Kolom Ruslan Ismail Mage
Lapagala adalah seorang anak kecil yang setiap hari disuruh oleh orang tuanya menjaga sawah dari serbuan burung-burung yang setiap saat bisa datang memakan padinya yang sedang bertumbuh. Suatu waktu ketika sore menjelang malam tiba-tiba hujan deras, sehingga Lapagala harus berteduh di dalam gubuk menunggu hujan redah. Malam sudah datang, namun hujan bukannya tanbah redah tetapi justru semakin deras.
Samar-samar di kegelapan malam, Lapagala mendengarkan suara beberapa orang mendekat ke gubuknya. Dari balik dinding bambu Lapagala mengintip keluar, dan ternyata di depan pintu gubuknya sudah berdiri empat orang berbadan besar berewokan masing-masing memegang golok panjang. Ternyata empat orang ini adalah orang jahat yang baru saja gagal merampok.
Salah seorang diantaranya langsung mendobrak puntu gubuk dan menemukan seorang anak kecil Lapagala sedang berteduh menunggu hujan redah. Keempatnya kemudian berebut mendekat menarik Lapagala. Karena keempatnya tidak ada yang mau mengalah, salah satu diantara mereka menginstruksikan untuk mendapatkan Lapagala harus membuat lomba cerita. Jadi cerita yang paling tinggi tingkat “kebohongannya” itulah yang berhak membawa Lapagala pulang ke rumahnya.
Keempatnya kemudian bergiliran bercerita yang menurutnya paling tinggi kebohongannya. Perampok pertama bercerita, saya pernah melihat seekor sapi yang paling besar. Saking besarnya di ujung tanduknya orang bisa bermain bola. Perampok kedua bercerita, saya pernah melihat pohon yang paling besar. Saking besarnya sudah tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh minggu, tujuh hari saya mengelilingi garis tengahnya belum sampai-sampai. Perampok ketiga bercerita, saya pernah melihat parang yang sangat panjang. Saking panjangnya sudah tujuh tahun, tujuh bulan, tujuh minggu, tujuh hari pemiliknya meninggalkan rumahnya, ujung parangnya masih menyentuh tangga rumahnya. Perampok terakhir bercerita, saya pernah melihat rumah yang sangat besar. Saking besarnya telur ayam yang dijatuhkan dari atapnya sampai ke tanah sudah menjadi ayam bertajih.
Selesai keempat perampok itu bercerita, Lapagala mulai ikut berbicara dengan mengatakan, ke empat cerita itu sama aja nilai kebohongannya, jadi tidak ada yang berhak menculik saya. Pemimpin perampok itu pun menimpali bahwa kalau diantara kami berempat tidak ada yang boleh membawamu, maka Lapagala harus bercerita yang bisa mengalahkan cerita kami.
Lapagala pun menyanggupi tantangan itu dengan mulai bercerita. Saya pernah melihat gendang yang sangat besar. Saking besarnya sudah tujuh tahun tujuh bulan, tujuh minggu tujuh hari ditabuh, suaranya masih kedengaran sampai sekarang. Mendengar cerita Lapagala, pemimpin perampok menghardiknya! Hai Lapagala! Itu tidak mungkin terjadi, karena tidak ada bahan yang bisa membuat gendang sebesar itu. Sebelum Lapagala menjawabnya, keempat perampok itu menyerangnya dengan pertanyaan berantai.
Tanya perampok pertama dari mana ambil bahan kulitnya? Lapagala menjawabnya santai dari sapimu tadi yang di ujung tanduknya bisa orang bermain bola. Tanya perampok kedua, dari mana mengambil kayu untuk menempel kulit sapinya? Jawab Lapagala dari kayu besarmu tadi yang sudah tujuh tahun mengelilingi garis tengahnya belum ketemu-ketemu ujungnya. Tanya perampok ketiga, bagaimana cara memotong sapi dan menebang pohong besar itu? Jawab Lapagala menggunakan parang panjangmu tadi. Selanjutnya perampok keempat bertanya, dimana menyimpan gendang itu? Jawab Lapagala di rumah besarmu tempat jatuhnya telur tadi.
Sahabat pembelajar, akhirnya keempat perampok itu mengalah dan sepakat menjadikan Lapagala sebagai pemimpinnya. Lapagala telah mengajarkan strategi kepemimpinan dan manajemen yang handal. Pada dasarnya pemimpin yang kuat adalah pemimpin yang mampu memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki orang-orang disekitarnya untuk mencapai tujuannya. Begitupula manajer yang sukses pada dasarnya adalah manajer yang bisa memanaje kemampuan yang dimiliki bawahannya untuk mencapai tujuan perusahaan. Lapagala telah meramu keempat cerita perampok itu dan menjadikannya sebagai senjata yang melemahkan lawan tanpa menyakiti.
Penulis adalah Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta