Kolom Bachtiar Adnan Kusuma
Sepuluh hari terakhir menjelang Idul Fitri 1446 H, berbagai media sosial dan TV ramai memberitakan tentang THR. Misalnya saja, penulis menguntip pernyataan Walikota Makassar Munafri Arifuddin, yang akan memberi sanksi tegas pada lurah Tamarunang Makassar yang meminta THR ke masyarakat. Di Tangsel misalnya ada ormas yang memalak perusahaan meminta THR.
Pertanyaannya, apakah sebenarnya THR? Tunjangan Hari Raya ( THR ) adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan pemberi kerja kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan di Indonesia. THR ini wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Sebutlah misal THR menjelang Idul Fitri 1446 H.
Benarkah THR ini memiliki alas hukum yang jelas? Pemerintah telah menetapkan dasar hukum THR melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja, Buruh di Perusahaan. Peraturan ini terdiri dari 13 pasal dan mulai diberlakukan saat diundangkan, pada tanggal 8 Maret 2016. Nah, dalam Pasal 3 angka 2 Permenaker 6/2016 disebutkan bahwa pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja satu bulan diberikan secara proporsional sesuai masa kerja. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang menetapkan bahwa pekerja atau buruh yang berhak mendapatkan THR adalah yang memiliki masa kerja minimal tiga bulan.
Lalu, posisi Ormas dan Lurah atau pejabat ASN yang meminta THR kepada warga masyarakat atau perusahaan adalah sesungguhnya perilaku hedonistik yang menerjemahkan Ramadan di luar logika yang sesungguhnya.
Perilaku meminta THR bagi aparat pejabat atau pimpinan Ormas adalah perilaku yang menghianati profesi dan janji suci Ramadan yang telah mengajarkan pentingnya hidup sederhana, apa adanya dan memenuhi hasrat hidup yang islami, meminta sesuai hak dan memenuhi sesuai kewajiban.
Bukankah pejabat ASN telah memeroleh double gaji dari Negara. Dan, bagi Ormas atau oknum yang meminta THR kepada perusahaan atau pejabat atau pengusaha adalah perilaku gaya hidup mewah yang telah menghianati ajaran bulan suci Ramadan.
Penulis, mengajak pembaca agar menjaga marwah dan kesucian bulan Ramadan dengan ” Berdamai dengan THR”. Maksud penulis, menahan diri dari gaya hidup mewah atau hedonistik, memperkaya diri dengan mengorbankan orang lain.
Penulis sengaja menahan diri agar tidak bertemu klien penulis, pejabat dan pengusaha agar tidak terjebab dalam pusaran ” Berkunjung ujung-ujungnya seolah ada maksud di balik THR”.
Berdamailah dengan THR. Apalah arti THR, tapi menciderai kesucian bulan Ramadan. Ayo tahan diri, tanpa THR Idul Fitri tetap kita rayakan dengan suka cita…
Penulis, Tokoh Literasi Indonesia