Kolom Wahyuddin Halim
Inna lillah wa inna ilayhi raji’un. Seusai mengajar di kampus pada Kamis siang kemarin, 7 Desember 2023, seorang kolega mengabari saya bahwa Prof. Dr. H. Hamka Haq telah menghembuskan nafas terakhir di satu rumah sakit di Jakarta. Sejak terpilih menjadi pengurus DPP PDIP dan anggota DPR-RI belasan tahun lalu, beliau memang menetap di Jakarta hingga wafatnya pada pukul 11.46 WITA kemarin.
Mendapat kabar itu, saya sontak terkejut dan takdapat menahan rasa sedih dan duka dalam hati. Saya segera membuka pesan di beberapa group WA yang saya ikuti untuk memastikan validitas informasi tersebut. Dan benar saja, di sana informasi tentang wafatnya almarhum sudah menyebar luas. Postingan ungkapan belasungkawa dan doa-doa dari para kolega, kerabat dan sahabat untuk beliau pun terus bermunculan. Saya lalu mencoba restrospeksi, mengenang kembali masa-masa terbaik dan terindah bersama beliau, baik sebagai murid, mahasiswa bimbingan, maupun sebagai kolega sesama dosen di kampus yang sama selama belasan tahun.
Di awal 1990-an, program S2 dan S3 untuk kajian Islam baru dibuka di IAIN Jakarta, menyusul di IAIN Yogyakarta. Di antara gelombang pertama doktor jebolan IAIN Jakarta yang berasal dari IAIN Alauddin Makassar adalah almarhum Dr. M. Syuhudi Ismail, alm. Dr. Abd. Muin Salim, Dr. Jalaluddin Rahman, alm. Dr. Harifuddin Cawidu dan alm. Dr. Hamka Haq. Di antara beliau itu ada yang meraih prestasi dan reputasi sebagai jebolan doktor terbaik atau disertasi terbaik di IAIN Jakarta pada saat mereka diwisuda. Saya juga membaca dan mendengar bahwa para guru besar dan promotor disertasi mereka pun, seperti Prof. Harun Nasution, Prof. Quraish Shihab, dan Prof. Nurcholish Madjid, memberikan pujian khusus kepada mereka.
Segera setelah diwisuda, para doktor baru ini pun kembali melanjutkan mengajar sebagai dosen tetap di kampus kami. Sebagai mahasiswa strata satu di Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar pada awal 1990-an, saya dan teman-teman seangkatan dapat dikatakan sangat beruntung. Sebab, persis ketika para doktor baru tersebut kembali ke kampus, kami baru duduk di semester dua atau tiga. Tiga dari doktor baru di atas sempat mengajar di kelas kami. Almarhum Dr. Harifuddin Cawidu dan Dr. Hamka Haq bahkan mengajar beberapa mata kuliah ilmu-ilmu Ushuluddin hingga kami masuk tahap bebas kuliah. Di awal 1990-an, dosen di kampus kami yang sudah bergelar doktor masih dapat dihitung dengan jari-jari satu tangan. Maka kepulangan dari studi doktoral beberapa dosen IAIN Makassar waktu itu dalam waktu berdekatan sering dikatakan sebagai “panen doktor”.
Mungkin pembaca dapat membayangkan, doktor yang baru saja kembali dari meneguk ilmu dengan tekun dan serius selama empat hingga lima tahun studi S3 mereka, atau, katakanlah, fresh from the oven itu, tentu sedang dalam kondisi terbaik untuk mengajar atau mentransfer pengetahuan. Dan kami, waktu itu, dapat merasakan getaran semangat keilmuan mereka, juga kesegaran dan keluasan wawasan pengetahuan mereka di ruang kuliah. Beberapa tahun kemudian, di antara beliau ada yang mulai berkiprah dalam profesi non-akademik di luar kampus. Misalnya, meniti karier sebagai politisi, yaitu dengan menjadi anggota legislatif di DPRD Sulsel. Mereka juga mulai terlibat menjadi pengurus berbagai lembaga atau yayasan sosial-keagamaan di tingkat provinsi. Selain itu, jadwal mereka sebagai narasumber di berbagai forum akademik pun mulai padat. Apalagi sebagai mubalig di level lokal, regional maupun nasional.
Secara personal, Dr. Harifuddin Cawidu dan Prof. Dr. Hamka Haq meninggalkan banyak kenangan dan pengaruh penting dalam karier akademik saya. Beliau adalah dua di antara beberapa dosen pavorit saya, juga teman-teman kuliah. Kami kagum pada keluasan pengetahuan dan kecakapan beliau berdua dalam mentransfer ilmu kepada kami. Kuliah-kuliah beliau mampu membuka wawasan pengetahuan kami tentang berbagai bidang keilmuan Ushuluddin seperti filsafat Islam, teologi dan tasawuf, atau pemikiran Islam secara lebih luas. Tanpa mengikuti kuliah-kuliah beliau berdua secara langsung, kami tidak yakin dapat memahami berbagai isu-isu pelik dalam ranah pengetahuan tersebut. Menariknya, saya pertama kali mengenal tentang Prof. Hamka lewat skripsinya yang diterbitkan menjadi buku pertama beliau. Judulnya, Koreksi Total terhadap Ahmadiyah (Jakarta : Yayasan Nurul Islam, 1981), yang saya baca saat masih duduk di semester pertama.
Lebih penting lagi, kedua beliau ditunjuk oleh dekan, dan bersedia, menjadi pembimbing penulisan skripsi saya. Skripsi saya, setebal 280 halaman, membahas tentang pemikiran metafisika-sufistik Seyyed Hossein Nasr, salah satu pemikir dan filsuf Muslim paling berpengaruh sejak abad lalu. Saya masih ingat, sambil menunjukkan antusiasme membaca dan mengoreksi skripsi saya, kedua beliau juga mengeluhkan ketebalannya. Tapi alih-alih meminta saya untuk memangkas jumlah halaman (misalnya karena tidak relevan atau penting), keduanya hanya meminta saya berhenti terus menambah halaman setiap kali saya datang membawa draf berikutnya untuk mereka baca dan koreksi. Dalam konsultasi skripsi, beliau berdua bahkan menyarankan saya untuk menyimpan dulu semangat dan energi menulis akademik hingga tiba masanya saya harus menulis tesis atau disertasi. Beliau berdua jugalah yang pertama kali mengangkat saya sebagai asisten mereka (asdos) dalam mengajar mata kuliah binaan mereka di fakultas, dan itu hanya beberapa minggu setelah saya diwisuda. Setahun setelah sarjana, saya kemudian terangkat sebagai dosen tetap PNS di fakultas yang sama.
Seingat saya, ada tiga mata kuliah Prof. Hamka yang saya pernah ikuti selama kuliah S1: logika, filsafat hukum Islam, dan filsafat Islam modern. Memang, kepakaran akademik Prof. Hamka terletak di dua bidang keilmuan Islam itu: ushul fiqih dan ilmu kalam. Hal itu terlihat dalam topik disertasi beliau di IAIN Jakarta, yaitu mengulas dimensi teologis dalam konsep maslahah menurut Imam al-Syatibi. Studi beliau secara akademik tentang konsep maslahah sebagai tujuan syariat Islam (maqasid al-syari’ah) itu tampaknya cukup mempengaruhi dan membentuk corak pemahaman dan sikap keagamaan beliau.
Dalam pengamatan saya sejak mengenal beliau, Pak Hamka menunjukkan pemahaman dan sikap beragama yang moderat, pluralis, toleran, dan inklusif. Mungkin itu juga di antara hasil berguru dan bergaul secara akademik dengan para pemikir Muslim Indonesa garda depan selama kuliah S3, yang nama-namanya sudah disebut di atas. Tidak mengherankan, misalnya, selaku dekan (periode 2000-2002), beliau setuju menerima enam mahasiswa non-Muslim dari Sekolah Tinggi Teologia Indonesia Timur (STT-Intim) di Makassar untuk belajar tentang Islam di Fakultas Ushuluddin selama beberapa semester. Padahal, hal tersebut tidak disetujui pimpinan kampus. Kalau tidak salah, selain aktif sebagai pengurus MUI, Al-Markaz al-Islami, dan beberapa ormas atau lembaga pendidikan Islam di Sulsel, beliau juga menjadi inisiator dan pengurus Forum Komunikasi Antar Umat Bergama (FKUB) Sul-Sel.
Saya masih ingat, sebelum memilih terjun ke dunia politik di level nasional dan masih menetap di Makassar, Pak Hamka selalu memiliki jadwal yang padat, khususnya sebagai akademisi atau cendekiawan Muslim yang kondang, aktivis organisasi sosial keagamaan yang diterima banyak pihak, dan sebagai dai yang populer. Maka, banyak orang yang terkejut ketika kemudian beliau memutuskan berkiprah di bidang politik praktis, di saat sedang menduduki jabatan penting dalam kampus sebagai Pembantu Rektor I (bidang akademik) (2002-2004). Padahal, di saat itu, prospek karier di bidang akademik beliau justru tampak semakin jelas dan cerah.
Lebih mengejutkan lagi, sebagai bahtera perjalanan politiknya beliau memilih PDIP. Partai ini masih sering dicitrakan sebagai partai nasionalis yang tidak begitu mengakrabi Islam. Ketika ditanya tentang itu, beliau menjawab bahwa segmen terbesar atau mayoritas pemilih PDIP selama ini justru adalah kalangan Muslim wong cilik. Maka, agar representatif, kata beliau, calon-calon anggota legislatif partai seharusnya juga lebih banyak dari kalangan umat Islam. Kalau para elite politisi Muslim terus menjauhi partai itu, kata beliau, jangan menyalahkan jika anggota legislatifnya di tingkat nasional dan lokal hanya terdiri dari kalangan non-Muslim. Dengan kata lain, beliau berharap dapat turut memberi andil dalam mengubah citra partai nasionalis itu mejadi lebih hijau atau Islami.
Pada kenyataannya, sejak bergabungnya akademisi Muslim atau ulama seperti Prof Hamka di PDIP, partai ini menunjukkan sejumlah perubahan terkait dengan berbagai isu dan kebijaksanaan tentang agama. Misalnya, semakin banyak balon bupati-wabup, gubernur-wagub, dan legislator usungan PDIP dari kalangan politisi Muslim, atau paslon Muslim dan non-Muslim, atau sebaliknya, khususnya di wilayah-wilayah di mana warga Muslim adalah minoritas. Sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), sayap Islam PDIP, Prof Hamka turut menginisiasi perayaan rutin dan meriah hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Belakangan, di tempat yang sama berdiri Masjid At-Taufiq, yang didirikan untuk mengenang almarhum Taufik Kiemas, suami Megawati Soekarno Putri.
Seingat saya, walaupun sudah duduk sebagai anggota DPR-RI periode 2014-2019 dari PDI-P mewakili Dapil Jawa Timur II dan setelah itu, menjadi pengurus DPP-PDIP dan Ketum Baitul Muslimin, Prof Hamka tetap rutin berkunjung ke Makassar. Termasuk beberapa kali menghadiri dan menjadi nara sumber pada reuni alumni Fakultas Ushuluddin dan reuni alumni IAIN/UIN Alauddin Makassar. Namun, yang membuat saya mengagumi beliau sejak masih mahasiswa adalah produktivitas beliau dalam menulis. Sebelum terjun ke dunia politik, Prof Hamka cukup rutin menulis artikel opini di koran-koran lokal di Makassar. Juga menulis buku-buku.
Untuk hal yang disebut terakhir itu, Pak Hamka bahkan tetap mampu melakukannya walau sudah menetap di Jakarta dan disibukkan dengan aktivitas politik praktis. Menurut catatan Wikipedia, sejak meninggalkan dunia kampus dan terjun ke dunia politik, Pak Hamka sudah menulis sekitar 10 buku (termasuk revisi buku dan disertasi). Karya terakhir beliau berjudul Asas Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: Bamusi 2019). Dari judul-judul buku yang ditulis, terlihat bahwa minat keilmuan Pak Hamka sangat luas dan beragam. Selain tentang falsafah hukum Islam (ushul fiqh) dan teologi Islam yang memang menjadi bidang kepakaran akademiknya, Pak Hamka juga menunjukkan minat, pembacaan luas, dan kepedulian tentang isu-isu kebangsaan, pemikiran Bung Karno, Pancasila, pluralisme, moderasi beragama, toleransi dan dialog antarumat beragama.
Dalam setiap perjumpaan aktual dengan beliau ketika datang ke Makassar untuk beragam kegiatan, saya tidak melihat perubahan apapun dalam sikap, gaya bicara dan bergaul beliau dengan kawan dan kolega lama dalam kampus, termasuk kepada murid-murid beliau seperti saya. Beliau tetap mengingat dengan baik nama-nama kolega, menyapa dengan ramah, banyak tersenyum, melayani pembicaraan, bercerita, bercanda, bahkan menanyakan kabar kami masing-masing. Dengan kata lain, tidak ada kesan menjaga imej (jaim) atau pasang wibawa sebagai seorang pejabat atau elite politik nasional di hadapan orang-orang biasa yang beliau temui.
Satu hal sederhana tentang beliau namun membuat kami murid-murid beliau lebih merasa kehilangan. Saat kami sejumlah 100-an alumni Fak. Ushuluddin IAIN Alauddin lintas prodi angkatan 1988 (tahun masuk) membuat group WhatsApp, seorang kawan memasukkan nomor WA Pak Hamka ke dalam group tanpa menanyai kami lebih dahulu. Saya awalnya tidak setuju. Dan saya tulis itu dalam perbincangan group. Alasan saya, tidak enak jika beliau nanti turut membaca postingan teman sebaya yang kebanyakan bercanda, bernostalgia, ngerumpi, dan semacamnya. Tidak terduga, Pak Hamka malah merespons langsung soal itu dan meminta agar nomor WA beliau tetap dalam grup WA kami. Kenyataannya, sering tak terduga dan hampir-hampir kami sudah lupa bahwa beliau juga anggota jamaah WAG kami, Pak Hamka memposting berita, tulisan dan tautan yang beliau pikir mungkin kami minati dan perlu baca.
Ada satu pesan beliau kepada saya secara pribadi yang sayangnya belum sempat saya tunaikan semasa beliau masih hidup. Kalau tidak salah, beliau menyampaikan harapannya itu saat kunjungan terakhir beliau ke kantor fakultas kami untuk silaturrahim dengan kolega dosen dan pimpinan. Saat melihat saya muncul di ruangan, beliau langsung berkata, kira-kira, “Nah, ini Pak Wahyu, kapan urus guru besarnya? Segera ya! Masa hanya sibuk mengurus urusan orang lain tapi lupa mengurus diri sendiri”. Saat itu, saya hanya bisa merespons dengan kata “insya Allah Prof”, sambil tersenyum.
Dalam perbincangan personal saya dengan beliau di kesempatan berbeda, Pak Hamka pernah menyampaikan rencana jangka panjang beliau. Bahwa, selepas baktinya di dunia politik di Jakarta, beliau akan kembali lagi ke Sulsel untuk mengabdikan diri kepada masyarakat. Tapi, rencana pengabdian beliau itu bukan lagi sebagai akademisi, tapi sebagai ulama. Maksud beliau adalah dengan memimpin lembaga pendidikan agama seperti pesantren dan juga menulis buku-buku. Rencana pengabdian di paruh terakhir hidup beliau itu tentu bukan sesuatu yang sulit diwujudkan seandainya beliau diberi umur lebih panjang. Pak Hamka adalah seorang akademisi dengan pengetahuan agama yang luas dan mendalam. Selain itu, sekalipun baik sebagai akademisi maupun politisi, karakter dan akhlak beliau tetap mencerminkan sosok seorang ulama. Karena itu, beliau lebih dari layak menyandang status sebagai ulama, anregurutta. Yang masih kurang memang untuk menyempurnakan status itu adalah, memimpin lembaga pendidikan agama seperti pesantren. Dalam masyarakat Bugis-Makassar, seperti halnya juga dalam masyarakat Muslim di tempat lain di Indonesia, keulamaan sejati itu identik dengan keluasan dan kedalaman pengetahuan agama (mattasi’ paddissengenna), ketinggian akhlaknya (malebbi’ pangkaukenna), dan keikhlasannya dalam mengabdikan diri kepada masyarakatnya sepanjang hayat.
Akan tetapi, Allah Azza wa Jalla berkehendak lain untuk Anregurutta Prof Hamka. Dan tentu saja kehendak Allah itulah yang terbaik bagi beliau dan kita semua, murid-murid, kerabat, kolega dan sahabat-sahabat beliau. Selamat jalan Gurunda. Semoga magfirah, rahmah dan rahmat Allah senantiasa menemanimu dalam perjalanan di alam-alam berikutnya.
Penulis, staf pengajar di Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, murid langsung alm Prof. Hamka Hak selama kuliah S1 di fakultas yang sama antara 1988-1993.*