Kolom Imam Shamsi Ali
Ada satu hal mendasar yang terkadang dilupakan atau dipandang enteng bagi sebagian dalam perjuangan “li i’laa Kalimatillah” dan dalam upaya “li izzatil Islam”. Dan hal ini ternyata menjadi penentu wajah akhir dari perjuangan itu sendiri.
Hal mendasar yang saya maksudkan adalah nilai-nilai dasar akhlakul karimah dalam proses perjuangan itu. Bagaimanapun Islam yang diperjuangkan itu pada dirinya (dzatnya) adalah akhlakul karimah.
Inilah yang tersimpulkan dalam sabda baginda Rasul: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah”. Statemen ini seolah sebuah kesimpulan dari misi Rasulullah SAW. Yaitu untuk menyempurnakan prilaku mulia manusia itu.
Dalam upaya perjuangan kita, khususnya di bidang Dakwah, nilai akhlak kemudian menjadi salah satu dasarnya. Hal itu untuk menghindari terjadinya “self paradox” dalam kerja Dakwah itu. Di satu sisi menyampaikan “khaer” dan “ma’ruf” (nilai-nilai kebaikan). Tapi di sisi lain disampaikan dengan cara yang tidak ma’ruf, bahkan antitesis dari kebaikan itu.
Islam itu kejujuran. Wajarkah disampaikan dengan cara yang tidak jujur? Islam itu rendah hati. Wajarkah disampaikan dengan cara-cara keangkuhan? Islam itu ramah dan santun. Wajarkah disampaikan dengan cara yang kasar dan sangar? Islam itu kebaikan. Wajarkah disampaikan dengan cara yang buruk?
Demikian seterusnya. Antara substansi agama dan metode penyampaiannya harus tetap sejalan. Jika tidak, disitulah kemudian seringkali substansi Islam disalah pahami karena metode penyampaian yang tidak sejalan dengan nilai-nilai dan substansi Islam itu sendiri.
Urgensi ijtihad baru
Terlepas dari menghangatnya diskusi tentang konversi Hagia Sophia dari sebuah musium menjadi sebuah masjid, saya ingin mengajak kita untuk mencoba kembali memikirkan tentang beberapa argumentasi yang dipakai oleh sebagian untuk membenarkan konversi rumah ibadah orang lain menjadi masjid.
Pembicaraan kali ini tentunya lebih spesifik pada konteks rumah ibadah dalam peperangan. Apakah rumah ibadah orang lain dapat dijadikan sebagai “ghanimah” (harta rampasan)?
Sejujurnya saya masih terus mwmikirkan tentang hal itu. Dan itu kemudian membawa saya kepada sebuah pemikiran bahwa barangkali memang masanya Umat ini untuk melihat kembali berbagai pendapat atau ijitihaf “fiqhiyah” yang berkaitan dengan hal ini.
Apalagi dalam konteks di mana terjadi perubahan mendasar dan substantif dalam dunia kita. Termasuk di dalamnya isu perang, harta rampasan dan kebebasan beragama, termasuk jaminan rumah ibadah orang lain.
Kembali saya ambil Hagia Sophia sebagai misal. Saya dalam beberapa hari ini banyak mendengarkan argumentasi sebagai justifikasi pengubahannya. Minimal saat ini ada dua argumentasi yang paling viral membenarkan konversi itu.
Pertama, bahwa setelah menaklukkan Konstantinopel Sultan Al-Fatih Mehmed II membeli gedung gereja itu dari masyarakat Kristiani Yunani dengan uang pribadinya, lalu beliau mewakafkannya kepada masyarakat Muslim untuk dijadikan masjid. Masjid inilah yang kemudian dikenal dengan nama Aaya Mosque.
Pembelian tersebut mengindikasikan bahwa gereja itu tidak masuk dari bagian harta rampasan perang. Sebab kalau menjadi bagian dari harta rampasan, kenapa harus dibeli lagi?
Kedua, bahwa gedung gereja itu memang menjadi bagian dari harta rampasan perang dari kekalahan pasukan Byzantium melawan pasukan Ottoman Empire di bawah komando Al-Fatih tersebut.
Artinya gedung gereja itu memang sah saja dikonversi menjadi masjid karena sudah terjatuh ke tangan warga Muslim yang menaklukkan warga Kristen Bizantium saat itu.
Adapun argumentasi mengenai penjagaan rumah-rumah ibadah pada saat penaklukkan di masa khulafa Rasyidin, bagi mereka itu hanya terjadi ketika ada perjanjian atau treaty antara penakluk dan yang ditaklukkan.
Dengan Treaty inilah Umat non Muslim yang tertaklukkan itu kemudian memiliki status “dzimmi” yang dijamin hak-haknya, termasuk hak agama dan ibadah. Tentu termasuk penjagaan rumah ibadah mereka.
Isu pembelian oleh Al-Fatih
Sekali lagi saya tidak bermaksud mempermasalahkan konversi gedung Hagia Sophia menjadi masjid. Pertama karena itu hak legal pemerintah Turki untuk mempergunakan gedung atau properti yang berada di bawah otoritasnya. Yang tentunya ada kebutuhan mendesak untuk itu.
Yang dipertanyakan kemudian adalah benarkah bahwa gedung itu pernah dibeli oleh sang penakluk Al-Fatih? Atau itu sebuah klaim yang memerlukan pembuktian?
Yang pasti adalah bahwa dokumen yang diperlihatkan saat ini oleh banyak kalangan dicurigai sebagai surat wakaf dan bukan akta pembelian gedung. Sehingga klaim bahwa gedung itu memang dibeli oleh Al-Fatih adalah klaim yang belum pasti.
Di sini ada nilai akhlak yang boleh jadi kurang dihargai. Yaitu pentingnya membangun kejujuran dalam menyampaikan sebuah argumentasi tentang sebuah hal. Dan Islam adalah “as-Sidqu” (kejujuran) dan menjunjung kejujuran.
Rumah Ibadah Sebagai Harta Rampasan?
Argumentasi kedua yang disampaikan adalah bahwa secara Syar’i selama tidak ada perjanjian atau treaty dengan pihak yang tertaklukkan, dibenarkan mengambil rumah ibadah mereka sebagai bagian dari harta rampasan perang.
Terlepas dari kasus Hagia Sophia, Saya justeru melihat argumentasi ini dilemmatik pada dirinya. Hal itu karena nampak ada kontradiksi atau paradoks dengan posisi dasar Islam ketika bersentuhan dengan isu agama orang lain.
Saya ingin sekali lagi menuliskan kembali minimal dua posisi dasar Islam dalam menyikapi agama-agama lain, termasuk dalam situasi peperangan.
Pertama, posisi dasar Islam “laa ikraaha” (tiada paksaan) dalam beragama. Ayat tentang hal ini menjadi salah satu ayat termayshur ketika kita berbicara tentang jaminan “freedom of religion”. Konsep ini bahkan berlaku dalam peperangan. Bahwa ketika terjadi penaklukkan, penduduk negeri yang ditaklukkan tidak dapat dipaksa untuk memeluk agama Islam.
Mungkin kita masih ingat bahwa ketika Rasulullah SAW menaklukkan Mekah beliau justeru memberikan “general amnesty” atau memberikan pemaafan publik dengan memberikan kebebasan kepada semua penduduk Mekah untuk tetap mengimani keyakian mereka.
Larangan pemaksaan memeluk Islam bagi pemeluk agama lain, tentu berarti memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengimani dan menjalankan agama (ibadah) sesuai keyakinan mereka. Maka logikanya jika mereka bebas menjalankan agamanya, maka rumah ibadah mereka juga termasuk dalam bagian yang dijamin eksistensinya.
Kedua, dalam Al-Quran Surah Al-Hajj ayat 40 disebutkan bahwa dalam peperangan sekalipun rumah ibadah apapun dilarang untuk dirusak. Pelarangan merusak rumah ibadah ini tentunya juga berarti pelarangan mengambil alih rumah ibadah orang lain.
Dan karenanya dapat dipastikan bahwa berdasarkan ayat ini dan konsep kebebasan beragama di atas, pengambil alihan rumah ibadah orang lain untuk dijadikan masjid tidak dibenarkan.
Posisi dasar Islam inilah yang dipraktekkan oleh para pejuang Islam di masa awal Islam, termasuk Khulafa Rasyidin. Kita ambil misalnya bagaimana Umar yang kita kenal keras itu. Tapi di negeri-negeri yang ditaklukkan pada masanya rumah-rumah ibadah tetap menjadi milik umat lain (baca Kristiani Roma) tersebut.
Pada akhirnya saya ingin menekankan lagi bahwa situasi dunia di mana kita hidup saat ini sangat berbeda dari masa-masa lalu. Dengan Deklarasi Universal PBB di tahun 1948 tentang Hak-Hak Dasar Manusia, termasuk di dalamnya Kebebasan Beragama (Religious Freedom), mau atau tidak, suka atau tidak, ijtihad-ijtihad agama yang tidak sesuai perlu untuk ditinjau kembali.
Jangan salah pahami saya. Pada kasus harta rampasan dan rumah ibadah, tidak ada ayat maupun hadits yang perlu ditinjau (wal-Iyadzu billah). Yang ada adalah melihat kembali pemahaman dan juga praktek agama dalam hal ini di masa lalu.
Mungkin satu contoh yang sama adalah kasus tahanan wanita dalam peperangan. Di masa lalu wanita yang ditangkap dalam peperangan bisa dijadikan budak dengan segala isu terkait. Saya yakin semua setuju bahwa hal ini tidak lagi dapat diterima dalam dunia kita saat ini.
Sama halnya dengan pengambil alihan rumah ibadah orang lain sebagai bagian dari harta rampasan tadi. Selain nampak tidak sejalan dengan posisi dasar Islam, juga karena adanya tatanan dunia yang sangat berbeda.
Selain itu mari kita ingat, saat ini banyak negeri atau daerah Muslim yang sedang berada di bawah kekuasaan non Muslim. Anggaplah Palestina dan Kashmir. Tentu kita tidak ingin bahwa karena mereka merasa berkuasa lalu mwngambil alih masjid-masjid menjadi rumah ibadah mereka.
Ingat pula, bahwa kebijakan di sebauh tempat atau negeri bisa berimbas atau berdampak pada tempat atau negeri yang lain. Dunia kita saat adalah dunia yang saling terikat, dan saling berdampak.
Kita akui memang pernah dan masih ada yang melakukan itu. Siapa yang tidak ingat masjid-masjid megah di Spanyol yang dirubah menjadi gereja atau night club? Bahkan beberapa tahun lalu masjid bersejarah, Baabri, di India dirubuhkan untuk mereka bangun rumah ibadah Hindu di atas tanah itu.
Tapi harapan kita lingkaran kejahatan dan pelanggaran ini harus diputus olehkita dengan menghentikan melakukan hal yang sama. Ibaratnya untuk menghentikan virus korona maka perlu dihentikan pergerakan kejahatan (mengambil rumah ibadah orang lain) itu.
Di atas semua itu jangan pernah lupa “moral ground” agama ini dalam segala hal yang kita lakukan. Akhlakul karimah bukan sekedar sebuah konsep yang dibanggakan. Tapi harusnya dilaksanakan, apapun konsekwensinya.
Dengan akhlakul karimah inilah Umat Islam di negara-negara mayoritas non Muslim banyak mengkonversi gereja-gereja menjadi masjid-masjid. Ratusan bahkan ribuan gereja dan rumah ibadah lainnya telah terkonversi menjadi masjid-masjid.
Karena ternyata memang akhlakul karimah itu sebuah kekuatan yang jauh lebih dahsyat dari sekedar letupan atau luapan emosi sesaat. Apalagi jika emosi itu hanya bagian dari impian sejarah dan kegemilangan masa lalu.
Masanya bangkit. Bangkit dengan nilai ajaran mulia, al-akhlaq al-karimah kita. Insya Allah!
New York, 15 Juli 2020
* Presiden Nusantara Foundationikirim dari Yahoo Mail di Android