Kolom Hafid Abbas
Sejak dua dekade terakhir, cara pandang masyarakat Barat, ilmuwan, dan para pengamat politik internasional, isu radikalisme dan ekstrimisme seringkali dikaitkan dengan umat Islam. Cara pandang itu kelihatannya dipengaruhi oleh kebijakan Presiden Bush yang memberlakukan politik luar negerinya yang “hitam-putih” pasca tragedi 11 September 2001 yang telah merubuhkan dua Menara Kembar New York, kebanggaan AS. Ketika mencanangkan kampanye gerakan anti-terrorisme, Bush menyatakan: “setiap bangsa di semua kawasan di mana pun, sudah saatnya kalian membuat keputusan. Apakah anda akan bersama kami, ataukah anda akan bersama dengan para teroris.”
Bahkan, pada peluncuran Bush National Security Strategy pada September 2002, Bush kembali lagi menegaskan: we will not hesitate to act alone if necessary to exercise our right of self defense by acting preemptively against such terrorists, to prevent them from doing harm against our people and our country we will not hesitate to act alone if necessary to exercise our right of self defense by acting preemptively against such terrorists, to prevent them from doing harm against our people and our country”Kami tidak akan pernah ragu bergerak sendiri menyerang, melakukan langkah preemptif (pre-emptive strike) di mana pun jika terdapat ancaman teroris atas keselamatan bangsa dan negara kami.”
Sejak itu, dunia Islam seringkali menjadi sasaran dan dituduh sebagai sumber paham radikalisme dan terorisme. Invasi AS bersama sekutunya di Afghanistan pada Oktober 2001 untuk menjatuhkan rezim Taliban yang dianggap pendukung Al-Qaedah yang dituduh sebagai eksekutor tragedi 9/11, seakan telah mendapat pembenaran masyarakat internasional. Demikian juga ketika hal serupa dilakukan untuk menginvsi Iraq dan kemudian menggulingkan Presiden Saddam Husen. Lalu ini berlanjut ke penyerangan Libya untuk menjatuhkan Presiden Moammar Khadafi.
Keperkasaan AS bersama sekutunya menyerang dunia Islam telah dipertontonkan setiap hari selama dua dekade. Peradaban dunia Islam telah meredup, citranya hancur dan sudah tidak terhitung kerugian dan pengorbanan jiwa, harta benda yang dialami umat Islam di seluruh dunia akibat kesuksesan gerakan global memerangi isu radikaslime itu.
Indonesia, sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia, juga adalah bagian pendukung dari gerakan global itu.
Dampak Polarisasi
Dalam perjalanan panjang yang penuh luka selama dua dekade, salah satu dampak dari perang melawan radikalisme dan terorisme, umumnya negara-negara di dunia berlomba-lomba meningkatkan anggaran persenjataannya. Anggaran pertahanan AS misalnya, pada 2007, telah meningkat ke sekitar $621,1 miliar per tahun. Bahkan berbagai kalangan memperkirakan untuk kepentingan perang di Iraq dan Afghanistan saja, jumlah anggaran yang dihabiskan diperkirakan mencapai $3 triliun (The Times, 23/2/2008).
Demikian pula China dan negara-negara berkemabng lainnya telah melakukan hal serupa dengan AS. Pada 2007, anggaran pertahanan China mencapai $59 miliar, tetapi Pentagon memperkirakan anggarannya berkisar $97 hingga $139 miliar setahun, kedua terbesar di dunia setelah AS (BBCNews, 4/3/2008). Pakistan, India, negara-negara Timur Tengah, dan Afrika juga mengalokasikan anggaranya di bidang persenjataan sangat besar sementara untuk kemanusiaan seperti pendidikan menurun amat drastis. Pakistan misalnya telah meningkatkan anggaran militernya rata-rata lebih 30 persen, sementara untuk pendidikan hanya satu persen (UNICEF, 2002).
Akibat perlombaan peningkatan anggaran persenjataan itu, konflik di Timur Tengah, di sejumlah negara Afrika dan di Asia Selatan terlihat semakin meluas dan angka kemiskinannya semakin meningkat. Bahkan Bank Dunia melaporkan (2021), sejak 2000 hingga 2020, di 49 negara-negara Afrika, hanya 17 di antaranya yang angka kemiskinannya menurun, meski kesenjangan sosialnya semakin meningkat. Penyebabnya adalah meningkatnya prioritas mereka pada belanja persenjataan dan kurangnya prioritas pada pembangunan sumberdaya manusianya, terutama pendidikan.
Dampak lain dari polarisasi itu, umumnya negara-negera yang telah memilih jalan demokrasi terlihat bergerak mundur ke corak pemerintahan otoriter. Data Democracy Index 2006-2020 memperlihatkan penurunan di 163 negara di dunia, menurun dari skor 5,52 pada 2006 ke 5,37 pada 2020. Penurunan dan skor tersendah terlihat di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dengan hanya 3,34. Indonesia juga menurun dari 6,41 ke 6,30.
Inkonsistensi Barat
AS dan dunia Barat seringkali mengecam Indonesia ketika di era Orde Baru memiliki sejumlah undang-undang dan peraturan yang dinilai sangat opressif yang menghilangkan kebebasan warganya mengemukakan pendapat dan bertentangan dengan prinsip HAM. Pasca berakhirnya era Orde Baru, undang-undang seperti itu telah dibatalkan, karena sejak 1998, Indonesia telah memilih jalan demokrasi. Meski, undang-undang seperti ini masih dipakai secara meluas di Singapura, Malaysia dan Negara-negara tetangga lainnya.
Ketika AS tengah menggalang koalisi global memerangi terrorisme, Indonesia kembali lagi menghadapi tekanan agar kembali ke sistem lama dengan alasan untuk memerangi terorisme. Sebagai Direktur Jenderal HAM di Kementerian Kehakiman dan HAM RI waktu itu, kami merasakan betapa kuatnya godaan dan tekanan Pemerintah AS agar Indonesia kembali lagi ke era otoritarian. Ketika mendampingi Menteri Kehakiman dan HAM RI, Yusril Ihza Mahendra, pada pertemuannya dengan Jaksa Agung AS, John David Ashcrof di awal 2003, di Washington, dikemukakan jika Indonesia kembali memberlakuan peraturan perundang-undangan yang opressif, maka Indonesia akan membunuh proses demokratisasinya sendiri (suicide of a democracy).
Inilah wujud nyata inkonsistensi dan sikap “pling-plang” dunia Barat demi pemenuhan kepentingannya.
Beragam Penyelasan dan Motif Invasi Iraq
Pada 25 Oktober 2015, CNN mempublikasikan wawancara Fareed Zakaria dengan Tony Blair yang mengungkapkan penyesalan dan permohonan maafnya atas invasi AS bersama sekutunya di Iraq, dengan menyatakan: “saya menyampaikan permohonan maaf atas fakta bahwa kami telah menerima laporan intelegen yang salah atas tuduhan bahwa Iraq telah menggunakan senjata kimia secara ekstensif untuk menyerang penduduknya sendiri dan menyerang pihak lain. Dugaan kami itu ternyata tidak benar. Saya juga mohon maaf atas berbagai kesalahan dalam perencanaan, dan terutama atas kesalahan perkiraan kami atas apa yang akan terjadi setelah menjatuhkan rezim Saddam Hussein.”
Penyesalan dan permohonan maaf serupa juga telah diungkapkan oleh Presiden Barack Obama lewat wawancaranya dengan Fox News, 10 April 2016. Ia menyatakan bahwa: “AS amat menyesal dan sebagai Presiden, inilah kesalahan terbesar (worse mistake) yang telah saya lakukan dalam masa pemerintahan saya, menyerang Libya dan menggulingkan Presiden Muammar Khadafi tanpa perencanaan yang tepat pasca penyerangan itu. Akibatnya Libya benar-benar kheos dan secara berlanjut masuk ke dalam ancaman kekerasan para ekstrimis.”
Pengakuan lain yang juga telah menyentakkan kesadaran masyarakat internasional yakni ketika Donald Trump pada pidato kampanyenya di Florida, 11 Agustus 2016, menyampaikan bahwa Obama dan Hillary, keduanya adalah pendidri Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS (The Guardian, 11/8/2016). Ini dilakukan untuk memecah belah dan mengadu domba dunia Islam.
Iraq yang berpenduduk 33 juta (2016), namun menghasilkan 5,3 juta barel minyak setiap hari (2017) dan diperkirakan produksinya akan meningkat ke 8 juta barel sehari pada 2027 (Reuter, 10/8/2021). Namun kekayaan alam itu terlihat tidak memberi manfaat optimal bagi warganya. Sebelum invasi AS dan sekutunya ke Iraq, produksi minyaknya yang melimpah itu diatur sendiri oleh negaranya dengan tidak memperbolehkan ada kerjasama dengan perusahaan minyak AS dan Barat. Barulah setelah invasi, Presiden Bush menekan pemerintah Iraq untuk menyetujui pemberlakuan undang-undang yang memperbolehkan perusahaan minyak asing beroperasi di Iraq (CNN, 15/04/2013).
Dalam ulasan CNN itu, terlihat motif perang di Iraq, sesungguhnya, adalah untuk menguasai minyaknya.
Jika Iraq akan menghasilkan 8 juta barel minyak sehari dalam waktu dekat, bandingkan dengan keadaan Indonesia yang penduduknya berjumlah sekitar 272 juta jiwa, hanya menghasilkan sekitar 420 ribu barel per hari (Jakarta Globe, 11/12/2020).
Prof. Hafid Abbas, Komisioner dan Ketua Komnas HAM RI 2012-2017, Presiden Global Alliance of National Human Rights Institution (GANHRI) di Asia Tenggara 2014-2015 dan Dewan Pakar KKSS.