Kolom Zaenal Abidin
Menteri Kesehatan dan jajarannya berulang kali mengatakan bahwa untuk menjalankan kebijakan transformasi kesehatan yang diusungnya memerlukan lahirnya UU Omnibus Kesehatan, No. 17 Tahun 2023. Undang-undang yang mencakup berbagai topik serta menggabungkan dan mencabut sepuluh UU di bidang kesehatan yang masih eksis.
Di antara yang dicabut itu adalah UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, UU Keperawaan, UU Tenaga Kesehatan, UU Kesehatan Jiwa, dan UU Kebidanan. Akibatnya, bermunculan protes dari organisasi profesi kesehatan dan tenaga kesehatan. Alasan melakukan protes karena pencabutan beberapa undang-undang tersebut akan menghilangkan eksistensi organisasi mereka.
Alasan lain, karena tidak adanya partisipasi bermakna (meaningful participation), meniadakan mandarory spending, dan soal teknologi genomik. Tiadanya partisipasi bermakna berhubungan dengan hak rakyat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yang meliputi: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered) dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang telah diberikan (right to be explained).
Sedangkan peniadaan mandatory spending dikhawatirkan berdampak kepada kedaulatan rakyat untuk mendapatkan HAM kesehatanya. Sementara untuk teknologi genomik berkaitan dengan dibolehkannya perusahaan swasta atau asing untuk mengelolanya. Kekhawatiran atas pengelolaan teknologi genomik oleh swasta atau apalagi asing tentu sangat berdasar. Sebab, jatuhnya data genomik rakyat Indonesia ke tangan orang atau kelompok yang tidak bertanggung jawab akan membawa masalah serius bahkan petaka bagi bangsa ini.
Banyak kalangan yang kemudian sadar akan dampak dari pengesahakan dari UU Omnibus Kesehatan kemudian ikut melakukan protes bersama organisasi profesi dan tenaga kesehatan. Namun ada pula sebahagian yang mendukung lahirnya UU Omnibus Kesehatan tersebut. Pihak yang mendukung mengatakan, ”UU Omnibus Kesehatan 2023 memang bukan UU Organisasi Profesi dan Tenaga Kesehatan, melainkan public health law sebagai dasar transformasi kesehatan komprehensif”.
Persoalannya kemudian, kalau mau disebut sebagai UU Kesehatan Publik atau public health law, tentu juga kurang pas. Mengapa? Sebab, air bersih dan ketersediaan air bersih yang merupakan komponen utama serta kebutuhan mendasar bagi masyarakat untuk masyarakat, bahkan hidup sebagai manusia sama sekali tidak disebutkan di dalam UU tersebut.
Air Bersih untuk Kesehatan Masyarakat
Alam semesta membutukan air untuk menjaga keseimbangannya. Air adalah salah satu elemen utama di bumi yang menjadi bagian tidak terpisahkan bagi seluruh manusia sebagai makhluk hidup. Makhluk hidup tidak dapat hidup jika tidak ada air, sehingga air sangat dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Hak individu atas air bersih meliputi: hak menggunakan air bersih untuk minum, hak menggunakan untuk memasak, hak menggunakan untuk mandi, hak menggunakan air untuk mencuci tangan, piring, pakaian, menyiram tanaman, dan kebutuhan sanitasi lain.
Selain untuk keperluan rumah tangga di atas, air juga dibutuhkan untuk bersuci saat akan beribdah kedada Tuhan, sumber energi terbarukan, pertanian dan perkebunan, olahraga dan wisata, industri, pertambangan, dan petahanan dan keamanan.
Di dalam tubuh manusia, air berfungsi untuk mengisi cairan dalam tubuh dengan meminum air. Air juga memiliki manfaat lain yang sangat dibutuhkan untuk menunjang kehidupan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa proporsi rumah tangga terhadap akses air minum secara nasional rata-rata pada 2022 masih di bawah 50 persen yaitu 44,94 persen. Itu berarti, masih ada rata-rata 55,06 persen rumah tangga belum mendapatkan akses air minum secara optimal.
Karena itu setiap individu berhak mendapatkan air bersih dalam jumlah yang cukup, kualitas yang aman, jarak dekat dengan sumber air dan harga yang terjangkau untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Air bersih bukan hanya dibutuhkan untuk orang yang masih hidup, namun juga dibutuhkan untuk mengurus orang yang sudah meninggal misalnya untuk memandikan jenazah (agama Islam) sebelum dishalatkan dan dikuburkan.
Air Bersih Saat Bencana
Dalam kondisi bencana apa pun manusia butuh air. Sekalipun bencana itu disebabkan oleh air. Seperti Air bah, banjir, genangan air, tsunami, salinasi air, dan sebagainya. Apalagi bencana kekeringan. Bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus pun demikian. Begitu pula bencana non alam seperti pandemi Covid-19, konflik sosial-politik dan perang, juga butuh air bersih.
Masih jelas dalam ingatan kita semua, ketika seluruh dunia termasuk Indonesia di landa pandemi Covid 19, setiap saat tenaga kesehatan bahkan kementerian kesehatan sendiri menganjurkan agar warga rajin untuk mencuci tangan, mandi, mencuci pakaian dan perabot. Dan semua orang tahu bahwa untuk mencuci tangan, mandi, mencuci pakaian dan perabot menggunakan air bersih.
Tenaga medis dan relawan yang diturunkan saat bencana pun tidak mampu berbuat banyak untuk menolong korban, bila tidak ada air bersih. Kekurangan air bersih di lokasi bencana dipastikan akan makin memperparah kondisi bencana. Kekurangan atau ketiadaan air bersih di daerah bencana berpotensi menimbulkan bencana baru.
Persoalnnya, ketika terjadi bencana sekali kali pengambil kebijakan itu tidak menjadikan air bersih dan ketersediaan air bersih sebagai prioritas penting. Berbeda dengan kebijakan pengiriman relawan, alat kesehatan, obat-obatan, makanan, pakaian layak pakai, selimut, tenda, dan lainnya.
Memang hampir semua grup relawan membawa air kemasan sendiri-sendiri untuk sekedar diminum. Tapi itu sangat jauh dari cukup, sebab kebutuhan air bersih di lokasi bencana bukan sekadar untuk diminum. Air bersih dibutuhkan untuk keperluan water sanitation and hygiene (WASH).
Catatan Akhir
Sangat berbahaya bila umat manusia mengalami krisis air bersih. Risko yang dapat terjadi bila terjadi krisis air, antara lain: manusia minum air tidak bersih, saniasi buruk, timbul berbagai penyakit, sumber pangan terganggu, perubahan iklim dan panas, kekeringan, tanaman/tumbuh-tumbuhan layu/mati, polusi meningkat, terjadi kelaparan, konflik sosial politik, perang, sakit dan kematian.
Narasi bahwa pelajaran dan pengalaman dari pandemi Covid 19 yang menjadi pemicu lahirnya tranformasi kesehatan dan kemudian menjadi dasar dibentuknya UU Omnibus Kesehatan, bisa jadi. Sayangnya yang diingat dari pandemi Covid 19, lebih kepada bisnis atau jualan pemeriksaan laboratorium (seperti: swab polymerase chain reaction (PCR), swab antigen, dan rapid test antibodi), vaksin, masker, alat kesehatan, dan perawatan rumah sakit.
Pembuat UU tampaknya lupa bahwa salah satu anjuran yang berulang kali disampaikan kepada warga masyarakat saat pandemi adalah mencuci tangan dengan air bersih. Akibatnya mereka pun lupa atau abai mencantumkan sedikit pun tentang air bersih dan ketersediaan air bersih di dalam UU Omnibus Kesehatan yang telah disahkannya.
Karena itu, hemat penulis UU Omnibus Kesehatan ini belum layak disebut public health law yang komprehensif. Begitu pula bila dikatakan menjadi dasar transformasi kesehatan yang komprehensif, tentu juga kurang tepat. Sebab, faktanya minus air bersih dan ketersediaan air bersih. Wallahu a’lam bishawab.
Penulis adalah Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia, periode 2012-2015