Kolom Fiam Mustamin
Anakmu kini banyak menanggung beban.
Tulisan ini terinspirasi dari lagu Ebiet G. Ade yang pernah berduet dengan Iwan Fals.
Ada dua hal yang membuat saya begitu akrab dengan lagu-lagu karya Ebiet G. Ade.
Pertama, lagu-lagu itu dikoleksi oleh Firman Bintang, sahabat Ebiet, sejak awal 1980-an. Saat itu, saya selalu mendengarkannya berulang kali.
Kedua, lagu-lagu Ebiet banyak bertema agraris. Syairnya menyentuh hati saya sebagai anak kampung yang tumbuh di lingkungan pertanian. Lirik-lirik itu seakan mewakili perasaan kami: sederhana, penuh rindu, dan menyatu dengan alam.
Aransemen musiknya pun merdu dan enak didengar, meski hanya dengan instrumen sederhana. Kita tidak hanya mendengarkan, tetapi juga larut dan ikut menyanyikannya.
Ebiet menyanyi dan bertutur lewat syair-syairnya seperti narasi pada judul tulisan ini: Ayah… Dalam Hening Sepi Kurindu untuk Menuai Padi Milik Kita.
Ada tiga kata kunci yang menjadi ruh sekaligus pesan moral dalam lagu ini: setia, tabah, dan tangguh. Sebuah penegasan bahwa lirik lagu bukan sekadar untuk dinikmati dari segi suara dan musiknya, tetapi juga sebagai karya seni dengan kedalaman makna.
Hal yang sama berlaku bagi karya seni lainnya: puisi, teater, tari, maupun seni rupa— yang diciptakan dengan penghayatan moral. Dari situ, kita merindukan kehadiran seniman-seniman besar seperti Bimbo, Ebiet, Iwan Fals, WS Rendra, Emha Ainun Najib, dan Bambang Oeban.
Menyimak lagu Ebiet Rindu untuk Ayah, kita dapat memaknai bait awalnya:
“Dari matamu tersimpan selaksa peristiwa…”
Seakan mengingatkan kita pada berbagai peristiwa yang dijalani seorang ayah, yang terekam dan hadir kembali di benak setiap pendengar.
Ayah… tubuh yang kekar lekang matahari,
Kini kurus terbungkuk, namun engkau tetap setia.
Ayah… dalam hening sepi,
Kurindu untuk menuai padi milik kita.
Anakmu sekarang banyak menanggung beban.
Akhirnya, mari kirimkan Al-Fatihah untuk ayah-ayah kita yang telah berpulang. Aamiin.