Kolom Hafid Abbas
Menjelang akhir tahun, pada 20 Desember 2022, UNJ kembali lagi mengukuhkan empat orang guru besarnya, masing-masing: Yuli Rahmawati, Guru Besar dalam bidang ilmu Pendidikan Kimia, FMIPA UNJ, Ari Saptono, Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Ekonomi pada Fakultas Ekonomi, Dede Rahmat Hidayat, Guru Besar dalam ilmu Bimbingan dan Konseling, dan Elindra Yetti, Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Seni Tari Anak Usia Dini.
Keempat guru besar tersebut mendambakan masa depan pendidikan tinggi (PT) Indonesia yang lebih maju, lebih bermutu dan bereputasi di kelas dunia. Semangat seperti itu sesungguhnya telah berproses sejak lama, bahkan sejak sebelum UNJ lahir.
Secara historis, ketika UNJ masih bagian dari UI, pada Selasa, 15 September 1953, Presiden Soekarno meletakkan Prasasti Kota Mahasiswa di Gedung Daksinapati (sekarang gedung Fakultas Ilmu Pendidikan, UNJ) yang menyatakan bahwa kawasan Kampus ini sebagai “Kota Mahasiswa” Jakarta. Semangat yang tergambar dalam pemikiran Bung Karno di kala itu dengan menjadikan kawasan Jakarta Timur sebagai the city of intellect yang ditandai dengan kehadiran Kampus Salemba, Pegangsaan Timur dan Rawamangun, tentu tidak lain agar dari kampus ini akan lahir prestasi keilmuan gemilang bagi kemanusiaan, peradaban dan bagi kemajuan ilmu dan teknologi.
Bahkan jauh sebelum peletakan prasasti itu, pada 1950, UI telah menjadi universitas multi-kampus, dengan kampusnya di Jakarta (Fakultas Kedokteran, Hukum, dan Sastra), Bogor (Pertanian dan Kedokteran Hewan), Bandung (Teknik, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam), Surabaya (Kedokteran dan Kedokteran Gigi), dan Makassar (Ekonomi dan Hukum). Pada 1954, Kampus UI di Surabaya menjadi Universitas Airlangga dan pada tahun berikutnya Kampus Makassar menjadi Universitas Hasanuddin. Kampus Bandung menjadi Institut Teknologi Bandung pada 1959, dan selanjutnya pada 1964, kampus Bogor menjadi Institut Pertanian Bogor, dan Kampus Rawamangun Jakarta sebagian berubah menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas Negeri Jakarta).
Refleksi historis ini, kelihatannya muncul di pemikiran para guru besar UNJ yang telah dikukuhkan di penghujung 2022. Yuli misalnya, mengetengahkan urgenssi pendidikan transformatif dalam menyiapkan kompetensi generasi emas 2045; Ari menyoroti model asesmen pendidikan ekonomi di era digital; Dede mengangkat isu karier; dan Elindra telah menyoroti seni tari dalam melejitkan pengembangan potensi minat dan bakat anak usia dini.
Prospek Perolehan Nobel
Sekiranya terdapat penghargaan Hadiah Nobel bagi mereka yang berprestasi di bidang olahraga prestasi, UNJ sesungguhnya sudah lama layak memperoleh hadiah itu. Pada Asian Games 2018, misalnya, Indonesia berada di juara ke-4 di antara 45 negara peserta dengan perolehan 70 medali, 31 emas. Namun mahasiswa dan dosen UNJ menyumbang 12 medali, 6 di antaranya emas. Jika UNJ satu negara maka dengan 12 medali itu, ia berada di urutan ke-17 di Asia atau melampuhi 28 negara lainnya. Jika di tingkat ASEAN, UNJ berada di urutan ketiga setelah Thailand dan Malaysia. Dengan reputasi ini, dapat dibayangkan, mungkin UNJ adalah satu-satunya PT paling unggul di dunia di bidang olahraga prestasi.
Berikut adalah prospek perolehan Nobel di bidang sastra, keilmuan, kemanusiaan dan perdamaian.
Pertama, di bidang seni dan sastra, UNJ memiliki sejumlah tokoh yang pantas diusulkan mendapatkan Nobel Sastra. Salah satu di antaranya, terlihat di berbagai media online adalah Helvy Tiana Rosa yang sering menulis dengan tema kemanusiaan dan cinta, pernah mendapat 30 penghargaan tingkat nasional di bidang penulisan dan pemberdayaan masyarakat, antara lain sebagai Tokoh Sastra dari Balai Pustaka dan Majalah Sastra Horison (2013), Tokoh Perbukuan IBF Award dari IKAPI (2006), Tokoh Sastra Eramuslim Award (2006), Ummi Award (2004), Nova Award (2004), Kartini Award sebagai salah satu The Most Inspiring Women in Indonesia (2009), SheCAN! Award, dan Danamon Award untuk FLP yang ia dirikan (2008).
Puisinya “Fi Sabilillah” Helvy menjadi Juara Lomba Cipta Puisi Iqra Tingkat Nasional 1992 dengan juri HB Jassin, Sutardji Calzoum Bachri dan Hamid Jabbar. Cerpennya “Jaring-Jaring Merah” menjadi salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horison dalam satu dekade (1990-2000). Bukavu masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award 2008 dan ia menjadi Penulis Puisi Terfavorit serta karyanya Mata Ketiga Cinta terpilih sebagai Buku Puisi Terfavorit Anugerah Pembaca Indonesia dari Goodreas Indonesia, 2012.
Helvy adalah Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara dan Wakil Ketua Liga Sastra Islam Dunia, karyanya juga masuk dalam buku kontroversial 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia yang ditulis Jamal D. Rahman dkk (Gramedia, 2014). Selama enam tahun berturut-turut (2009, 2010, 2011, 2012, 2013/2014, 2014/2015) ia juga terpilih sebagai satu dari 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia hasil riset Royal Islamic Strategic Studies Centre, Jordan bersama beberapa universitas terkemuka di dunia
Kedua, di bidang sains, UNJ memiliki sejumlah peneliti yang pantas diusulkan mendapatkan hadiah Nobel. Salah satu di antaranya adalah Muktiningsih, sebagai guru besar bidang Ilmu Biokimia pada FMIPA. Dalam salah satu penelitiannya tentang Potensi Kit Pendeteksi Bakteri Penyebab Keracunan Pangan dalam Memperkuat Kemandirian Bangsa. Dikemukakan oleh beliau bahwa saat ini kasus keamanan pangan terutama keracunan makanan (foodborne pathogen diseases) sangat luas penyebarannya dan dilaporkan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Kasus ini sering juga disebut sebagai Kasus Luar Biasa karena korbannya dalam jumlah besar, waktunya bersamaan, mengenai berbagai usia, dan terjadi dalam waktu cepat.
Namun, potensi jatuhnya korban yang cukup besar itu dapat dicegah dengan temuan Muktiningsih bersama timnya, yang telah mengembangkan metode deteksi cepat, spesifik dan akurat, sehingga penanganan kasus ini menjadi lebih efisien dan mencegah atau mengurangi terjadinya jumlah korban.
Kelihatannya, produk penelitian seperti ini pantas dan memenuhi kriteria kelayakan untuk diusulkan mendapatkan hadiah Nobel di bidang Biokimia yang proses dan persyaratannya dapat diakses di: https://www.nobelprize.org/nomination/chemistry/
Demikian pula Yuli Rahmawati sebagai Visiting Lecturer di Curtin University, Australia (Juli 2015) dan Murdoch University, Australia (Agustus 2017), telah melaksanaan 37 penelitian yang didanai sejak tahun 2013 dengan berbagai sumber penelitian baik nasional, internasional yang dilaksanakan satu tahun atau multiyears.
Penelitian internasionalnya yang didanai UMAP Jepang, AII (Australia Indonesia Institute) dan UNESCO menghasilkan sejumlah publikasi dalam bentuk jurnal internasional bereputasi, jurnal internasional, jurnal nasional terakreditasi, dan jurnal nasional dengan Google Schoolar dengan H Index 17, H i-10 Index 29, dan Sitasi 1046.
Sedangkan pada Scopus H Index 9, sitasi 286, dengan jumlah dokumen 66, pada Research Gate dengan Research Interest Score 588 dan sitasi 491. Publikasi yang dihasilkan sejumlah 88 luaran publikasi di jurnal sejak tahun 2016 -2022.
Masing-masing diuraikan sebanyak 23 pada jurnal internasional bereputasi dengan rincian Q1=10 artikel, Q2=11 artikel, dan Q3=3 artikel; 14 pada jurnal internasional; 31 pada prosiding internasional bereputasi, 5 pada jurnal nasional terakreditasi, dan 14 Jurnal nasional. Saya menghasilkan 39 HAKI. Pada penulisan buku, saya menghasilkan satu edited book yang diterbitkan CRC Press, Taylor & Francis. Tiga book chapter yang diterbitkan oleh Brill Sense dan Springer (dua di antaranya akan terbit pada tahun 2022), dan tiga buku dalam pembelajaran kimia berbasis budaya, STEAM, dan Pembinaan Kompetensi Mengajar.
Ke depan, Yuli Rahmawati dalam mengembangkan arah penelitiannya dapat terfokus pada bidang-bidang yang sesuai dengan kriteria payung-payung prioritas untuk mendapatkan Nobel di bidang Kimia.
Terakhir, Ucu Cahyana dalam penelitiannya tentang Pemanfaatan mobile learning dalam pembelajaran sains, sebagai terobosan di masa pandemi covid-19 yang melanda dunia pendidikan di seluruh dunia. Temuannya dinilai tidak hanya sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dan adanya daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), tetapi juga dapat melayani mereka yang tertinggal, dan anak-anak di Afrika atau di Asia Selatan yang kini dilanda konflik dan kemiskinan.
Demikian pula, Erfan Handoko, peneliti dan guru besar Fisika UNJ yang menekuni bidang Material Magnit yang dinilai memiliki aplikasi yang sangat luas pada berbagai aspek kebutuhan hidup umat manusia. Material magnet sebagai penyerap gelombang radar dan pemanfaatannya, kini terus menerus diteliti dan dikembangkan oleh Erfan, termasuk pemanfaatannya untuk menjaga batas-batas kedaulatan negara baik darat, laut dan udara agar tidak terjadi pergeseran batas-batas wilayahnya yang menguntungkan negara lain.
Temuan ini dapat meredam potensi konflik perbatasan antarnegara. Di lingkungan ASEAN misalnya, Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Indoneia sudah bertahun-tahun menghadapi konflik perbatasan dengan China. Bahkan Natuna juga telah diklaim oleh China sebagai wilayahnya (masuk nine-dash line, Taiwan).
Temuan Ucu Cahyana dan Erfan Handoko berdampak amat luas bagi kemaslahatan, kesejahteraan dan kedamaian umat manusia. Semoga ikhtiar Bung Karno ketika meletakkan prasastinya di Gedung Daksinapati di Kampus UNJ sebagi pusat ”the city of intellect” hampir tujuh dekade silam kelak akan terwujud. Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.
Penulis adalah Profesor Tamu di Asia Center, Harvard University 2006, Dewan Pakar KKSS