PINISI.co.id– Mencuatnya masalah antara pembukaan sekolah pada Tahun Ajaran Baru 2020 dan Kebijakan Kehidupan Normal Baru yang akan diterapkan memunculkan tanggapan dari berbagai pemerhati dan praktisi pendidikan. Karena itu, pemerintah wajib untuk memastikan dan mengedapankan perlindungan anak dalam skenario kebijakan tepat dan tindakan yang rinci serta serius, dengan sumberdaya dan biaya ekstra dan dengan tindakan yang matang tanpa toleransi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi virtual yang berlangsung Sabtu (6/6/20), dengan tema: “Paradoks Antara Pembukaan Tahun Ajaran dan Kehidupan Normal Baru.” Host diskusi adalah Syarifuddin Syaris dan dipandu Andi Mukramin Yusuf ini atas kolaborasi Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), Literasi Sehat Indonesia (Lisan) bersama Departemen Kesehatan Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPP-KKSS).
Adapun nara sumbernya adalah Ketua Umum PGRI Prof. Dr. Unifa Rosyidi, M.Pd., Dr. dr. Aidah Juliaty A. Baso, Sp.A (K), dari Ilmu Kesehatan Anak FK. Universitas Hasanuddin, pakar Kesehatan Masyarakat/Dekan FKM Unhas Dr. Aminuddin Syam, S.KM., M.Kes., serta M.Med.Ed Dr. Seto Mulyadi, S.Psi, M.Si yang lebih dikenal dengan sapaan Kak Seto, seorang psikolog dan Ketua Lembaga Perlidungan Anak Indonesia.
Dalam pengantar singkatnya, Ketua Departemen Kesehatan Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPP-KKSS) dr. Zaenal Abidin mengutarakan, dalam Ilmu Kesehatan Masyarakat forum saling berbagi ilmu dan nasihat semacam ini lebih populer dengan istilah promosi kesehatan, target sasarannya ada tiga kelompok yaitu individu dengan harapan terjadi perbaikan untuk diri sendiri. Kemudian tokoh masyarakat dengan sasaran untuk diri dan teladan bagi orang lain serta pejabat publik; selain untuk diri sendiri, juga teladan bagi orang lain, dan untuk membuat kebijakan publik yang tepat dan benar.
Lebih jauh Zaenal mengatakan, persoalan anak, anak sekolah dan dan pembukaan tahun ajaran baru ini perlu mendapatkan perhatian khusus. “Saya teringat pesan guru, ketika masih Sekolah Kedokteran dan belajar Ilmu Kesehatan Anak. Guru saya selalu mewanti-wanti, agar harus mengingat, tubuh dan jiwa anak bukan orang dewasa dalam ukuran mini. Sebab itu, hendaklah kalian berhati-hati bila menangani anak dan merawat pasien anak.
Apalagi beberapa waktu lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengungkapkan, hingga 18 Mei, jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 3.324 anak, 129 anak berstatus PDP meninggal, positif Covid-19 pada anak sebanyak 584 kasus, dan 14 kematian anak dari kasus positif Covid-19.
“Jika data IDAI itu benar adanya, tentu seharusnya menjadi peringatan keras kepada pemerintah untuk menjadikan perlindungan anak sebagai pertimbangan utama dibanding pertimbangan lain-lain dan alasan lain-lain. Di televisi (3/6/20), saya sempat nonton Ketua IDAI mengatakan, “Bagi kami satu anak meninggal itu, tidak boleh,” sahut Zaenal,
Menurut Zaenal, intervensi dan perlindungan anak seharusnya berbasis kebijakan perlindungan khusus. Yakni demi kepentingan terbaik bagi anak, dan perlindungan khusus hak kesehatan serta hak kelangsungan hidup, dan hak hidup anak, yang merupakan hak utama yang tidak boleh dikurangi, yang dijamin konstitusi Pasal 28B ayat 2 UUD 1945, UU 35 Tahun 2014 Jo.UU 23 Tahun 2002, juga Konvensi PBB tentang Hak Anak (UN’s Convention on the Right of the Child) yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 1990.
“Kami tahu bahwa banyak anak-anak kita sudah bosan tinggal di rumah dan jenuh belajar di rumah. Banyak yang sangat ingin kembali ke sekolah seperti sedia kala, kangen berkumpul dengan teman sekolahnya. Namun, jika tanpa kepastian akan jaminan dan perlindungan dari risiko Covid-19, maka seharusnya pemerintah menghindari pembuatan kebijakan yang berisiko pada anak sekolah. Apalagi tidak ada jaminan anak-anak tidak berkerumun, yang dapat menjadi sebab terjadinya penularan di sekolah,” jelas mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia ini.
Seandainya, kata Zaenal, terjadi penularan di sekolah (semoga saja tidak terjadi). Ada hal kurang baik di masyarakat kita dan itu yang sering kami khawatirkan, yakni tertumpahnya kesalahan itu kepada pihak sekolah, guru, atau bahakan kepada orang tua dan anak sekolah sendiri. Masyarakat kita jarang sekali langsung menumpahkan kesalahan itu kepada pejabat publik yang karena kebijakannya mengakibatkan terjadinya kerugian pada dirinya (masyarakat).
Pendidikan Era New Normal
Dalam penglihatan Unifah Rosyidi,pendidikan pada era new normal harus beradaptasi dengan kebiasaan baru agar para siswa dan guru dan warga sekolah terlindung dari wabah, dan dapat belajar kembali dengan normal. Para siswa, guru, dan warga sekolah dikondisikan agar mematuhi protokol kesehatan. Karena keselamatan dan kesehatan menjadi pertimbangan utama pada era new normal. Namun, hak anak untuk memperoleh layanan pendidikan juga harus tetap terlayani. Dengan demikian, dapat membawa pendidikan kita memasuki sistem yang baru, yang intinya adalah mengubah perilaku keseharian yang mungkin baru sama sekali.
“Cara yang tepat melakukan pendidikan pada era new normal adalah siswa harus didorong untuk melakukan kebiasaan hidup bersih, seperti menggunakan masker, cuci tangan, olah raga serta makan makanan sehat dan bergizi. Social-distancing dikondisikan. Perilaku hidup bersih dan sehat sesuai protokol kesehatan. Mengatur ulang jumlah siswa per-kelas, jam istirahat, jam belajar, dan kerumunan keluar masuk sekolah. Keharusan mengajar 24 jam harus ditinjau ulang. Tata kelola Pendidikan harus diperbarui,” urai Unifah.
Untuk melakukan pendidikan era new normal,di mana saja bisa dilakukan yang penting aman, bisa di sekolah bisa juga di rumah. Pembelajaran dapat dilakukan secara online (daring), offline (luring), dan campuran daring-luring (blended learning). Dalam mewujudkan pendidikan era new normal maka perlukerjasama guru, orang tua, dan siswa sebagai “Tri pusat pendidikan”, ditambah dengan sumber belajar terbuka dan dapat di akses oleh siswa dari mana saja. Pemerintah, pemerintah daerah, kepala sekolah, pengawas adalah aktor-aktor yang sangat menentukan keberlangsungan pendidikan new normal.
Akan halnya, Aidah Juliaty A. Baso, memaparkan mayoritas anak yang terkena adalah asimtomatik atau bergejala dan tanda ringan. “Kematian anak berdasarkan usia karena kasus Covid-19 ditemukan pada usia 0-28 hari sebesar 4 persen, 29 hari – 11 bulan 29 hari sebesar 31 persen, usia 1 – 5 tahun 31 persen, usia 6 – 9 tahun 11 bulan 29 hari sebesar 7 persen dan usia 10 – 18 tahun sebesar 27 persen,” katanya.
Merujuk anjuran IDAI, Aidah Juliaty meminta agar dalam menyususun tatanan new normal, menutamakan pencegahan dan pemberantasan wabah Covid-19. Protokol kesehatan harus ketat, tentukan penentuan status infeksi dengan rapid test dan PCR, lakukan penelusuran kontak, karantina, isolasi dan pembatasan fisik
“Tatanan kehidupan normal baru disusun sesuai kebutuhan dasar tumbuh kembang dan kesehatan anak, untuk menentukan kualitas generasi bangsa di masa depan,” ucapnya.
Sementara itu, Chazali Situmorang. menjelaskan, kebijakan tahun ajaran baru dalam new normal life harus memberikan jaminan aman berupa keamanan anak-anak dan terbebas dari risiko transmisi virus di lingkungan sekolah, selain itu juga menjamin kesehatan dengan memenuhi konsumsi agar terjaga imunitas tubuh dan bagaimana aktivitas pendidikan di kehidupan normal dapat produktif sehingga dapat memenuhi target proses belajar mengajar itu harus dapat tercapai, supaya kualitas murid-murid itu tetap terjaga. “Jangan karena Covid ini menyebabkan menurunnya mutu pendidikan,”ujar Chazali.
Sebaliknya Aminuddin Syam mengemukakan, hingga saat ini belum ada kesepakatan pakar tentang perbedaan daya tahan tubuh antara anak-anak dan orang dewasa terkait dengan Covid-19. Di sisi lain Covid-19 memiliki karakteristik yaitu agresif dengan tingkat penularan antar manusia yang tinggi, pola penyebaran yang luas dan berjalan dengan cepat, dapat menempel dan bertahan hidup pada permukaan benda, risiko komplikasi dan tingkat Fatality Rate yang tinggi. Hal ini berdampak pada berbagai bidang termasuk bidang pendidikan yang tercermin dari metode pembelajaran on site menjadi on line (Study From Home)
“Belajar dari rumah memiliki banyak tantangan di antaranya guru dituntut produktif dan kreatif agar bisa menggelar kegiatan belajar mengajar secara daring sama efektifnya dengan tatap muka. Selain itu diperlukan infrastruktur teknologi yang memadai dan koneksi internet yang stabil,” kata Aminuddin.
Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto, menuturkan, hak dasar yang dimiliki anak adalah hak untuk hidup, hak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk dilindungi dan hak untuk berpartipasi. Anak-anak memiliki kesenangan untuk belajar, senang bermain, senang bergerak, senang berpeluang, senang mencoba dan kreatif, dan senang melawan. Dunia anak adalah dunia bermain sehingga jika terpaksa harus belajar di rumah saja, jangan terlepas dari nuansa gembira saat bermain.
“Kalau perlu juga melibatkan unsur R.T.-R.W. Namanya rukun tetangga, jadi harus juga rukun dalam menghadapi Covid-19 dalam berbagai kekompakan. Salah satu seksi perlindungan anak di tingkat R.T., dikenal SPARTA — Seksi Perlindungan Anak Rukun Tetangga.” usul Kak Seto,.
“Pendidikan karakter adalah inti dari pendidikan yaitu etika dan suasana penuh kasih sayang, maka stop kekerasan dalam dunia pendidikan jika terpaksa belajar di rumah. Belajar tidak harus dengan kekerasan. Kekerasan pada anak hanya akan merusak karakter anak. Impian anak adalah sekolah dan di rumah yang ramah anak. Dan hindari anak untuk menatap layar televisi dan gadget,” saran Kak Seto. [Lip]