Demokrasi vs Dinasti Politik

0
268
- Advertisement -

Kolom Muchlis Patahna

Menurut Aristoteles demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Ia berpendapat bahwa dalam demokrasi setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan politik.

Sementara ciri negara demokrasi dalam pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga lembaga/institusi yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya, yaitu legislatif, pemegang kekuasaan untuk membuat undang – undang , eksekutif kekuasaan dalam melaksanakan undang – undang, dan yudikatif kekuasaan untuk mengadili melaksanakan undang – undang.
Selanjutnya demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.

Dinasti Politik

Dinasti politik adalah berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan generasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang marriage system dalam menimbang prestasi. Bisa juga disebut neopatrimonial lama tapi dengan strategi baru. “Dulu pewarisaan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural “. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dinasti Politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini diberbagai Pilkada dan Pemilu Legislatif maka rekrutment dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet.

Jika kuasa dinasti di setiap daerah bertambah maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber – sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

- Advertisement -

Pada gilirannya dinasti politik merusak negara dan harus dihentikan karena :
Kesatu; menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

Kedua; sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

Ketiga; sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme .

Undang – undang Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota, melarang dinasti politik. Pasal 7 huruf R berbunyi calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana artinya hubungan darah ikatan perkawinan, atau garis keturunan tingkat lurus keatas, kebawah, maupun samping dengan petahana. Ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak dan menantu. Baru dapat mencalonkan diri jika melewati satu kali masa jabatan namun larangan ini dihapus oleh Makamah Konstitusi melalui putusan Nomor 33/PUU-VIII/2015.

Contoh Dinasti

Berikut ini beberapa contoh dinasti politik di daerah Rokan Hilir Riau.

Bupati Kabupaten Rokan Hilir Riau periode 2020 – 2024; Afrizal Sintong berhasil membuat dinasti politik.
1. Naladia, anaknya terpilih sebagai anggota dewan provinsi riau 2024-2029
2. ⁠Ilhami, adiknya terpilih sebagai anggota dewan kab rohil 2024-2029 dan terpilih sebagai ketua dprd rohil 2024-2029
3. ⁠Otib, adiknya terpilih sebagai anggota dewan kab rohil 2024-2029
4. ⁠ Maharani, adiknya terpilih sebagai anggota DPR RI 2024-2029 Dapil Riau 1
5. ⁠Imelda, Adiknya diangkat sebagai Plt. Camat, yang sebelumnya guru SD
6. ⁠Sanimar, Istrinya akan diangkat sebagai Kadisdik Kabupaten Rohil.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa dinasti politik sudah menasional di berbagai daerah dan sudah tersebar di Nusantara dan lebih banyak mudarat dari pada manfaatnya untuk kepentingan kemakmuran rakyat dan pembangunan bangsa dan negara.

Karena itu, perlu pemikiran yang jernih bagaimana menata dan melarang kembali dinasti politik melalui undang – undang.

Penulis adalah Ketua Umum KKSS, pemerhati sosial politik dan hukum

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here