis, Ketua Departemen Seni Budaya BPD KKSS Jakarta Pusat

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here