Kemenangan Joe Biden dan Komunitas Muslim Amerika

0
808
- Advertisement -

Kolom Shamsi Ali

Saya tidak tahu akan memulai dari mana. Terlalu banyak hal yang perlu saya sampaikan, sekaligus saya respon. Banyak pertanyaan sekaligus keraguan atas dukungan Komunitas Muslim terhadap Joe Biden-Kamala Harris dalam pilpres US ini.

Barangkali saya mulai dengan mengatakan bahwa dalam menentukan pilihan politik, bukan hanya satu dua aspek yang menjadi dasar. Bukan hanya aspek kebijakan luar negeri misalnya. Tapi juga bukan sekedar aspek domestic policy (kebijakan dalam negeri).

Joe Biden dan Kamala Harris adalah bagian dari pelaku politik Amerika. Dan satu hal yang pasti dalam perpolitikan di Amerika bahwa kebijakan negara tidak ditentukan oleh perorangan. Bukan Presiden, apalagi ketua partai.

Amerika adalah negara dengan sistem kenegaraan yang solid. Yang menentukan wajah negara dan bangsa adalah sistem. Dan karenanya hendaknya dipahami oleh semua pihak bahwa kebijakan pemerintahan antara yang satu dan yang lain tidak akan banyak berubah secara mendasar (fundamental) kecuali jika memang terjadi perubahan sistem secara mendasar.

- Advertisement -

Lalu di mana kepentingan atau manfaat dalam dukungan politik atau seorang calon dalam pilihan politik?

Saya pernah menyampaikan bahwa dalam menentukan pilihan politik di Amerika ada dua kemungkinan metode yang terpakai. Pertama metode “al-afdholiyah” (yang terbaik atau yang lebih baik). Kedua metode “aqallu ad-dhiraraen” (lebih sedikit mudhoratnya).

Inilah yang kami pakai dalam menilai dan menentukan pilihan antara dua kandidat presiden Amerika; Joe Biden dan Donald Trump. Bahwa dengan segala kesamaan, keduanya tentunya kapitalis, punya ambisi untuk kepentingan Amerika di dunia global, tentu ada sisi-sisi yang membedakan keduanya.

Berikut saya sampaikan beberapa perbedaan di antara keduanya. Sekaligus menepis beberapa pandangan tentang Biden dalam hal kebijakan Timur Tengah dan Global secara umum.

Kebijakan dalam negeri

Jauh sebelum menjadi Presiden Amerika, Donald Trump memang dkenal dengan sikapnya yang anti “non White”. Belakangan yang paling nampak adalah anti imigran, khususnya Islam. Artinya tanpa ragu kita katakan bahwa Trump memang orang yang rasis.

Karakter Trump yang rasis dan white radical (radikal Putih) ini kemudian menjadi karakter politiknya, bahkan menjadi motto kampanyenya di kemudian hari. “Making America great again” dimaknai sebagai menjadikan Amerika negara kaum putih lagi.

Kemenangan Donald Trump kemudian terbukti salah satunya bertujuan untuk balas dendam kepada Barack Obama yang memang dibencinya. Maka hampir semua kebijakan Barack Obama berusaha untuk dihapuskan. Dari Obama Care yang bersejarah, hingga kepada pembatalan pemboikotan Iran, termasuk membatalkan hubungan diplomatik dengan Kuba yang telah dibuka oleh Obama.

Kedekatan Barack Obama dengan Komunitas Muslim juga menjadi target Trump. Kita kenal bahwa di zaman Barack Obama beberapa posisi tinggi di pemerintahannya juga diduduki oleh orang Islam. Ada posisi President Special Envoy to the Muslim Community, ada Dubes Muslim (Hafiz Quran) ke OKI, bahkan salah seorang Wakil Menlu Amerika ketika itu adalah wanita Muslimah keturunan India.

Semua posisi itu ditiadakan di zaman Donald Trump. Bahkan acara buka puasa di White House ditiadakan. Setelah diributkan baru diadakan lagi. Itupun hanya untuk Dubes-Dubes negara Islam. Sementara pada zaman Barack Obama acara ini diperuntukkan terutama untuk tokoh-tokoh Muslim Amerika.

Puncak dari kebencian Trump itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang disebut “Muslims Ban” di tahun 2017 lalu. Di mana Trump melakukan uji coba untuk melarang orang Islam masuk Amerika. Saya menyebutnya uji coba karena lawyer pribadi Trump, Rudy Giuliani, pernah mengatakan bahwa Presiden sedang mencari pembenaran Hukum untuk melarang orang Islam masuk Amerika.

Mungkin hal terburuk yang ditimbulkan oleh Presiden Trump adalah terbentuknya lingkungan (suasana) di mana kaum putih radikal yang dikenal dengan White Supremacy atau White Nationalist semakin menjadi-jadi. Akibatnya kekerasan kepada non white, termasuk Muslim, Hispanic, Kulit Hitam, bahkan Yahudi yang dianggap non White semakin menjadi-jadi.

Semua itu dan banyak lainnya menjadi dasar utama kenapa warga Muslim Amerika memilih Joe Biden. Tentu harapannya akan ada perubahan mendasar dari karakter kepemimpinan Amerika dan kebijakannya. Sehingga akan tumbuh situasi yang lebih kondusif bagi semua untuk berkompetisi secara sehat dalam upaya meraih apa yang disebut di Amerika dengan “American Dreams” (mimpi-mimpi Amerika).

Joe Biden sendiri telah mendekati Komunitas Muslim bahkan berjanji untuk menghapus Muslims Ban (pelarangan Umat Islam) masuk Amerika. Juga berjanji untuk mengikutkan warga Muslim dalam pemerintahannya.

Tentu yang terpenting dari semua itu adalah bahwa karakter pribadi Joe Biden dan Kamala Harris akan lebih kondusif bagi semua warga untuk hidup aman, tanpa friksi dan kebencian seperti di zaman Trump.

Kebijakan Luar Negeri

Banyak yang kemudian menuduh bahwa Joe Biden boleh jadi akan kembali berambisi perang di Timur Tengah. Mereka lupa justru perang Timur Tengah dimulai oleh Presiden Bush Sr dari Republican di Irak atas permintaan Saudi dan Kuwait.

Perang itu tidak berlanjut di zaman Clinton yang Demokrat. Bahkan kita diingatkan justru Clinton melakukan pembelaan kepada warga Muslim di Bosnia dan Kosovo ketika itu.

Lalu perang kembali bergejolak di zaman Presiden GW Bush Jr yang juga Republican di Irak hingga tumbangnya Saddam Husaen. Di zamannyalah Irak porak poranda bahkan mengakibatkan resesi ekonomi Amerika dan dunia.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa tuduhan jika Demokrat (dalam hal ini Biden) senang perang tidak selamanya benar. Justeru Republicanlah dalam sejarahnya yang selalu berpihak kepada kapitalis (kaum kaya) yang selalu melakukan peperangan untuk kepentingan kapitalisme.

Terkhusus dalam masalah Israel- Palestina, ternyata Trumplah yang dengan muka kebal mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel. Juga memindahkan Kedutaan Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Walaupun kenyataannya bertentangan dengan berbagai resolusi PBB.

Bagaimana dengan China?

Dalam tatanan global saat ini memang Amerika dan China sedang bersaing. Dan karenanya tekan menekan akan terus terjadi ke depan, siapapun Presidennya.

Sejujurnya Trump punya kelemahan menghadapi China. Kelemahan itu karena dia sendiri punya utang pribadi yang cukup besar kepada China. Menurut informasi Trump berutang sekitar US$400 juta ke China.

Saya justeru menilai jika Biden/Demokrat akan lebih tegas ke China ke depan. Kita ketahui bahwa Demokrat sangat peduli dengan isu-isu HAM. Hal ini akan menjadi modal bagi warga Muslim Amerika untuk menekan pemerintahan Biden untuk membela hak-hak warga Uighur di China.

Secara umum dengan terpilihnya Biden hubungan internasional Amerika akan kembali rasional dan normal. Selama ini Amerika jadi aneh dan nampak tidak rasional dalam hubungan internasionalnya. Amerika dengan mudah menarik diri dari banyak kerjasama global, termasuk keluar dari Paris Climate Change Treaty dan WHO justru di saat diperlukan kerjasama global menghadapi pandemi Covid 19.

Isu-isu moralitas

Banyak yang kemudian menuduh bahwa dengan Joe Biden-Kamala Harris menjadi Pemimpin Amerika isu-isu Immoralitas semakin menguat.

Kita kenal bahwa Demokrat memang menganut paham liberalisme. Artinya memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk eksis dan berkembang. Termasuk apa yang kita anggap bertentangan dengan nilai-nilai kita.

Tapi hal ini ternyata dalam realitanya tidak merubah realita di lapangan. Justru saya yakin cara terefektif untuk melakukan perubahan cara pandang dan karakter masyarakat justru melalui proses pendidikan dan pembudayaan yang baik. Dalam bahasa agama melalui kerja-kerja dakwah.

Kesimpulan ini didasarkan kepada kenyataan bahwa baik di saat Republikan berkuasa maupun Demokrat ternyata berbagai penyelewengan moralitas tetap sama. Ideologi kekuasaan tidak banyak berarti dalam melakukan perubahan cara pandang dan mentalitas.

Di sinilah kelebihan Demokrat. Karena dengan kebebasan (saya istilahkan ruang) yang sama untuk semua akan terjadi kompetisi dalam menampilkan nilai dari masing-masing kelompok manusia. Dan saya yakin di sinilah Islam akan mampu tampil sebagai nilai terbaik dari semua yang ada.

“Li yudzhirahu ‘alad diini kullih” akan kita buktikan dengan persaingan nilai tersebut.

Akhirnya kita hanya bisa berusaha. Tugas kami yang berat ke depan adalah mengawal pemerintahan Joe Biden untuk tetap sejalan dengan kepentingan dan kebaikan untuk semua. Bukan untuk sekelompok orang saja.

New York, 9 November 2020 Imam/ Direktur Jamaica Muslim Center, Presiden Nusantara Foundation

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here