FORSIMEMA-RI dan Binsar Gultom, Kritisi Hukuman Mati dengan Masa Percobaan 10 Tahun

0
70
- Advertisement -

PINISI.co.id- Guru Besar Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia (HAM), Prof Dr Binsar Gultom SH SE MH mengkritisi ketentuan pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, khususnya terkait Pasal 100 ayat (1) , (2) KUHP yang meminta Hakim untuk memutuskan hukuman mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Hal senada diamnini Syamsul Bahri Ketua Umum Forum Silaturahmi Media Mahkamah Agung Republik Indonesia ( FORSIMEMA-RI ), Jumat/3/2025) di Pengadilan Tinggi Jakarta.

Menurut Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung ( Unissula) Semarang ini, bleid ini memiliki banyak ambiguitas yang dapat menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-adilan, yakni multi-tafsir pertama.

“Dalam KUHP baru, ada klausul bahwa pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun, dengan syarat harus terpenuhi adanya penyesalan dari terdakwa dan harapan bahwa terdakwa bisa memperbaiki diri di masa depan. Jika syarat ini salah satu yang nenjadi tolak ukurnya, pastilah para terdakwa akan mengakui dipersidangan, “ya saya menyesal dan akan menjadi orang baik nanti”.

Muncul pertanyaan: Bagaimana hakim bisa memastikan bahwa seorang terdakwa sungguh benar menyesal dan bisa berubah kelakuannya dalam jangka waktu terbatas selama dalam proses persidangan?

Multi-tafsir kedua, dengan adanya pencantuman percobaan selama 10 tahun, timbul kesan bahwa terdakwa tidak perlu menjalani pidana mati, terkecuali selama masa percobaan 10 tahun terdakwa kembali melakukan perbuatan yang dapat dipidana.

- Advertisement -

Binsar Gultom menekankan, “Janganlah kiranya pernah dipaksakan mengintervensi hakim dalam membuat suatu putusan hakim. Hal ini bukan tanpa dasar, karena menurut Pasal 100 ayat (2) KUHP (baru) ditegaskan bahwa putusan pidana mati dengan percobaan 10 tahun harus “dimuat didalam putusan hakim. Prinsip ini jelas melanggar independensi hakim sebagaimana ditegaskan dalam Konstitusi UUD 1945. Bahkan pimpinan Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) sendiri dilarang keras mengintervensi para hakim Indonesia dalam hal memutus teknis pokok perkara, seperti diamanatkan Pasal 32 ayat (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 20A ayat (1) huruf (d) UU No. 11 Tahun 2011 tentang KY.

Binsar kembali menyoroti mekanisme evaluasi terhadap terpidana mati yang ditolaknya grasi terpidana oleh Presiden berdasarkan pasal 101 KUHP tersebut, mestinya pihak Pengeksekusi harus segera melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati, tanpa harus menunggu berlarut-larut hingga 10 tahun lamanya.

“Hal ini jelas selain menyiksa perasaan dan batin terpidana, juga berdampak kepada pelanggaran hak asasi manusia terhadap terdakwa tersebut,” tegas Binsar Gultom yang pernah mengadili kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok masa lalu.

Penilaian petugas Lembaga Pemasyarakatan, yang mengatakan jika perbuatan terdakwa selama 10 Tahun tidak menunjukkan sikap terpuji dan tak ada harapan untuk menjadi orang baik seperti yang di atur dalam pasal 100 ayat (6) KUHP, terpidana harus tetap menjalani pidana mati.

Masa setelah di tolak grasi nya oleh Presiden, lalu tidak di eksekusi pidana mati selama 10 Tahun, lantas berubah menjadi pidana seumur hidup.

“Kalau begitu setiap penolakan grasi dari Presiden nanti akan terbiasa di tunda hingga 10 tahun lebih, supaya status terpidana mati di jadikan seumur hidup,” katanya.

Menurut Binsar, sistem hukum seperti ini jelas akan digemari oleh calon penghuni prodeo terpidana mati mega korupsi yang kian menggurita dibumi pertiwi ini, karena sudah ada permainan yang tidak sehat secara politis. Ini sangat berbahaya.

Karena itu, dosen terbang di berbagai perguruan tinggi ini menekankan Pasal 100 hingga Pasal 101 KUHP membutuhkan kajian akademis dan kajian yuridis lebih dalam agar penerapannya tidak menimbulkan multi-tafsir, sehingga tidak menyulitkan para aparat penegak hukum dan penegak keadilan dalam melaksanakan tugasnya di lapangan.

Dari perbincangan dengan awak media, akhirnya Prof. Binsar Gultom meminta supaya “Pidana Mati ” yang di divonis Hakim seharusnya tegas, tidak boleh ada klausul “dengan masa percobaan 10 Tahun” seperti bleid dalam KUHP (Lama), cukup tertulis Pidana Mati atau pidana Seumur Hidup.

“Biarlah status perubahan pidana mati itu menjadi wewenang pihak eksekutif (pemerintah ) c/q Kementerian Hukum & HAM, bukan kewenangan yudikatif lagi,” katanya.

Dengan adanya perdebatan bleid ini, diharapkan pemerintah dan para pemangku kebijakan dapat meninjau kembali aturan dalam KUHP yang baru, sekaligus mempercepat pembentukan UU tentang Tata Cara Pelaksanaan pidana mati sebelum tanggal 2 Januari 2026 masa berlakunya secara efektif KUHP baru.

Karena itu Prof. Binsar berharap agar dalam tatacara mekanisme pelaksanaan (eksekusi) pidana mati nanti secara rigit (jelas) diatur dalam Undang-undang tersendiri seperti sudah diamanatkan pasal 102 KUHP. (Man)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here