PINISI.co.id- Karya sastra bisa jadi inspirasi bagi orang untuk belajar sejarah kotanya. Melalui penggarapan yang serius dengan referensi yang kuat, kita bisa dibawa menyusuri kembali suasana kota itu pada masa silam. Bahkan kita bisa melakukan tapak tilas atas tempat-tempat dan lokasi yang disebutkan dalam karya itu.
Begitulah salah satu kesimpulan dari bincang santai bertema “Budaya Makassar dan Novel Noni Societeit de Harmonie”, di kediaman Yudhistira Sukatanya, Jalan Gotong Royong IV No 6, Makassar, Minggu, (26/1/20). “Noni Societeit de Harmonie”, merupakan novel berlatar sejarah Kota Makassar era 1930-an. Societeit de Harmonie yang jadi judul buku ini, tak lain adalah Gedung Kesenian Societeit de Harmonie yang berlokasi di Jalan Riburane.
Kegiatan ini merupakan kerjasama Forum Arisan Sastra (FAS) dengan Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS). Is Hakim (perupa) dan Dr Asis Nojeng (seniman & akademisi) tampil sebagai pemantik diskusi. Sebagai penulis novel, Yudhistira Sukatanya, menuturkan bahwa tidak mudah melacak jejak sejarah karena minimnya pendokumentasian.
Meski acara ini dikemas informal, tapi para seniman yang hadir, sesungguhnya membincangkan persoalan serius. Mereka tak hanya membahas karya sastra, dengan merujuk pada novel terbitan Agustus 2018 itu, tapi juga membincangkan cara penulisan bahasa Makassar dan masa depan lontarak. Hal ini menjadi kesimpulan kedua sekaligus rekomendasi bahwa perlu keseragaman cara penulisan bahasa Makassar, terutama penggunaan hurup “k”, “q” dan penggunaan apostrof (‘).
Asis Nojeng, yang disertasinya tentang tradisi Royong, menjelaskan bahwa fungsi apostrof itu sebagai penyingkat. Apostrof itu bukan huruf tapi tanda baca. Penggunaan apostrof dalam penulisan kata bahasa daerah, khususnya Makassar, perlu diperhatikan. Misalnya, penulisan yang seharusnya adalah ballak, bukan balla’. Karena kalau sudah menjadi kepunyaan maka akan berubah menjadi ballakku bukan balla’ku.
Lelaki yang dikenal sebagai penyiar TV/radio itu juga mengingatkan pemerintah agar mengoreksi penulisan lontarak pada gedung-gedung publik atau jalan di kota Makassar. Katanya, sebaiknya jangan bahasa Indonesianya yang dilontarakkan, tapi terjemahan dari kata tersebut. Contohnya, “rumah sakit”, jangan frasa itu yang ditulis jadi lontarak, tapi bahasa Makassarnya, menjadi “ballak garring”. Dia juga mengeritik penulisan City of Makassar, tapi sebaiknya Kota Makassar.
“Regulasi kita menekankan bahwa utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing,” imbuhnya.
Para seniman, yang beberapa di antaranya merupakan penulisan dan sastrawan itu, prihatin dengan lontarak yang kehilangan fungsinya. Karena itu perlu diaktualisasikan kembali penggunaannya dan pemahaman akan nilai-nilai filosofisnya. Mereka yang hadir, seperti Dr Asis Nojeng, Dr Suradi Yasil, Jamal Dilaga, Syahril Rani, Muhammad Amir Jaya, Rusdin Tompo, Jamal Andi, dan pasangan Yudhistira Sukatanya dan Dewi Ritayana, sepakat akan membawa hasil diskusi kecil itu ke pertemuan dengan pemerintah.
“Rekomendasi kita ini sangat penting, apalagi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulsel berencana mengadakan festival lontarak,” pungkas Yudhistira Sukatanya, yang merupakan Ketua Harian LAPAKKSS. [Lip]