Kolom Zaenal Abidin
Senin pagi (21 Oktober 2024), setelah malamnya Presiden Prabowo Subianto mengumumkan susunan kabinetnya, tetangga saya mengabari bahwa Pak Budi Gunadi Sadikin atau yang sering disapa BGS ditunjuk kembali menjadi Menteri Kesehatan. Secara kebetulan malamnya saya tidak menonton TV karena ngantuk.
Tetangga berkata, “Pak dokter, BGS jadi Menkes lagi. Bagaimana menurut pak dokter?” Sebetulnya saya malas ngobrolin BGS, tapi karena ditanya jadi saya respon bertanya balik. Saya tanya bali, apa maksudnya pertanyaanya? Maksudnya, “apa masih ada harapan?”, jawabnya.. Lalu, saya katakan, bahwa banyak teman saya dokter dan insan kesehatan lainnya tidak lagi menaruh harapan kepada BGS.
Mereka bertanya lagi, menurut dokter mengapa tidak menaruh harapan? Saya sampaikan bahwa kalau saya ada beberapa alasan untuk tidak menaruh harapan, antara lain: Pertama, BGS telah gagal mencapai target program kerja Presiden yang dicanangkan melalui RPJMN 2020-2024 ( www.katadata.co.id, 5 Juni 2023); Kedua, tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan.
Ketiga, BGS alfa memaksimalkan promosi kesehatan dan pengegahan penyakit (menular dan tidak menular) di tingkat masyarakat. Padahal promosi dan pencegahan di masyarakat sebelum jatuh sakit jauh lebih bermartabat dan lebih berbiaya murah. Pola yang dikembangkan adalah menunggu masyarakat sakit baru diurus dan dirawat di rumah sakit.
Keempat, BGS hanya fokus membangun rumah rumah sakit mewah dan membeli alat kesehatan kemudian dikirim ke Puskesmas tanpa sebelumnya memastikan apakah tenaga kesehatan yang mampu menggunakannya.
Kelima, BGS terlalu sibuk mengurus pendidikan kedokteran, utamanya pendidikan dokter spesialis, padalah pendidikan kedokteran itu merupakan ranah kementerian pendidikan. Bukan ranah kementerian kesehatan. Urusan kementerian kesehatan adalah mendayagunakan setelah mereka sudah lulus menjadi dokter dan dokter spesialis.
Keenam, BGS tidak mengembangkan gaya kepemimpinan terbuka-dialogis, kolaboratif, dan memberdayakan. Gaya kepempimpinan yang dikembangkan adalah merendahkan insan kesehatan (asfala saafiliin, meminjam istilah dokter bedah senior dr. H. Nazrial Nazar, Sp.B, FINACS, K-Trauma, MH.Kes), memusuhi orang yang berbeda pendapat, dan memecah belah, bahkan memfitnah IDI.
Gaya kepemimpinan semacam ini tentu sangat berbahaya untuk diterapkan di bidang kesehatan. Sebab insan kesehatan memegang teguh kesejawatan. Juga, akan membuat insan kesehatan dan organisasi profesi kesehatan yang selama ini membersamai pemerintah dalam memikirkan, mendidik tenaga kesehatan, dan melayani kesehatan masyarakat menjadi jengkel, memilih diam, dan menarik diri.
Keburukan lain gaya kepemimpinan yang diterapkan akan membuat masyarakat tidak percaya kepada insan-insan kesehatan bangsanya sendiri. Selama ini, menteri kesehatan yang ditunjukan oleh Presiden selalu mengajak insan profesi kesehatan milik bangsa sendiri untuk berkolaborasi guna bersama-sama menyehatkan rakyat. Karena itu, menteri kesehatn sebelumnya selalu berupaya memberdayakan profesi kesehatan agar makin kompeten. Berbeda dengan BGS, malah merendahkan insan kesehatan bangsanya, dan memilih berwacana mengimpor atau natulralisasi dokter asing. Pertanyaanya, mana ada orang asing masuk bekerja ke dalam suatu negara sekadar untuk misi kemanusiaan tanpa berburu keutungan?
Dan, juga perlu diiketahui, sekuat, sepandai, dan sebanyak apa pun dana yang dimiliki pemerintah pasti tidak akan mampu menyehatkan rakyat sendirian. Apalagi insan-insan dan profesi kesehatan berbangsa Indonesia telah memiliki keilmuan dan keterampilan yang sangat spesifik sesuai kebutuah kesehatan Indonesia. Bukan hanya itu, insan kesehatan Indonesia telah teruji kesetiaannya kapada negara, bangsa, dan rakyat sendiri, sehingga tidak mungkin dapat digantikan oleh insan kesehatan dari mana pun, termasuk yang diimpor dari luar negeri.
Itulah sebabnya ketika tetangga saya menanyakan apakah saya masih menaruh harapan? Saya lebih cenderung menjawab sebagaimana pandangan sejawat saya dan insan kesehatan lain, bahwa saya tidak menaruh harapan. Anak Makassar bilang, “tenami harapang, Daeng”. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Doter Indonesia, periode 2012-2015