Kolom Ruslan Ismail Mage
Inayah putri bungsu Gusdur selalu tampil nyentrik di atas panggung. Tidak jarang pemilihan diksi dalam narasinya mengocok perut. Kejenakaannya di podium yang mengiringi narasi menggigitnya selalu disambut tepuk tangan orang yang memahami pesan universalnya. Kalau dalam dunia tinju, Inayah berkali-kali menjatuhkan lawan tanpa menyentuhnya, memukul lawan tanpa gerak, sebagaimana ajaran Gusdur, “Keritiklah kebijakan atau tingkah lakunya, bukan orangnya”. Mungkin ini bisa disebut mengkritik dengan moral, bukan dengan oral.
Begitulah Inayah, dalam sebuah dialog monolognya dengan sang ayah telah menampar berkali-kali hampir semua politisi dan pemimpin negeri ini. Kalau ada politisi atau pemimpin tidak tertampar mendengar monolog Inayah ini, berarti dia menjustifikasi dirinya sebagai pengikut setianya Machiavelli yang lihai hidup dalam kepura-puraan. Pura- pura bermoral tapi miskin adab, pura-pura sedekah padahal perampok uang negara, terlihat empati padahal sesungguhnya antoginisme yang menebar senyum kepalsuan.
Monolog cerdas ini hadir di tengah keringnya _asking and giving opinion_ yang menyejukkan. Ia menusuk keangkuhan raja, mencubit egoisme pemimpin, dan menampar golongan penjilat. Tidak percaya, silahkan baca monolog Inayah berikut ini.
Bapak, boleh aku minta tolong diajari, bantu aku memahaminya. Katanya bapak adalah presiden paling pandai di seantero negeri, intelektualitasnya sudah diakui. Anakmu ini diajari memahami semua ironi negeri ini.
Kenapa dulu mereka selalu menghina. Katanya bapak presiden yang buta. Padahal kenyataannya bapaklah yang mengajari kita untuk melihat manusia seutuhnya, tanpa embel-embel jabatan, harta, suku atau agama. Tidak peduli bagaimana rupanya.
Bapak, kenapa dulu mereka melecehkan. Katanya presiden kok tidak bisa berjalan sendirian, harus dituntun kemana-mana. Padahal kenyataannya bapaklah yang sebenarnya menuntun rakyat Indonesia menuju demokrasi dan keadilan yang sesungguhnya.
Bapak, bisa tolong jelaskan. Kenapa oang-orang yang dulu dibesarkan, malah akhirnya menjatuhkan. Menggigit tangan orang yang dulu memberinya makan. Apa mereka lupa apa yang dulu bapak ajarkan bahwa, “Hidup adalah pengabdian, tidak boleh meminta harta atau jabatan”.
Terimakasih Inayah Wulandari Wahid, putri bungsu dari Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid. Monolognya telah membuktikan engkau konsisten memuliakan diri sebagai anak mantan presiden yang tidak tergiur memakai pasilitas negara, terlebih mendapatkan pekerjaan dari bapaknya. Sesungguhnya engkau cermin yang tidak pernah retak dalam kehidupan istana.
*Akademisi, penulis buku-buku motivasi, politik, demokrasi, dan kepemimpinan