OLEH IMRAN DUSE
Setelah hampir tiga bulan “bersembunyi” dari mara pandemi dan berkhidmat-penuh-takzim kepada protokol penanganan COVID-19, kini publik dapat berkemas memutar kembali aktivitas kehidupan. Itu setelah pemerintah bersigap menggerakkan roda perekonomian yang nyaris lumpuh akibat virulensi korona. Gerbang tatanan baru itu pun dibuka: selamat datang di era new normal.
Perangkat regulasinya sendiri telah dipersiapkan sejak 20 Mei 2020 melalui Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No: HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang panduan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di tempat kerja perkantoran dan industri dalam mendukung keberlangsungan usaha pada situasi pandemi.
Regulasi ini yang menjadi pijakan dari implementasi new normal yang rencananya dilaksanakan bertahap di beberapa provinsi dan kabupaten/kota. Di tahap awal, telah ada 102 kabupaten dan kota yang mendapat “lampu hijau” dan siap mewujudkan new normal atau kenormalan baru. Jumlah tersebut sekira 20 persen dari total kabupaten/kota di Indonesia.
Diskursus publik spontan mengemuka. Pro kontra terbit di tengah khalayak dan memulas reportase media. Gelombang informasinya membentur jagat media sosial. Banyak yang mempertanyakan, bagaimanakah defenisi dan aplikasi new normal tersebut? Mengapa DKI Jakarta menggunakan terminologi “masa transisi” dan Jawa Barat memakai istilah “adaptasi kebiasaan baru” atau AKB?
Tulisan ini bermaksud ikut berpendapat dalam diskursus publik tersebut, khususnya dalam melihat dari sudut pandang keterbukaan informasi publik penanganan COVID-19 .
***
Ahli bahasa dari Universitas Indonesia Prof. Dr. Rahayu Surtiati Hidayat, memperkenalkan istilah kenormalan baru –yang menurutnya disepakati badan bahasa– sebagai padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk istilah new normal tersebut.
Ada berpendapat, kenormalan baru sebagai cara hidup berdampingan dengan COVID-19. Ada pula menilai sebagai PSBB yang dilonggarkan (relaksasi). Juru bicara penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyebutnya sebagai tatanan baru yang berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sementara ahli epidemiologi dari sejumlah kampus di tanah air bersikukuh agar data dan grafik perkembangan COVID-19 sebagai pijakan pengambilan keputusan. Tidak hanya menggunakan pertimbangan kepentingan ekonomis semata.
Hemat kita, perbincangan publik itu nampaknya disebabkan tidak adanya penjelasan yang komprehensif dari otoritas negara yang dijabarkan dalam bentuk regulasi. Bahkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) tersebut di atas –yang menjadi basis legalitas penerapan new normal–, tidak terdapat penjelasan utuh perihal new normal dimaksud.
Dari sekitar 7.000 kata yang tertuang dalam 39 halaman KMK itu, bahkan hanya ada sekali penyebutan new normal. Itu pun ditulis di dalam kurung. Maka galib jika sejumlah pihak melakukan ijtihad dengan penafsiran masing-masing atas makna new normal atau kenormalan baru tersebut.
Mungkin karena KMK memang lebih dominan dipersiapkan sebagai dukungan terhadap upaya menggerakkan kembali roda perekonomian yang (kini) masygul.
Tapi, baiklah. Pada akhirnya, kenormalan baru barangkali memang suatu keniscayaan di tengah upaya pengendalian pandemi COVID-19 yang masih terus menggelinding. Kita setuju, tidaklah mungkin terus-menerus “bertahan” di bilik kamar-dalam-rumah, mengurung diri dari kehidupan kolektif, sembari memirsa secara terbuka melemahnya sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Kita tidak juga tak ingin “bersembunyi-terus-terusan” sampai ditemukan vaksin-anti-virus itu. Menunggu hanya akan menunda kekalahan, seraya memandang keterpurukan berbagai aspek kehidupan melalui layar smartphone –yang belakangan juga kebanjiran infodemik. Maka, ibarat permainan sepakbola, strategi bertahan tanpa serangan dan penetrasi adalah sebuah cara terburuk dalam menunda kekalahan.
Sejalan dengan itu, kenormalan baru merupakan implementasi strategi total-football yang secara efektif menggabungkan pola menyerang dan bertahan secara simultan. Kehidupan perekonomian (produksi, distribusi, dan konsumsi) mestilah tetap berjalan. Riset untuk menemukan vaksin tetap diupayakan serius. Dan dalam keseluruhan itu, penerapan protokol kesehatan adalah prioritas yang mesti dipatuhi.
Dengan demikian, kenormalan baru boleh jadi adalah preferensi dengan cacat yang minimal di tengah kesulitan memprediksi redanya pandemi. Mimpi buruk yang yang dikhawatirkan semua pihak ialah lumpuhnya perekonomian nasional –sementara para ahli masih berlomba menemukan vaksin virus tersebut.
Dengan menimbang uraian tersebut, maka kenormalan baru dapat dimaknai sebagai sebuah exit-strategy dari situasi saat ini. Adanya kesulitan dalam melakukan prediksi berakhirnya pandemi, belum ditemukannya vaksin COVID-19, serta kebutuhan untuk terus melanjutkan kehidupan (perekonomian) adalah realitas yang menuntun menuju Kenormalan Baru ini.
Kendati demikian, penerapan kenormalan baru kiranya dilakukan tidak secara impulsif. Melainkan dengan ekstra hati-hati dan sangat-selektif dengan mengacu kepada kurva-grafik COVID-19 di masing-masing daerah. Sebab jika dilanggar, dapat berakibat kontraproduktif terhadap penanganan COVID-19 yang berpotensi memicu terjadinya outbreak.
***
Menurut hemat kita, pemberlakuan kenormalan baru kiranya dapat mempertimbangkan lima syarat elementer. Yang pertama, harus ada data valid mengenai gradasi infeksi COVID-19 di tengah masyarakat, khususnya basic reproduction number virus di wilayah tersebut. Studi epidemiologis dan kesiapan regional sangat diperlukan dalam hal ini.
Kedua, tingkat kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan yang sudah baik. Bila kedisiplinan ini masih rendah, tentu sangat rentan terhadap munculnya “gelombang balik” yang kian mencemaskan. Dengan kedisiplinan masyarakat dalam menjalani perilaku sosial (phisycal distancing), kita berharap penerapan kenormalan baru akan mustajab.
Ketiga, kesadaran warga dalam menjalankan pola hidup sehat dengan selalu memerhatikan kesehatan. Cuci-tangan, pakai-masker, olahraga teratur, dan sebagainya, pada saatnya mesti menjadi suatu pembiasaan yang bertumbuh dalam masyarakat. Ini akan menjadi pola hidup baru dan menjadi prasyarat bagi keberhasilan kenormalan baru.
Keempat, dibutuhkan regulasi yang jelas dan tidak ambigu. Aturan ini akan menjadi landasan bagi seluruh pihak untuk beraktivitas dan bekerja di lapangan. Di sini akan diatur hak dan kewajiban warga negara dalam kerangka pengendalian COVID-19. Bahkan perlu ada sanksi bagi yang tidak mematuhi protokol yang diatur dalam regulasi tersebut. Misalnya sanksi bagi yang tidak menggunakan masker.
Dan, kelima, ialah penegakan hukum yang seadil-adilnya. Dengan adanya regulasi sebagaimana point empat, maka aparat yang bertugas di lapangan memiliki pegangan dan dilindungi hukum negara dalam menegakkan aturan.
Dengan kelima aspek tersebut, implementasi kenormalan baru dalam kehidupan publik diharapkan efektif. Pengawasan oleh pihak kompeten dibuka seluas-luasnya. Pendekatan persuasif dan manusiawi patut dikedepankan sembari menafikan arogansi dan penggunaan kekerasan dalam penegakan norma kenormalan baru itu. (bersambung)
(Imran Duse, Wakil Ketua BPW KKSS Kalimantan Timur dan Mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI)