Kolom Mursalin
Berita “kepergian” belakangan terasa kian sering hadir ditengah kita. Hampir saban hari, di WA grup maupun media sosial, kabar duka tersiar. Mulai dari tokoh publik; ulama, artis, akademisi dan lainnya, hingga orang yang memang kita saling kenal; teman sekampung, teman kantor, teman kuliah, teman sekolah, tetangga, dosen, guru, sepupu, bibi, paman dan kerabat lainnya yang cukup dekat dengan kita. Mereka berpulang.
Rasa haru. Sedih. Dan kadang tak percaya. Semua seolah bercampur aduk jadi satu. Hanya satu kalimat yang spontan keluar dari bibir ini menyertai, supaya bisa berlapang dada atas kenyataan kabar duka tersebut: “Innailllahiwainnailaihi rojiun. Sesungguhnya kami milik Allah (Sang Maha Pencipta) dan sesungguhnya kepada Nya pula kami kembali.”
Entah kebetulan atau bukan, yang pasti rasanya, musim “berpulang” silih berganti ini bersamaan dengan situasi pandemi yang sudah setahun lebih melanda planet bumi ini. Sehingga semakin lengkaplah suasana kebatinan ini jadinya. Maut setiap saat bisa menghampiri. Dia tak mengenal usia, harta, pangkat, jabatan dan status sosial lainnya yang disandang seseorang.
Nyatanya memang banyak jalan menuju “pulang” tersebut. Ada yang karena covid, sakit jantung, sedang berkendara, dalam pesawat terbang, berlayar di kapal laut, selagi solat, makan siang, rekreasi di danau, dan sebagainya. Bahkan, ada rekan yang malam hari ia mengunggah di media sosial miliknya ucapan belasungkawa, eh, ternyata, keesokannya, giliran dia yang mendapat ucapan innalillahi dari rekan sejawatnya.
Bicara hal ihwal berupulang, saya jadi teringat dengan seorang tokoh senior pertelevisian tanah air yang dulu bekerja di TV pemerintah, namun sekarang ia berkiprah di grup TV swasta nasional. Ia waktu itu sebagai salah seorang pemateri yang diadakan oleh grup televisi tempat saya bekerja. Waktu itu tahun 2018. Belum ada cerita covid. Tapi si bapak tadi mengaku, kalau saban pagi, ia rada takut kalau buka WA grup. Karena begitu terpampang kabar duka di WA, ia jadi teringat dengan dirinya yang sudah berumur. He..he.
Sebagai orang yang beragama, tentu kita meyakini dan sering diajarkan bahwa tak ada yang abadi. Semua akan mati. Raja mati. Orang kaya mati. Orang miskin mati. Semua pasti akan berkhir di dunia ini.
Firaun. Raja yang luar biasa gagah dan kuat kekuasaan di zamannya. Namun, ketika hidupnya harus berakhir tenggelam di laut Merah-saat mengejar Nabi Musa, dengan terbata ia baru mengakui kekhilafannya-yang selama hidup penuh dengan kesombongan. Mengaku diri sebagai Tuhan hanya membuatnya sia sia. Begitupun hartawan kaya raya Qarun. Keserakahan dan kikir membuatnya terkubur bersama harta bendanya ditelan bumi.
Banyak lagi sebenarnya kisah kehidupan umat manusia di muka bumi ini kita temukan, baik di kitab suci maupun refrensi sejarah peradaban. Kepintaran, kedigdayaan, ketenaran, hanyalah fatamorgana. Semuanya berakhir. Berujung menuju kematian.
Meski sudah sering mendengar ceramah dari pemuka agama, mengetahui dari literatur tentang ke-tidakabadi-an manusia, tetap saja kadang kita terkaget kaget ketika mendengar kabar kematian dari sanak kerabat. Saat ayahnda saya meninggal dulu, saya amat sangat sedih. “Sudahlah Mur. Harusnya kamu bersyukur dipinjamkan oleh Allah seorang ayah selama 39 tahun.” Demikian bisik saya dalam hati menghibur diri.
Pemahaman itu rupanya tetap saja tak cukup. Untung saja manusia dianugerahi sifat pelupa. Bisa dibayangkan kalau setiap saat saya selalu ingat, detik demi detik, ketika berada di samping beliau, mengantar ayahda menghembuskan nafas terakhirnya untuk kembali ke Sang Pencipta waktu itu. Sesekali saja-ketika mengingatnya, haru langsung menyelimuti dan sedih rasanya tak terbendung di hati.
Selain anugerah, sifat pelupa tadi, jelas menjadi titik lemah bagi manusia. Terlebih kalau sampai lupa diri. Makanya dalam Alquran, kita dipesankan untuk selalu mengingatkan satu sama lain, dalam hal ‘kebenaran’ dan ‘kesabaran’. Termasuk untuk selalu diingatkan bahwa, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Dan ketika game over, semua akan berakhir. Tamat. Tak ada yang akan dibawa ketika kita berpindah ke dimensi baru bernama alam kubur; hanya amal kebajikan semata.
Masih bisa bernafas menghirup udara bebas hingga detik ini, jelas suatu anugerah yang harus disyukuri. Rasa syukur itu kini kian tak terbendung, disaat kelangkaan tabung oksigen terjadi dimana mana-dimusim pandemi sekarang ini.
Selagi masih bernafas, kata seorang penyair, manusia adalah para pengelana di muka bumi. Ya, semoga saja kita menjadi pengelana yang tak pernah lupa untuk mengumpulkan bekal menuju “Jalan Pulang”.
Selamat Idul Adha 1442 Hijriyah, mohon maaf lahir dan batin.
Penulis bekerja di PonTV