Kolom Hafid Abbas
Pada 9-11 November 2021, Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan Forum Fakultas Ilmu Pendidikan dan Jurusan Ilmu Pendidikan (FIP-JIP) dari seluruh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di tanah air. Pertemuan ini dihadiri sekitar 400 peserta dengan tetap menerapkan standar protokol kesehatan secara ketat bagi mereka yang hadir secara tatap muka.
Forum FIP JIP ini pertama kali dilakukan di penghujung era Orde Baru, di awal 1997 di FIP IKIP Jakarta (UNJ). Tidak lama setelah pertemuan itu, Indonesia dilanda kriris monoter (krismon) yang bermula ketika krisis itu melanda Thailand pada awal Juli 1997. Krisis ini kemudian menjalar ke sejumlah negara di Asia.
Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak cukup parah dari krismon karena begitu cepat menjalar ke sektor ekonomi, sosial dan politik yang selanjutnya telah memaksa berakhirnya era kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun menyerahkan estapet kepemimpinan republik ini kepada wakilnya B J Habibie.
Tidak terasa, situasi itu telah terlewati hampir seperempat abad, kini UNJ kembali lagi menjadi tuan rumah pertemuan Forum FIP JIP ini dengan situasi yang amat berbeda dari sebelumnya. Kini, Indonesia dan seluruh bangsa di dunia, dalam dua tahun terakhir tengah dilanda pandemi covid-19. Dunia pendidikan di tanah air harus merespon kenyataan ini dengan tepat. Karenanya, tema Forum FIP JIP 2021 ini adalah: “Mengoptimalkan Implementasi Program Kampus Merdeka untuk Lulusan yang Cerdas, Profesional, Berwawasan Kependidikan, Religius, dan Cinta Tanah Air.” Tema ini diturunkan menjadi lima subtema yaitu: (1) inovasi model pembelajaran partisipatif dan kolaboratif; (2) penguatan model pembinaan employability skills mahasiswa; (3) pemberdayaan program praktek mengajar di kampus; (4) pemantapan ekosistem Perguruan Tinggi untuk Program Kampus Merdeka; dan (5) intensifikasi sinergi Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan industri.
Tema ini adalah penjabaran dari kebijakan “Kampus Merdeka” dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memberi hak kepada mahasiswa belajar tiga semester di luar program studinya, sesuai dengan Permendikbud No. 3 Tahun 2020, dengan berbagai kegiatan pilihan berikut: (1 ) pertukaran mahasiswa, (2) magang/praktek kerja, (3) asistensi mengajar di satuan pendidikan, (4) penelitian/riset, (5) proyek kemanusiaan, (6) kegiatan wirausaha, (7) studi/proyek independen, dan (8) membangun desa/kuliah kerja nyata tematik.
Kebijakan tersebut dilaksanakan dalam rangka mewujudkan proses pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga perguruan tinggi dapat merancang dan melaksanakan proses pembelajaran yang inovatif agar mahasiswa dapat meraih capaian pembelajaran mencakup aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara optimal. Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan link and match dengan dunia usaha dan dunia industri, serta untuk mempersiapkan mahasiswa dalam dunia kerja sejak awal (Dikti, 2020).
Sebagai masukan komparatif atas kebijakan Kampus Merdeka, menarik mengikuti sesi presentasi Prof Yinghuei Chen dari Asia University (AU) Taiwan yang berbagi pengalaman bagimana peta jalan kebijakan pendidikan tinggi Taiwan dengan formula 318. Formula ini bermakna:
Pertama, angka “3” bermakna setiap mahasiswa program S1 haruslah menguasai tiga Bahasa yakni: (1) Mandarin Chinese, (2) English Language, (3) Programming Language. Selain penguasaan ketiga Bahasa tersebut, mahasiswa juga dipersyaratkan menguasai tambahan Bahasa asing kedua yang diprioritaskan pada Bahasa: Jepang, Jerman, Spanyol, Prancis, Korea, Indonesia, Vietnam dan Thailand.
Taiwan melihat kunci dari kesuksesan masa depan mahasiswanya terletak pada penguasaan Bahasa dan penguasaan bidang ilmunya. Kesuksesan itu diilustrasikan: Language + Knowledge = Advantage
Kedua, angka “1” bermakna setiap mahasiswa S1 Taiwan memiliki pengalaman belajar, magang satu semester atau satu tahun di luar negeri dan kegiatan itu dikonversi ke pengakuan angka kreditnya. Bahkan, liburan mahasiswa ke luar negeri pada musim dingin atau musim panas dapat diberi pengakuan angka kredit. Setiap program studi di perguruan tinggi dapat memilih jenis kegiatan di luar negeri sesuai dengan kurikulum dan ciri program studinya masing-masing. Sebagai contoh, AU yang memiliki kerjasama dengan begitu banyak universitas dan perusahaan di luar negeri, terdapat enam prodinya yang menerapkan kerjasama 3+1, artinya tiga tahun di Taiwan dan satu tahun belajar di universitas mitranya di luar negeri; 21 Prodi yang hanya belajar satu semester di luar; 28 prodi yang mengakui program liburan mahasiswa ke luar; dan 28 prodi yang mengikuti program magang dan praktek kerja di luar negeri.
AU juga menawarkan program pertukaran mahasiwa kepada seluruh mahasiswanya untuk memilih salah satu di antara 20 world class university di seluruh dunia.
Selain itu, di AU, setiap mahasiswa diberi pilihan untuk mengikuti kerja sosial dan kegiatan kemanusiaan di sejumlah negara, seperti negara-negara Afrika, India, China, Cambodia, El Savador, Hong Kong, Nepal, Jepang, Indonesia, Malaysia, Myanmar dan Thailand. Semua informasi pilihan itu tersedia di “Volunteers Bank AU”
Ketiga, angka “8” berarti seluruh kegiatan tri-dharma perguruan tinggi Taiwan berorientasi pada pencapaian: (1) learning to communicate, (2) learning to think, (3) building character, (4) preparation for citizenship, (5) living with diversity, (6) preparing for a Global Society, (7) acquiring broader interest, dan (8) preparing for a career.
Kelihatannya dengan formula 318 sebagai peta jalan kebijakan pendidikan tinggi Taiwan, telah mengantarnya sebagai negara dengan tenaga kerja internasional yang terbaik di dunia.
ILO (2015) melaporkan hasil studi US Manpower Group, “Manpower Employment Outlook Survey”, dari 1.091 perusahaan internasional, tenaga kerja Taiwan adalah yang terbaik tidak hanya di Asia tapi di seluruh dunia. Dengan skor 45 persen, Taiwan mengungguli tenaga kerja internasional asal India (37 persen), Jepang di peringkat ke tiga, 23 persen, Hong Kong dan AS di posisi ke empat dengan skor masing-masing 16 persen.
Secara lebih rinci, di sektor jasa, Taiwan 46 persen, di sektor keuangan, asuransi dan real estate hanya 37 persen dan di sektor manufaktur 41 persen.
Ketika di sesi tanya jawab, saya menyampaikan pertanyaan kepada Prof Chen, apa yang menyebabkan pendidikan Taiwan mempersiapkan mahasiswanya dapat bekerja di seluruh dunia, Jawabannya sederhana karena kondisi bangsanya selalu dihantui rasa ketakutan dari dominasi dan invasi China, konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara, dan ketegangan China dan Jepang, dan konflik di laut China Selatan. Singkatnya, “Kami harus menyelamatkan masa depan bangsa kami untuk dapat diterima dan bekerja di mana saja di muka bumi ini. Kami harus siap menerima segala kemungkinan terburuk yang setiap saat mengancam kami.”
Penulis, Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ