Kolom Zaenal Abidin
Tanggal 18 Oktober 2024 lalu, penulis didapuk menjadi moderator dalam diskusi publik Seri-1, bertemakan, “Mengurai Kebijakan Pembangunan Kesehatan Inklusi dalam UU Kesehatan bagi Anak Berkebutuhan Khusus dan Penyandang Disabilitas.”
Keterlibatan penulis dalam diskusi yang berlangsung secara hybrid ini, sebetulnya bukan sekadar menjadi moderator. Sebab, jauh sebelumnya sahabat penulis, German E. Anggent dari Lembaga Kebijakan dan Advokasi Publik (Elkafe) telah secara rutin mengajak penulis untuk mendiskusikannya. Terlebih karena kami berdua merupakan anggota Pokja Kesehatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Selanjutnya, untuk menyiapkannya, German E. Anggent pun membuat grup WhatsApp khusus, guna memudahkan komunikasi dan diskusi. Bahkan dalam beberapa kesempatan kami bertandang ke rumah dr. Gatot Soetono untuk berdiskusi sekaligus memintanya untuk menjadi salah satu nara sumber.
Diskusi publik Seri-1 ini memang melibatkan berbagai pihak, seperti Ekape sendiri, HIFDI, KPAI, KND, Save the Children, dan BPJS Kesehatan. Juga melibatkan nara sumber, penanggap, dan peserta dari latar belakang yang beragam.
Hadir sebagai nara seumber: M. Khoirul Muttaqqin (Staf Khusus Menko PKM); Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM. (Guru Besar FKUI); dr. Gatot Soetono, M.PH. (Pendiri Startup Healttech Doctor Tool); dr. Donni Hendrawan, M.PH. (Deputi Direksi RisNov BPJS Kesehatan); dr. Hari Wahyu Nugroho, Sp.A (K), M.Kes., (Pengajar IKA UNS, Spesialis Anak-Konsultan Tumbuh Tembang-Pediatri Sosial).
Sementara penanggap: Eka Prastama Widiyanta, (Komite Nasional KND); Ahmad Ansyori, S.H., M.Hum, CLS, CLA. (Pokja Kesehatan KPAI dan Pakar Jaminan Sosial); Dr. Diyah Puspitarini, (Anggota KPAI). Dari perserta hadir: KPAI, HIFDI, KND, Wahana Visi Indonesia, beberapa orang tua anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas, jurnalis, dan undangan lain.
Pada artikel ini penulis membatasi penyajian terkait hak kesehatan penyandang disabilatitas secara umum. Mudah-mudahan pada tulisan berikut penulis dapat menyajikan terkait hak kesehatan anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas.
Pemenuhan Hak Sehat Penyandang Disabilitas
Dalam diskusi publik tanggal 18 Oktober 2024 lalu, panitia sengaja meminta kesediaan Prof. Zubairi untuk menyajikan materi disabiltas secara umum, dengan judul, “Disabilitas: Perspektif Medis dan Sosial.”
Prof. Zubairi dalam pemaparannya mengatakan, penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan serta kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Definisi di atas menunjukkan bahwa disabilitas bukan sekadar masalah kesehatan. Disabilitas adalah fenomena kompleks yang mencerminkan interaksi tubuh dengan lingkungan tempat tinggalnya. Seseorang yang mengalami disabilitas low vision dan dalam kondisi “normal” sulit membaca teks, misalnya, dengan teknologi baru kesulitannya itu bisa diatasi. Dengan demikian disabilitasnya akan hilang.
Dari penjelasan di atas, kemudian Prof. Zubairi lebih memilih menggunakan istilah difabel (difable) ketimbang disabilitas (disable). Istilah difabel singkatan dari different ability atau kemampuan yang berbeda, dianggap lebih benar secara politis (politically correct) karena mendorong otoritas berwenang (pemerintah) untuk mengatasi atau menghilangkan gangguan-gangguan atau halangan yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak-hak seseorang untuk berpartisipasi sebagai warga negara.
Dalam perpektif medis, terdapat beberapa jenis disabilitas: penglihatan, pergerakan, berpikir, mengingat, belajar, komunikasi, mendengar, kesehatan jiwa, dan hubungan sosial. Dari penjelasan ini kita dapat memahami bahwa disabilitas ada dalam diri setiap orang, hanya derajatnya yang berbeda.
Disabilitas bukan populasi tunggal, namun merupakan kelompok masyarakat dengan berbagai masalah dan kebutuhan. Dua orang yang memiliki satu jenis disabilitas yang sama dapat mengalami dampak buruk dengan cara yang berbeda. Penting diingat bahwa beberapa jenis disabilitas sifatnya tersembunyi alias tidak terlihat dengan mudah oleh orang lain.
Terdapat tiga dimensi disabilitas, yaitu: (1) Struktural, seperti gangguan pada struktur badan atau fungsi mental; (2) Keterbatasan aktivitas, seperti kesukaran untuk melihat, mendengar, berjalan, dan memecahkan masalah; (3) Keterbatasan partisipasi dalam kehidupan sehari-hari, seperti keterbatasaan untuk bekerja, berkumpul, rekreasi, dan mendapatkan layaran kesehatan dan upaya-upaya pencegahan penyakit.
Prof. Zubairi pun menjelaskan bahwa disbilitas itu ada yang terjadi sejak lahir atau bawaan (congenital/birth defect) dan ada pula yang terjadi belakangan. Disabilitas bawaan, antara lain: Kognisi: mengingat, belajar, memahami; kelainan 1 gen: sindroma Duchenne; kelainan kromosom: sindroma Down; Cerebral Palsy (CP); Hemofilia; penyakit Sickle cell (sel sabit); Spina bifida; Thalassemia, dan sebagainya.
Sedangkan disabilitas yang terjadi belakangan, misalnya: akibat diabetes: kehilangan penglihatan, gangguan saraf, amputasi kaki; penyakit progresif: distrofia otot, atau yang sifatnya intermiten seperti multiple sclerosis.
Diabetes termasuk dalam kelompok ini karena kemampuan untuk bergerak (berjalan, berlari) biasanya berkurang secara bertahap (tidak mendadak).
Contoh berikutnya, kecelakaan yang berdampak pada otak dan tulang punggung. Dampak buruk dalam struktur otak dapat mempengaruhi fungsi kesehatan mental; Deep Vein Thrombosis (DVT); nyeri (misalnya karena kanker atau penyakit lain); dan gangguan sendi yang dapat menyebabkan kesukaran berjalan.
Selajutnya, masih ada disabilitas yang baru tampak belakangan (umumnya pada masa anak-anak), padahal boleh jadi sebenarnya bawaan, seperti autism dan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), sindroma Tourette (gangguan pada sistem saraf yang menyebabkan gerakan berulang atau suara yang tidak diinginkan), penyakit Von Willebrand (perdarahan terus-menerus yang disebabkan oleh kadar protein yang berperan dalam proses pembekuan darah).
Disabilitas yang dibawa sejak lahir tidak selamanya berasal dari sebab-sebab alamiah seperti kelainan gen atau kromosom yang disebut di atas, tetapi juga akibat paparan virus atau zat-zat berbahaya pada waktu ibu hamil, seperti virus rubella, alkohol atau nikotin (merokok). Alkohol dapat menyebabkan spektrum kondisi pada bayi pada fitur wajah tidak normal, ukuran kepala kecil, BBLR, perilaku hiperaktif, dan banyak lainnya. Karena dampaknya yang banyak, dokter biasanya mengelompokkan masalah akibat paparan alcohol pada janin sebagai FASD atau Fetal Alcohol Spectrum Disorders.
Dari penjelasan terkait berbagai dimensai dan jenis disabilitas di atas, untuk pemenuhan rah kesehatan tentu saja akan menemui berbagai masalah sekaligus tantangan. Tantangan itu antara, meliputi: (a) masih kurangnya sosialisasi; (b) kapabilitas SDM kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan; (c) fasilitas pelayanan kesehatan kita belum memadai dan bahkan belum dipersiapkan; (d) ketersediaan infrastruktur lain di luar fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendukung aksesibiltas; (e) kolaborasi dan keterlibatan lintas sektor; dan (f) yang tak kalah pentingnya belum adanya data secara nasional mapun daerah.
Catatan Akhir
Disabilitas bukan hanya masalah kesehatan. Disabilitas adalah fenomena kompleks yang mencerminkan interaksi tubuh dengan lingkungan tempat tinggalnya. Karena itu, isu utama dari disabilitas atau difabel adalah keterbatasan dalam aktivitas dan partisipasi sebagai warga negara. Mengacu pada klasifikasi yang dikeluarkan oleh WHO aktivitas lebih menekankan pada dimensi individu, sementara partisipasi adalah pada peran individu dalam kehidupan sehari-hari.
Aktivitas termasuk berjalan, menjaga posisi tubuh, mengambil/meletakkan barang, naik bis, mandi, makan, minum dan sebagainya. Sementara partisipasi antara lain bekerja, belajar-mengajar, dan ikut dalam berbagai kegiatan di masyarakat.
Baik aktivitas maupun partisipasi keduanya saling mempengaruhi. Aktivitas dan partisipasi dapat dipermudah atau dipersulit, tergantung pada sikap, pandangan sosial dan terlebih kebijakan politik pemerintah. Karena itu sangat penting untuk memperbaiki lingkungan agar memudahkan meringankan restriksi aktifitas penyandang disabilitas atau mereka yang memiliki kemampuan yang berbeda. Untuk itu, kita perlu selalu meninjau kembali berbagai UU dan Peraturan yang ada sehingga hak-hak nya dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
Memperbincangkan rakyat penyandang disabilitas sebetulnya merupakan tema lama, cuma rasa baru. Lama, karena masalahnya sudah lama, pun sudah dimuat dalam beberapa regulasi, seperti UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan beberapa regulasi lainnya, namun masalahnya tetap saja berulang tanpa penyelesaiaan.
Menjadi terasa baru karena kemudian dituangkan lagi ke dalam UU No. 17 tentang Kesehatan. Karena itu, bila telah menjadi rasa baru namun tetap tidak memberi harapan baru, belum mampu keluar dari masalah yang ada selama ini, maka penulis lebih cenderung mengatakan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah di bidang kesehatan telah abai secara nyata dalam memenuihi hak dasar kesehatan rakyat penyandang disabilitas. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum Himpunan Fasyanskes Dokter Indonesia (HIFDI) dan Ketua Umum PB. Ikatan Dokter Indonesia, 2012-2024