Film Badik: Jika Berbicara, Itulah Harga yang Harus Dibayar

0
178
- Advertisement -

PINISI.co.id- Asal tahu saja, genre film drama aksi dari Makassar sudah ada cikal bakalnya sejak dulu. Dua yang terkini Sarung Tarung dan Badik (2025).

Tarung Sarung yang dirilis pada 2020 tayang di kanal digital Netflix. Kisahnya menonjolkan budaya lokal “sigajang laleng lipa” yaitu semacam duel satu lawan satu dalam sarung, khas Bugis-Makassar.

Jauh di belakang pada 1971, tiga film nasional dari Makassar yang memamerkan aksi laga dengan bumbu roman;  berlatar kultur setempat yaitu Di Ujung Badik, Sanrego dan Latando di Toraja. Pemerannya adalah aktor kawakan di zamannya seperti Dicky Zulkarnaen, Rachmat Hidayat, WD Mohtar, Mieke Wijaya. Aktor lokalnya yang gres Rahman Arge.

Film Di Ujung Badik menggambarkan situasi hidup dan mati yang ditentukan oleh kehormatan dan keputusan terakhir dalam satu sarung.

Sebaliknya pada film Badik unsur misteri dan bauran kriminal serta sedikit aroma horor menggiring penonton untuk meraba jalinan cerita. Tapi tebakan penonton meleset seperti para begundal dalam film ini yang juga saling beperasangka, siapa di antara mereka “pembunuh”.

Untuk melihat keseruan dan kejutan, silakan datang saja ke bioskop, menyaksikan tontonan yang sedikit banyak cukup menegangkan ini.

Film ini menggabungkan pertarungan dan konflik emosional dan penyelidikan misteri, dengan latar budaya yang kental dan rigid. Dikisahkan dua kakak-beradik dari daerah Bugis yaitu Badik dan Unru. Mereka dibesarkan oleh seorang ayah yang juga guru silat paling keren. Warisan nilai-nilai tradisi terutama kehormatan, kekeluargaan, dan warisan budaya adalah penjaga yang harus dipegang.

Unru memilih merantau ke kota (Makassar) untuk kuliah dan kelak akan memajukan tanah kelahirannya. Sementara Badik tetap di kampung, mengajar silat dan merawat warisan adat leluhur.

Tapi naas, Unru meninggal secara misterius saat mengikuti ospek kampus yang mengandung kekerasan. Kematian ini menyisakan luka mendalam dan menimbulkan pertanyaan; apa yang sebenarnya terjadi?

Oleh seniornya, Unru dibuli dan mengalami kekerasan hingga kematian sebagaimana kerap terjadi di berbagai kampus. Sebuah potret kelam dalam dunia pendidikan kita.

Badik kemudian pergi ke kota untuk menyelidiki kematian adiknya. Di sana dia mengendus skandal ospek.

Dalam pencariannya, Badik dibantu oleh Nur, seorang mahasiswa yang juga wartawan yang, turut curiga terhadap kematian Unru. Keduanya sepakat menyelidiki. Badik sendiri menyembunyikan identitasnya. Untungnya mereka tidak saling jatuh cinta.

Lebih dari sekadar kisah aksi, formula film ini juga menekankan kriminalisasi. Ya, hal acap terjadi di dunia kampus dengan sejumlah skandalnya kan?

Sutradara Dicky R Maland menekankan badik adalah senjata tradisional Bugis-Makassar, bukan hanya alat kekerasan, tapi simbol kehormatan, identitas, dan tanggung-jawab. Nilai-nilai seperti harga diri dan solidaritas jadi inti cerita, sebagaimana yang diucapkan Badik (Wahyudi Beksi) kepada Unru bahwa badik bukan untuk menusuk. Lebih tepatnya menikam!

Dalam babakan sejarah, badik Haji Bau pernah menikam puluhan orang hingga tewas di Makassar zaman kolonial. Tahun 1686 sang Kapten Makassar di Thailand dengan badiknya banyak memulangkan lawannya ke kuburan masing-masing hanya sekali sabet.

Mirip dengan badik bertuah Daeng Makka dalam film ini, badik Haji Bau dan Kapten Makassar juga penuh magis dan mungkin racun berbisa.

Secara umum, adegan aksi yang cukup memikat seperti tarung duel badik, investigasi kematian dan kejar-kejaran di kawasan peti kemas dengan gerak kamera yang dinamis menambah bobot film ini.

Pemain-pemain lokal penuh talenta dan meyakinkan tampak pada Ryan Hidayat, Andi Kepo, Aulia Qalbi, Putri Aminda, M. Fahrul Rozi. Lebih kuat lagi, aksen Makassar dalam bahasa pasar, membuat penonton terhubung dengan cerita film yang runtut.

Namun, sayangnya Daeng Makka yang diperankan oleh Mike Lucok sedikit keteter dalam tuturan bahasa Bugis. Ini karena lidahnya bukan melisankan bahasa ibunya. Padahal dengan bahasa Indonesia toh film ini tak kehilangan identitas.

Tentu tak diragukan peran Prisia Nasution sebagai polisi pamungkas. Lakon yang dimainkannya sungguh ciamik. Maklum, ia pernah menyabet aktris terbaik dalam film Sang Penari (2011).

Produser Eksekutif Ira Kusmira AM, mengungkapkan bahwa kolaborasi antara aktor nasional dan talenta lokal menjadi salah satu kekuatan Badik. “Film ini menyatukan drama, aksi, dan budaya dengan cara yang sangat menghibur sekaligus mengagumkan,” ujarnya.

Produser Eksekutif Ira Kusmira, mengungkapkan bahwa kolaborasi antara aktor nasional dan talenta lokal menjadi salah satu kekuatan Badik. “Film ini menyatukan drama, aksi, dan budaya dengan cara yang sangat menghibur sekaligus mengagumkan,” ujarnya.

Ah, tak usah banyak omon. Nonton ajah yuk! (Alif we Onggang)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here